Ilustrasi
Dream – Awal minggu ini, pengguna media sosial Twitter dihebohkan dengan istilah Covid-22. Banyak yang mengira kalau Covid-22 merupakan virus varian baru dari virus Corona yang lebih ganas.
Untung saja hal tersebut tidak benar. Rupanya istilah 'Covid-22' dijadikan penggambaran kondisi pandemi yang lebih parah oleh Sai Reddy. Ia adalah seorang profesor imunologi sintetis di ETH Zurich, Swiss bernama Sai Reddy.
Dalam wawancara dengan surat kabar Jerman pada 22 Agustus, Reddy membahas potensi munculnya varian Covid di masa depan yang berpotensi lebih buruk dari yang pernah ada sejauh ini. Reddy kemudian menggambarkan varian delta bukan lagi sebagai Covid-19 melainkan Covid-22.
“ Ini adalah fase pandemi berikutnya ketika Beta atau Gama lebih menular atau Delta mengembangkan mutasinya. Itu akan menjadi masalah besar untuk tahun berikutnya. Covid-22 bisa lebih buruk daripada situasi saat ini,” ujar Reddy dalam wawancara tersebut.
Pofesor Jeremy Rossman dosen senior bidang virology di Universitas Kent mengatakan tidak benar memberi label varian Covid seperti it. Jeremy juga menegaskan tidak ada yang namanya Covid-22.
“ Kriteria untuk varian baru yang disebut Covid-22 tidak ditentukan saat ini. Kemungkinan perlu menjadi spesies virus baru bukan hanya varian baru. Sebagai referensi, saat ini hanya ada satu spesies COVID-19,” kata Rossman.
Bahkan dengan varian saat ini, para ilmuwan belum mengindentifikasi mutasi genetik yang menyebabkan virus menjadi spesies yang sama sehingga istilah Covid-22 diperlukan. Jeremy menambahkan, mungkin saja kita tidak akan menggunakan istilah ini. Profesor di School of Molecular and Cellular Biology di University of Leeds, Mark Harris juga sependapat dengan Jeremy
“ COVID adalah singkatan dari Coronavirus Disease. Virus yang menyebabkan ini adalah SARS-CoV-2,” kata Harris.
Menurutnya, Delta bukan COVID-21 atau varian COVID-19 melainkan varian SARS-CoV-2 sehingga setiap varian yang ada akan menjadi SARS-CoV-2.
Pada Rabu, 25 Agustus 2021, Profesor Reddy mengklarifikasi komentarnya kepada Newsweek yang berkata bahwa dia tidak menyangka akan mendapat banyak reaksi dari media sosial.
“ Saya tentu saja setuju bahwa penggunaan istilah yang tepat untuk penyakit yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 adalah COVID-19. Sayangnya, saya tidak menyadari bahwa istilah COVID-22 akan menyebabkan reaksi seperti itu,” katanya.
Ia beranggapan bahwa ketika virus ini berevolusi secara harfiah, maka pemikiran tentang bagaimana menanggapi dan menangani pandemi juga harus berkembang.
“ Sekarang kita mulai berpikir tentang 2022. Kita perlu mempertimbangkan kembali bagaimana menanggapi COVID-19. Pikiran yang saya sebutkan memperjelas bahwa meningkatkan vaksinasi dan akses menuju vaksinasi adalah prioritas yang paling penting," ungkapnya.
Selain terminologi, ia juga khawatir tentang varian masa depan yang akan muncul. Harris juga mengatakan orang harus khawatir tentang varian baru dan memastikan akses vaksin di seluruh dunia akan sama sehingga bisa mengurangi prevalensi virus dan mengurangi munculnya varian baru.
Laporan: Elyzabeth Yulivia/ Sumber: NewsWeek
Dream - Seluruh negara masih berkutat dengan virus SARS-CoV-2 atau virus Corona penyebab COVID-19. Indonesia saat ini sedang dibanjiri varian delta yang diketahui penularannya memang lebih cepat.
Belum selesai sampai di situ, ternyata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) baru saja memasukkan satu lagi varian SARS-CoV-2/virus Corona penyebab COVID-19 ke dalam variants of interest, yaitu varian Lambda.
Dikutip dari laman resmi WHO, virus Corona varian Lambda memiliki nama ilmiah C.37, dan pertama kali diidentifikasi di Peru pada Desember 2020. Menurut WHO, isolat SARS-CoV-2 dapat dimasukkan dalam VOI jika (dibandingkan isolat referensi) genomnya memiliki mutasi dengan implikasi fenotipik yang telah ditetapkan atau diduga, dan salah satu dari:
- Telah diidentifikasi menyebabkan beberapa penularan komunitas/beberapa kasus/klaster COVID-19, atau telah terdeteksi di banyak negara, atau
- Dinyatakan sebagai VOI oleh WHO yang berkonsultasi dengan WHO SARS-CoV-2 Virus Evolution Working Group.
Secara keseluruhan sudah ada 7 variants of interest (VOI) COVID-19 yang dilaporkan oleh WHO. Selain Lambda, varian yang masuk kategori VOI lainnya adalah Epsilon, Zeta, Eta, Theta, Iota, dan Kappa.
Sementara, untuk varian virus corona COVID-19 yang masuk ke dalam variants of concerns (VOC) hingga sejauh ini adalah Alpha, Beta, Gamma, dan Delta.
Sampai pada pertengahan Juni 2021, dari laporan Xinhua, WHO mengungkap bahwa varian Lambda sudah diidentifikasi di 29 negara, terutama di wilayah Amerika Selatan.
Varian Lambda dimasukkan ke dalam VOI karena adanya peningkatan prevalensi di Amerika Selatan.
Sejak April 2021, Lambda dikabarkan telah menyebar di Peru, di mana 81 persen kasus COVID-19 terkait dengan varian ini. WHO menyebutkan, garis keturunan Lambda memiliki mutasi yang dapat mungkin bisa meningkatkan penularan atau memperkuat ketahanan virus terhadap antibodi.
Sayangnya menurut WHO, bukti mengenai dua hal tersebut masih sangat terbatas. Sehingga diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami varian Lambda dengan lebih baik.
Sementara, dikutip dari laman pemerintah Inggris, gov.uk, Public Health England (PHE) menemukan ada enam kasus varian Lambda yang ditemukan di Inggris, dan semuanya terkait dengan perjalanan ke luar negeri.
" Saat ini tidak ada bukti bahwa varian ini menyebabkan penyakit yang lebih parah atau membuat vaksin yang saat ini digunakan menjadi kurang efektif," tulis PHE pada 25 Juni 2021 lalu.
Laporan Giovani Dio/ Sumber: Liputan6.com
Advertisement
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR
Potret Beda Pesta Pora 2025, Ada Jumatan Bareng Dipimpin Rhoma Irama
Psikolog Ungkap Pentingnya Pengawasan Orangtua Saat Anak Main Game
Inspiratif, Tiga Artis Cantik Ini Ternyata Founder Komunitas
Fakta-Fakta Ciamis Jadi Kota Kecil Terbersih se-ASEAN