Ajaran Rasulullah Agar Barter Barang Beda Nilai Tak Jadi Riba

Reporter : Ahmad Baiquni
Senin, 26 Agustus 2019 20:01
Ajaran Rasulullah Agar Barter Barang Beda Nilai Tak Jadi Riba
Ternyata ada riba yang bisa ditoleransi namun dengan persyaratan sangat ketat.

Dream - Mungkin sebagian besar umat Islam sudah memahami riba hukumnya adalah haram. Tetap menjalankannya, ganjaran berupa dosa besar akan didapat.

Riba adalah kelebihan yang dibebankan pada setiap transaksi utang piutang. Riba menjadi keuntungan bagi pemberi utang namun beban bagi pengutang.

Sementara riba bisa muncul ketika terjadi pertukaran barang ribawi sesama jenis tanpa perantara berupa harga. Apabila pertukaran ini terjadi, Islam mensyaratkan terpenuhinya tiga unsur yaitu tamatsul (barang yang dipertukarkan sepadan atau sejenis), taqabudh (kedua belah pihak saling seran terima), serta hulul (transaksi dilakukan kontan).

Misalnya pinjam emas 10 gram dikembalikan dengan barang yang sama. Atau pinjam beras 1 kilogram dikembalikan dengan benda yang sama.

Jika pemberi pinjaman mensyaratkan adanya kelebihan dalam pengembalian, maka hal itu adalah riba. Sebab, kelebihan itu menjadi beban bagi orang yang mendapat pinjaman.

Namun demikian, ternyata ada riba yang dibolehkan. Riba apa itu?

1 dari 5 halaman

Riba dari Akad Jual Beli 'Araya

Dikutip dari Islami.co, dalam sejumlah kitab fikih terkait muamalat, terdapat istilah bai' 'araya. Istilah ini dijelaskan dalam kitab Mu'jam Al Ma'any.

" Jual beli 'araya (secara istilah) adalah jual beli yang dilakukan oleh seseorang dengan jalan membeli kurma hijau (ruthab) milik pihak lainnya ditukar dengan kurma kering untuk kebutuhan makan keluarganya."

Ilustrasinya, seseorang butuh kurma kering untuk makan namun hanya punya kurma muda di pohon. Dia lalu menukarkan kurma muda itu dengan yang kering.

Mengingat kurma muda masih di pohon, kaidah tamatsul atau kesamaan barang tidak terpenuhi. Dia menukar kurma basah di pohon yang jelas kondisi dan beratnya berbeda dengan kurma kering.

 

2 dari 5 halaman

Penyiasatan

Hal ini termasuk riba dalam jual beli 'araya. Untuk menyiasatinya, maka digunakan takaran sebagai standar ukur.

Dasarnya adalah hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim.

Dari Zaid bin Tsabit RA, " Sesungguhnya Rasulullah SAW telah memberi keringanan dalam jual beli 'araya, yaitu jual beli dengan melakukan kharsh takaran."

Istilah kharsh sering dimaknai sebagai taksiran. Yang ditaksir adalah kurma muda yang masih di pohon.

Melalui cara ini, Rasulullah membolehkan pertukaran barang ribawi sejenis namun beda kondisi dan beratnya. Meski demikian, Rasulullah tidak membiarkan akad 'araya dijalankan tanpa batas.

 

3 dari 5 halaman

Batasan Riba yang Ditoleransi

Rasulullah menetapkan sejauh mana akad 'araya bisa dijalankan. Batasan atas akad tersebut tertuang dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim.

Dari Abu Hurairah RA, " Rasulullah SAW telah menetapkan keringanan jual beli 'araya dengan jalan menaksir seberat kurma kering, dengan catatan beratnya tidak lebih dari 5 awsuq."

Hadis di atas menegaskan batasan kurma yang bisa ditaksir beratnya tidak boleh lebih dari 5 awsuq. Ini merupakan nishab untuk menentukan zakat hasil pertanian.

Jika dikonversi ke dalam kilogram, 5 awsuq setara dengan 750 kg. Sehingga riba yang ditoleransi sebatas itu.

Sedangkan dalam konsep jual beli, riba ini dibolehkan dengan illat atau kaidah " Kebutuhan umum itu menempati derajat keterpaksaan/dharurat khusus."

(Sah, Sumber: Islami.co)

4 dari 5 halaman

Menukar Uang Untuk Lebaran Termasuk Riba dan Haram?

Dream - Tukar menukar uang lama dengan baru sudah menjadi hal lazim di masyarakat Indonesia jelang Idul Fitri. Biasanya, uang tersebut akan dipakai untuk memberikan uang saku kepada orang lain.

Namun begitu, muncul polemik mengenai hukum penukaran uang ini. Dasar masalahnya yaitu adanya tambahan biaya untuk penukaran uang itu.

Sebagian kalangan menyebut tambahan uang itu tergolong riba. Sehingga praktik tukar uang harus dihindari. Benarkah demikian?

Dikutip dari NU Online, praktik tukar uang memang dapat dilihat dari dua sudut pandang. Jika dilihat uangnya, maka praktik penukaran dengan kelebihan jumlah yang ditetapkan termasuk kategori riba dan haram.

Tetapi, apabila dilihat dari sudut panjang jasanya, praktik tukar uang dengan kelebihan jumlah tergolong ijarah. Hukumnya adalah mubah karena yang ditawarkan adalah jasanya, bukan uangnya.

Ijarah sendiri adalah transaksi jual beli namun dalam bentuk jasa. Sehingga, akad ini tidak termasuk riba, seperti dijelaskan oleh Afifuddin Muhajir dalam Fathul Mujibil Qarib.

" Ijarah (sewa) sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pembatasan tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi manfaat (jasa) dari sebuah barang atau jasa dari sebuah tenaga (aktivitas)."

5 dari 5 halaman

Perbedaan Sudut Pandang

Beda pendapat dalam menilai hukum penukaran uang dengan kelebihan jumlah berangkat dari perbedaan dalam memandang akad yang dipakai. Sebagian orang memandang uang adalah barang yang dipertukarkan, sementara sebagian lainnya melihat dari sudut jasanya.

Syeikh An Nawawi Al Bantani dalam Nihayatuz Zein memberikan penjelasan berikut.

" Barang terkadang mengikut sebagaimana bila seseorang menyewa seorang perempuan untuk menyusui anaknya, maka itu boleh berdasarkan nash Alpuran. Yang paling shahih, titik akadnya terletak pada aktivitas mengasuh balita tersebut oleh seorang perempuan yang meletakannya di pangkuannya, menyuapinya dengan susu, dan memerahnya sesuai kebutuhan. Titik akadnya (ma'qud 'alaih) terletak pada aktivitas si perempuan. Sementara ASI menjadi hak balita sebagai konsekuensi dari aktivitas pengasuhan."

Kelebihan yang ditetapkan oleh orang yang membuka jasa penukaran uang adalah untuk ganti jasanya. Bukan pada barangnya. Besarnya sesuai dengan kesepakatan antara penyedia jasa dengan penukar uang.

Sumber: NU Online

Beri Komentar