Para Serdadu Anti Rasuah

Reporter : Maulana Kautsar
Kamis, 21 Juli 2016 20:15
Para Serdadu Anti Rasuah
Di tengah tugas negara dan tekanan hidup, para serdaru bangsa berjuang. Melawan dengan jujur, tanpa membuat nama kesatuan hancur.

Dream - Puluhan karung berwarna putih, berisi limbah botol plastik terbungkus rapi. Tertumpuk di dekat tembok batu bata. Di antara tumpukan karung dan kardus, tampak seorang perempuan berjilbab ungu. Duduk sambil memilah-milah botol plastik. Memasukkannya ke dalam karung.

Perempuan itu bernama Sri Sundarini. Dia fokus memisahkan tutup botol dengan botol minuman. Sesekali membersihkan label yang menempel di botol plastik.

Sri tak sendiri. Di sebelah kirinya, tampak lelaki bertubuh tegap. Ikut memilah tumpukan botol plastik minuman. Pria itu mengenakan seragam tim nasional Indonesia berwarna merah dan hijau, bercelana selutut. Tangannya tampak terampil memilah-milah tutup botol dan botol yang telah bersih dari labelnya ke dalam ember.

Si pria sejatinya bukan pemulung biasa. Suami dari Sri itu adalah Prajurit Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD), bernama Sersan Mayor Priyo Widodo.

Ya, Serma Priyo Widodo merupakan seorang tentara. Sehari-hari, pria yang akrab disapa Priyo itu bertugas di Kodim 0814 Palembang.

Usai bertugas di kesatuannya, dia kerap menghabiskan waktu di rumahnya Jalan Dharma Bakti RT 21 RW 03 Kelurahan Srimulya, Kecamatan Sematang Borang, Palembang, untuk memilah-milah botol plastik hasil memulung. Halaman belakang rumah yang tak luas, dia ubah menjadi 'ruang kerja'.

Menurut penuturan Priyo, pekerjaan memulung itu sudah dilakukan sejak 2013 lalu. Keperluan keluarga yang membengkak, pasca kematian istri pertamanya, membuat dia berusaha mencari tambahan.

Dulu, Priyo bercerita, sempat coba peruntungan berbisnis peternakan dan membuat kolam ikan. Tapi, sayangnya, dua bisnis itu kandas.

Kegagalan itu membuat Priyo resah. Di tengah kebutuhan ekonomi yang membengkak, dia terus mencari cara. Keresahan itu sampai di telinga seorang kawan.

Mereka kemudian berdiskusi. Akhirnya, muncul ide membuat bisnis barang bekas.
" Barang bekaskan tidak akan busuk," kata lulusan Secaba BK 2001 dari Kodam IV Diponegro tersebut.

Perlahan tapi pasti. Bisnis memulung itu dilakoni Priyo. Saban sore, sepulang bertugas di kesatuannya, dia kerap menyempatkan diri mencari barang rongsokan.

Priyo juga kerap mendatangi warung di sekitaran rumahnya untuk mencari barang bekas. Tak jarang, dia membeli barang bekas milik tetangganya. Satu kilogram barang bekas itu kerap dia hargai sebesar Rp 1500.

Jika permintaan barang bekas sedang sulit, dia tak menyerah dengan keadaan. Warga setempat sering melihat dia mencari sendiri barang bekas itu.

Aktivitas memulung itu membuat Priyo kerap diejek. Meski begitu, dia tak terganggu. Dia bahkan merasa lebih termotivasi dari olokan-olokan itu. Sebab, dia merasa pekerjaan sebagai pemulung merupakan pekerjaan halal.

" Kalau ada yang mengejek ya biar. Saya cuma cari nafkah buat keluarga," kata dia.

Sri juga tak terganggu dengan cibiran yang kerap sampai ke telinganya. Dia merasa, itu tidak penting. Buatnya, pekerjaan sampingan Priyo itu mulia. Perasaan bangga tercurah untuk sang suami. " Yang penting suami tidak melalaikan dinasnya," kata Sri.

Kini, usaha bisnis barang bekas Priyo mulai menampakkan hasil. Untuk per bulan, dia bisa menjual barang bekas itu ke agen dan mendapatkan Rp10 juta.

Prajurit lainnya...

1 dari 2 halaman

'Pilih Ngejek daripada Beking'

'Pilih Ngejek daripada Beking' © Dream

Dream - Serdadu antikorupsi bukan saja Serma Priyo Widodo. Di Jakarta, sosok tentara antikorupsi juga ditemui.

Adalah sosok Kopral Agus (bukan nama sebenarnya) namanya. Pria berbadan tegap itu kerap terlihat mengantarkan penumpang sebgai pengojek.

Dia sempat terpantau di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Meski begitu, dia meminta namanya disamarkan agar tidak menjadi masalah di kesatuannya.

" Ya ini buat cerita saja. Nanti aku terkenal gara-gara sampeyan, bukan gara-gara prestasi tapi karena ngojek. Malu nanti disorakin," kata Agus kepada laman Merdeka beberapa waktu yang lampau.

Sama dengan Priyo, aktivitas mengojek Agus dimulai sejak dia pulang bertugas. Maklum, paginya Agus yang tercatat aktif sebagai anggota TNI AD. Dia masih harus bertugas. Agus mengojek sejak pukul 16.00 hingga 20.00 WIB.

Pilihan menjadi pengojek bukan tanpa sebab. Mengojek, kata dia, tidak mengandung risiko. Dia menambahkan, memilih mengojek ketimbang menjadi anggota keamanan tempat hiburan malam dan bisnis ilegal atau melakukan pekerjaan yang tergolong koruptif.

" Enak ngojek Mas. Nggak ada risikonya, selain halal juga membantu orang yang mau berpergian. Kalau jadi 'beking' malu-maluin nama tentara," kata Agus.

Menurut Agus, gaji sebagai kopral di kesatuan TNI AD kerap tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dia mengaku, gajinya yang tidak besar kerap mendapat potongan dari pinjaman dan cicilan.

Walhasil, setiap bulannya, dia hanya mampu menyetor uang ke keluarganya kurang dari Rp1 juta. Angka yang relatif kecil untuk memenuhi kebutuhan hidup di Ibukota.

Dari mengojek, Agus dapat membuat dapur di rumahnya mengepul. Uang senilai Rp50 ribu hingga Rp150 ribu dapat dia dapatkan.

" Lumayan (untuk) nambah-nambah," kata dia.

Agus bercerita, di kesatuannya tidak hanya dia yang punya pekerjaan sampingan. Banyak dari kawannya yang memilih menjadi supir angkot atau tukang ojek untuk mencari tambahan biaya bulanan keluarga.

" Teman saya ada yang kalau malam bawa angkot. Nyupirin angkot punya orang gitu. Ya buat tambah-tambah saja," ujar dia.

2 dari 2 halaman

Menjaga Nama Baik Kesatuan & Bangsa

Menjaga Nama Baik Kesatuan & Bangsa © Dream

Dream - Melihat fenomena pekerjaan sampingan anggotanya membuat Pusat Penerangan TNI angkat bicara. Mantan Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Fuad sempat menyatakan pemakluman. Meski dilarang secara aturan, pekerjaan sampingan prajurit TNI dapat dilakukan asal di waktu lain bertugas.

" Secara aturan tidak ada yang mengizinkan itu. Terutama para perwira karena sudah dicukupi dari tunjangan. Ka

Beri Komentar