Dream – “ Istilahnya, saya teh orang miskin, tidak dianggap.” Undang Suryana mengenang masa suram itu. Saat berniat membangun sekolah, tempat belajar anak-anak dhuafa. Bukan disokong, angan-angan mulia itu malah digunjingkan. Hasrat itu dianggap mimpi di siang bolong.
Undang memang kerap tampil nyentrik. Memakai kaca mata hitam. Kemeja rapi, bersepatu dan bercelana jins pula. Pokoknya kekinian. Sudah begitu, hampir saban hari nongkrong di kampus ternama. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran.
Tapi dia bukan mahasiswa. Bukan pula dosen, dekan, apalagi rektor yang dibayar berjuta-juta. Dia hanyalah tukang parkir. Kerjanya menata mobil dan motor di halaman kampus dengan upah tak seberapa. Sudah tentu sakunya datar. Dompet kurang isi.
Itulah yang membuat orang tertawa. Semua sangsi. Hidup saja kembang kempis. Bagaimana membangun gedung. Membayar guru dan segala biaya. Bila dinalar, bayaran parkir sejak 1992 sampai kelak pensiun pun mungkin tak cukup membuat sekolah itu jadi nyata.
Boleh saja orang berlogika. Tapi bagi pria yang karib dipanggil dengan nama Jack itu, beramal tak harus menunggu kaya. “ Saya sih pakai mental jalanan. Cuek saja mah,” kata Jack, saat berbicang dengan Dream, awal pekan ini.
Dan keyakinan itu menjelma nyata. Lima tahun silam, dia mendirikan Taman Kanak-kanak (TK) dan Taman Pendidikan Alquran (TPA) Al Raudatul Jannah di Kampung Babakan Loak, Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Memang bukan gedung mewah. Tak bertingkat seperti sekolah kaum ningrat. Kampus Kang Jack hanya rumah kontrakan lawas, berukuran mungil. Ruang tengah tiga kali lima meter dan bilik dua lawan empat meter disulap menjadi kelas.
Tembok berkelir kuning ditempeli beragam gambar peraga. Ada angka, abjad latin, sampai huruf hijaiyah. Semua bisa dilihat dan dibaca di sana. Sebagian dinding sudah ditutup rak penuh buku.
Jangan bayangkan tempat itu seperti kelas pada umumnya. Jangankan laboratorium ataupun komputer, bangku pun tak ada. Semua murid mendeprok di atas tikar pelapis lantai. Hanya ada papan putih tempat guru menerangkan pelajaran. Sungguh sederhana.
Tapi di sana, saban pagi, sore, sampai malam, selalu sesak anak-anak. Tak pernah sepi. Rumah itu menjadi majelis ilmu, sebagai jendela pengetahuan. Di kontrakan itulah Jack merajut asa bersama anak-anak didik.
“ Saya ingin, orang-orang mendapat pendidikan, agar tak seperti saya,” ucap pria 41 tahun itu.
***
Penuh perjuangan. Jack benar-benar merintis sekolah itu dari nol. Semula, sekolah ini bertempat di Masjid Raudatul Jannah. Tiga tahun berjalan, karena masjid tak lagi mampu menampung, murid-murid itu diboyong ke rumah mertua. Hingga sekarang mereka belajar di sana.
Meski milik mertua, bukan berarti bisa dipakai gratis. Jack harus membayar uang sewa Rp2,5 juta saban tahun. Meski boleh dibayar kapan saja. “ Ada uang atau enggak, ya jalan saja,” ucap dia sembari tertawa.
Merawat sekolah tidak melulu soal gedung. Operasional juga perlu biaya. Dan itulah jalan terjal yang dilalui Kang Jack saat awal mendirikan Raudatul Jannah. Penghasilan sebagai juru parkir harus dia bagi.
“ Kalau dapat Rp65 ribu disisihkan Rp10 ribu, kalau Rp50 ribu ya Rp5000,” ujar dia. Cupet memang. Dana itu jelas tak cukup menggerakkan roda belajar mengajar. Tak banyak orang mampu mengatur saku secekak itu. Tapi Jack bisa.
Untuk menambal kekurangan, Jack bekerja sampingan. Bersama sang istri, Yani Novitasari, dia menjadi buruh cuci mobil. Saban pukul lima sore, mereka bertemu di Terminal Cileunyi, berangkat bareng ke tempat kerja baru di Jalan Guntursari, Bandung.
“ Pulangnya bisa jam dua atau tiga dinihari,” kenang Jack.
Tak hanya buruh cuci kendaraan. Jack sekali waktu juga membantu Yani sebagai asisten rumah tangga di kediaman Kepala Dinas Pendidikan Tegal di Panyawangan tiap Rabu dan Sabtu.
“ Saya tak mengizinkan istri kerja di pabrik, karena masalah pergaulan. Saya lebih rida istri kerja sebagai pembantu, apalagi yang punya rumah orang berpendidikan. Bisa belajar juga,” tambah dia.
Peras keringat, banting tulang, dijalani. Tak mau meminta-minta. Mereka malu dibilang memanfaatkan sekolah itu untuk mencari uang. Melelahkan memang. Tapi mereka ikhlas. “ Kata istri, kalau capek kita ambil hikmahnya saja,” ujar Jack.
Sekolah Jack mulai mendapat sambutan positif pada tahun 2015. Pergaulannya dengan mahasiswa kampus Jatinangor membawa rezeki. Sekolah yang dirintas itu mulai dikenal orang. Sejumlah dermawan memberi donasi saban bulan.
Bantuan juga datang dari pemerintah. Meski baru sekali sejak sekolah itu berdiri, beberapa bulan lalu. Bantuan dari Desa Rancaekek yang harusnya Rp5 juta itu hanya dia diterima sebesar Rp4,25 juta.
“ Ada prosedur operasional. Kan biasa seperti itu,” kata dia dengan polos. Meski disunat, dana itu bisa dipakai beli rak buku.
Sekarang, sekolah Jack mendapat pemasukan tetap Rp700 ribu. Dana itu berasal dari infaq 27 siswa TK yang tergolong mampu. Murid-murid kelompok ini menyumbang Rp25 ribu saban bulan. Meski murah, masih ada juga wali murid yang tidak membayar.
Bagi yang tak bisa membayar seperti itu, cukup membawa surat keterangan tidak mampu. “ Agar tepat sasaran,” ucap dia.
Untuk TPA, Jack tak menarik biaya. Semua gratis. Namun dia mengajarkan siswa yang memiliki uang jajan berlebih untuk menyumbang seikhlasnya. “ Sebagai uang kas, kalau ada siswa yang sakit,” kata dia.
Dana infaq dari para murid itu dipakai untuk macam-macam keperluan. Mulai membeli majalah siswa, bayar tagihan listrik, peralatan, membayar tiga pengajar, hingga ekstra puding berupa susu atau sosis untuk 180 siswa, yang diberikan tiap Jumat.
“ Kalau dijumlah sebenarnya tidak cukup. Untuk ekstra puding 180 orang saja per bulan, saya mengeluarkan Rp1,2 juta,” tutur Jack.
Meski nombok, Jack tetap ikhlas. Dia merasa sudah terbiasa bertahan dalam kemiskinan. “ Saya tidak merasa rugi. Kalau ada rezeki besar malah ketakutan,” ucap dia.
***
Lima tahun berlalu. Sekolah Jack semakin berbentuk. Mulai banyak donatur menyumbang. Beberapa bulan lalu, dia mendapat rezeki dari perusahaan makanan saat menghadiri acara bincang-bincang di televisi swasta.
Dana sebesar Rp100 terkumpul dari sumbangan itu. Dipakai membeli tanah yang berjarak 10 meter dari rumahnya. Jack rencananya akan membangun Sekolah Dasar berlantai tiga di pekarangan itu.
“ Yang awalnya enggak kepikiran dan tak punya jalan, Allah kok ngasih jalan,” ucap dia.
Tanah itu kini sudah ditanami pondasi. Kokoh, dicor semen. Otot-otot besi penopang bangunan tumbuh, menjalar di mana-mana. Bak antena orari. Batu bata juga telah tersusun rapi, meski baru sebatas dada orang dewasa. Kusen-kusen berkelir merah calon pintu pun tegak di beberapa sisi.
Semua proses ada fase. Begitulah jalan Jack merintis sekolah ini. Sejak membuka sekolah di masjid, pindah ke rumah kontrakan, kini mulai membangun gedung di sebidang tanah yang baru dibeli. Perjuangan sejak 2012 itu sudah ada titik terang.
Tak hanya fisik. Jack juga membangun sumber daya manusia, para pengajarnya. Kini, tiga guru tengah memperdalam ilmu. Yani belajar di Universitas Terbuka. Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini. Dua lainnya berusaha menamatkan Kejar Paket C.
Dengan guru berpendidikan, Jack ingin siswa-siswi di Raudatul Jannah semakin bermutu. Selama ini, murid lulusan sekolah itu berprestasi di SD dan SMP.
“ Insya Allah, kemungkinan kalau ada tempat bisa menambah guru yang profesional dapat bisa berbagi ilmu pendidikan,” ujar dia.
Jack semakin optimis. Meski masih jauh, cita-cita mendirikan universitas semakin jelas tujuannya. Dengan berseloroh, dia sudah tak sabar mewujudkan UJM, Universitas Jack Mandiri. “ Walaupun dari gurauan tapi ada titiknya,” tutur Jack.
Berkat sekolah gratis itu, kini Jack semakin kerap diundang mengisi acara diskusi bertema pendidikan. Dia tak segan berbagi ilmu, meski masih sedikit grogi berbicara di depan khalayak.
“ Yang dihadapi pendidikankannya kan paling rendah S1, ada yang S2 atau S3. Kalau saya mah S1 D1..” ucap dia.
Maksudnya, “ Sarjana Dasar, Lulusan SD,” tutur Jack sambil tertawa.
Jack sudah memulai, dan terus maju. Seperti katanya tadi, beramal tak harus menunggu kaya. “ Saya bilang ini adalah proyek akhirat, bukan cari untung. Jadi yang penting saya ikhlas menjalankannya.”
Advertisement
4 Komunitas Seru di Bogor, Capoera hingga Anak Jalanan Berprestasi
Resmi Meluncur, Tengok Spesifikasi dan Daftar Harga iPhone 17
Keren! Geng Pandawara Punya Perahu Ratusan Juta Pengangkut Sampah
Pakai AI Agar Tak Khawatir Lagi Salah Pilih Warna Foundation
Video Sri Mulyani Menangis di Pundak Suami Saat Pegawai Kemenkeu Nyanyikan `Bahasa Kalbu`
Halte TJ Senen Sentral yang Terbakar, Berubah Jadi Halte Jaga Jakarta
Nyaman, Tangguh, dan Stylish: Alas Kaki yang Jadi Sahabat Profesional Modern
4 Komunitas Seru di Bogor, Capoera hingga Anak Jalanan Berprestasi
Kembali ke Akar: Festival yang Ajak Publik Belajar Jaga, Serap, dan Tumbuh
Resmi Meluncur, Tengok Spesifikasi dan Daftar Harga iPhone 17