Susah (4): Chintya Kahassa, Pegawai Laundry Jadi Mahasiswa UI

Reporter : Ahmad Baiquni
Rabu, 5 Agustus 2015 20:51
Susah (4): Chintya Kahassa, Pegawai Laundry Jadi Mahasiswa UI
Sempat putus sekolah. Pernah berdagang di pasar dan bekerja sebagai pegawai binatu. Mengalahkan puluhan ribu siswa untuk merebut satu kursi di perguruan tinggi ternama. Masih terkendala biaya kuliah.

Dream - Rumah mungil berukuran sekitar 36 meter itu tegak berdiri di atas lahan seluas 60 meter persegi. Letaknya di kawasan perumahan di timur Kota Depok, Jawa Barat. Lebih tepatnya, berada di Perumahan Pondok Mandala II J-6, Cimanggis.

Dinding luar rumah itu berwarna merah muda kusam. Di depan rumah itu, ada halaman kecil yang ditumbuhi tanaman hias dan teras yang tidak terlalu luas berhias keramik warna merah gelap.

Sayangnya, rumah mungil ini bukan milik pribadi penghuninya. Rumah ini merupakan milik seseorang yang berprofesi sebagai pengajar di sebuah perguruan tinggi.

Penghuninya adalah Chintya Kahassa Gultom, 19 tahun, dan sepupunya, Imran Zulkarnaen Gultom. Mereka mengontrak di situ. Mereka harus membayar uang sewa sebesar Rp 600.000 setiap bulannya.

Di sisi kiri ruang utama rumah itu, sebilah pintu berwarna putih tengah terbuka. Di dalamnya, ada ruangan seukuran 2,5x2,5 meter dengan sebuah jendela kaca berteralis. Dindingnya penuh dengan warna hijau. Sementara jendela itu ditutupi kain korden warna oranye, sehingga tampak segar.

Sejumlah barang tergeletak berceceran di sana. Beberapa helai pakaian terlihat lusuh, tampak baru diangkat dari jemuran. Sementara di salah satu sudut ruangan, meja belajar teronggok dengan beberapa buku tertumpuk di atasnya.

Di kamar ini, Chintya Kahassa Gultom, wanita berhijab itu, biasa beraktivitas. Dia kerap menghabiskan waktu senggangnya dengan membaca banyak buku. Ruangan ini pula menjadi tempat gadis remaja tersebut menempa diri dengan pelbagai pengetahuan di luar sekolah, hingga dia berhasil lolos dalam Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2015.

Padahal, Chintya bukan pelajar yang menempuh pendidikan formal. Dia tidak punya rapor jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) lantaran putus sekolah karena tidak punya biaya. Tetapi, dia tidak menyerah begitu saja.

Meski tidak tercatat sebagai siswa di lembaga pendidikan formal, capaian yang mampu diraih gadis remaja ini bisa dibilang mengesankan. Sebab, berbekal ijazah kelulusan setara Paket C dari lembaga pendidikan non formal Sekolah Masjid Terminal (Master) Depok, Chintya berhasil mengalahkan mimpi puluhan ribu pelajar untuk bisa berkuliah di salah satu universitas ternama.

Dia lulus SBMPTN dan terdaftar sebagai mahasiswa baru Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) Angkatan 2015…

***

Kamis siang pekan lalu...

1 dari 3 halaman

Putus Sekolah, Tapi Tak Mudah Menyerah

Putus Sekolah, Tapi Tak Mudah Menyerah © Dream

Putus Sekolah, Tapi Tak Mudah Menyerah

Kamis siang pekan lalu, Dream mencoba menemui Chintya. Saat itu, dia tengah bersama beberapa temannya belajar bersama di halaman depan Perpustakaan UI. Wajahnya di tengah balutan hijab berwarna biru gelap terlihat lesu karena kelelahan.

Chintya sudah terikat janji dengan salah seorang temannya untuk membantu belajar. Maklum, gadis belia ini baru saja lulus seleksi, sehingga dia ingin temannya merasakan kebahagiaan yang sama seperti dirinya, diterima di universitas kenamaan.

“ Kerjakan dulu satu paket soal, terus nanti diulas,” kata Chintya kepada temannya, Wanda Bianita.

Sambil menunggu Wanda, Chintya sesekali membuka lembar demi lembar buku yang ada di tangannya. Bukan novel kisah cinta remaja biasa yang dibacanya. ‘Max Havelaar’, begitu judul yang tertempel pada halaman buku itu. Ya, itu merupakan novel karya penulis bernama pena Multatuli, berisi kisah Nusantara di masa kolonial. Sebuah bacaan yang jarang disentuh kebanyakan remaja seusianya.

Kepada Dream, Chintya berkenan menceritakan perjalanan hidupnya. Meski tidak secara rinci dia sebutkan, namun cukup mengharukan. Dia adalah korban dari keretakan rumah tangga. Ayah ibunya bercerai ketika dia masih berusia di bawah lima tahun.

“ Sudah dari kecil, bapak dan ibu pisah. Chintya terus ikut nenek di Garut,” ucap dia sembari menundukkan wajah.

Di bawah asuhan sang nenek, Chintya bisa bersekolah di sekolah formal hingga lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saat duduk di bangku SMP, keterbatasan ekonomi membuat Chintya harus membantu sang nenek berjualan di salah satu pasar tradisional di Garut. 

“ Sempat kerja di pasar. Karena waktu itu nenek tidak bisa menanggung biaya sekolah,” kata Chintya.

Menginjak jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), kondisi ekonomi semakin sulit ditanggungkan Chintya. Dia sama sekali tidak punya penyangga keuangan yang bisa menjamin sekolahnya terus berjalan. Alhasil, dia harus putus sekolah.

Kabar putus sekolah terdengar oleh sang paman dari pihak ayah. Merasa iba, sang paman berusaha agar Chintya bisa berkembang dengan mengirimnya ke Depok.

“ Sama uwak (paman) saya diajak ke Depok, dititipkan sama kakak sepupu yang tinggal di Depok,” terang dia.

Saat tinggal bersama sepupunya, Chintya sempat bekerja. Kebetulan, sang sepupu bersama temannya membuka usaha jasa laundry ‘Umbah-umbah’ di Kukusan, dekat kampus UI. Di jasa binatu itu, Chintya dipercaya sebagai kasir dengan upah Rp500.000 per bulan. Tetapi, pekerjaan itu hanya dijalani Chintya tidak begitu lama.

***

Selama berada di jenjang SMA... 

2 dari 3 halaman

Berprestasi Meski Bukan Lulusan Sekolah Resmi

Berprestasi Meski Bukan Lulusan Sekolah Resmi © Dream

Berprestasi Meski Bukan Lulusan Sekolah Resmi

Selama berada di jenjang SMA, gadis belia ini mengenyam pendidikan di Sekolah Master. Sekolah ini didirikan oleh sejumlah komunitas remaja masjid seputaran terminal Depok untuk membantu para remaja miskin putus sekolah bisa tetap mengenyam pendidikan. Di lembaga non-formal inilah, Chintya terus menimba ilmu.

“ Selama sekolah SMA di Master,” ungkapnya.

Berbekal ijazah pendidikan dari Sekolah Master, Chintya memberanikan diri mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi. Dua kali dia mengikuti seleksi itu. Tahun 2014 dia mendaftar dan ikut ujian, tetapi namanya tidak tercantum di daftar peserta lolos seleksi. Itu tidak serta merta mematahkan semangatnya.

“ Lulus SMA dan daftar seleksi, tapi gagal. Lalu ikut bimbingan FE Master lagi,” katanya sembari memainkan pensil dalam gengaman tangannya.

Tahun 2015 adalah kali kedua dia ikut SBMPTN. Keberuntungan seperti tengah berpihak pada Chintya. Berkat usaha keras menempa diri, Chintya lulus ujian seleksi tersebut.

“ Kalau aku, dua tahun aku ngikutin try out. Lebih lah 10 kali. Sampai eneg deh pokoknya. Tapi menjelang ujian masih aja nervous. Sampai aku pengen buang air besar ketika ujian. Tapi ya ditahan-tahan. Tertekan itu ternyata bikin mikir jernih,” ungkap dia sambil tertawa.

Meski tidak bersekolah, sifat rajin Chintya tidak mudah luntur. Bahkan, ketika tinggal bersama sepupunya, minat bacanya justru semakin tumbuh. Pelbagai buku milik sepupunya yang merupakan lulusan UI dibacanya. Tidak ketinggalan, novel ‘Bumi Manusia’ karya Pramodya Ananta Toer menjadi bacaan dia. Bahkan, masuk daftar novel favoritnya.

“ Masih baca-baca Pramoedya Ananta Toer. Baca ‘Bumi Manusia.' Kesan pertama membaca buku itu, harus diulang-ulang. Dari situ jadi mulai sering baca-baca buku. Dari situ ingin baca Marx juga. Ingin baca Das Kapital,” ujarnya.

Kegemarannya membaca buku tersebut ternyata menarik minatnya untuk menggeluti Ilmu Sosiologi. Awalnya, dia punya cita-cita menjadi Antropolog Forensik. Lantaran membaca buku-buku tersebut, keinginannya beralih menjadi penyuka Sosiologi. 

“ Pilihan pertama Sosiologi. Pilihan kedua Antropologi. Pilihan ketiga Arkeologi. UI semua. Kalau aku, hajar UI semua,” ungkap dia.

Begitu namanya tercantum dalam daftar lulus SBMPTN, perasaan gembira menyelimuti benaknya.  Dia pun sempat memberitahu kedua orangtuanya. “ Senang (respon orangtua),” tuturnya.

Tetapi, tantangan tidak berhenti di situ. Chintya harus tetap berjuang mendapatkan beasiswa untuk biaya kuliahnya. Sebab, dia tidak tercatat sebagai calon mahasiswa penerima Beasiswa Bidik Misi –beasiswa negara khusus mahasiswa miskin-- lantaran pendaftarannya sudah ditutup sebelum pengumuman. Ketiadaan rapor dari kelas satu sampai tiga juga menjadi salah satu alasan yang menghambatnya. Sebab, rapor menjadi salah satu syarat untuk bisa mendapat beasiswa dari pemerintah tersebut.

Alhasil, dia terbebani Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan (BPOB) Rp500.000 per semester. Meski demikian, dia tidak mau menyerah. Harapannya, di semester kedua biaya kuliah harus tersedia melalui beasiswa.

Chintya pun sudah mendapat kepastian dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI. Namanya sudah masuk daftar mahasiswa calon penerima beasiswa.

“ Sudah dibantu oleh BEM UI. Katanya sih aku sudah masuk daftar. Tapi paling bisa dapatnya semester dua. Soalnya yang semester ini sudah tenggatnya habis,” tuturnya.

“ Kemarin nggak bisa daftar karena persyaratannya harus ada rapor. Nah, di sekolah Master kan nggak ada model rapor gitu. Kita langsung ijazah aja. Jadi, kemungkinan nunggu semester satu selesai. Nanti pakai IP (Indeks Prestasi) dan surat-surat lainnya,” lanjut dia.

***

Di mata keluarga dan teman-temannya...

3 dari 3 halaman

Sosok Pendiam tapi Cerdas

Sosok Pendiam tapi Cerdas © Dream

Sosok Pendiam tapi Cerdas

Di mata keluarga dan teman-temannya, Chintya dikenal sebagai sosok yang tekun belajar. Imran Zulkarnaen Gultom, kakak sepupu Chintya, mengenal betul sosok saudaranya itu.

“ Ya, dulu kalau waktu kecil pemalu. Seingat saya sih begitu. Rajin kok dia,” terang Imran yang mengetahui betul kisah perjuangan Chintya.

Selain itu, Imran mengenal Chintya tidak gampang menyerah. Meski dari keluarga kurang mampu, menurut Imran, Chintya tidak pernah sekalipun bermalas-malasan dalam belajar.

Ketekunan itulah yang membuat ayah Imran memutuskan membantu gadis belia tersebut. Meski demikian, Imran mengakui bantuan yang mereka berikan hanya sesanggup kemampuan mereka.

“ Ya, dia memang semangat belajarnya tinggi. Makanya kita bimbing dia,” ungkap Imran.

Sementara Nurul Fauziah, Project Officer Program Pendampingan FE-UI Sekolah Master mengenal Chintya sebagai salah satu peserta didik yang cukup cerdas. Bagi Nurul, Chintya merupakan siswa yang mudah menangkap pelajaran.

“ Kalau Chintya memang orangnya rajin sih. Setahu saya, nggak pernah bolos dan dasarnya pintar juga,” ungkap Nurul.

Chintya barangkali contoh sukses seperti tokoh Sang Pemula yang dikisahkan Pramodeya Ananta Toer dalam novelnya ‘Bumi Manusia.’ Wanita berhijab ini sudah membuktikan kebenaran tekad Minke –tokoh Sang Pemula dalam kisah itu— bahwa jika ada keinginan kuat selalu saja ada jalan terbuka. Namun, seperti kisah Minke, jalan yang dilalui Chintya tidaklah mulus.

Chintya masih terancam berhenti kuliah di tengah jalan karena belum mendapat beasiswa untuk biaya kuliah. Karenanya, negara harus turun tangan. Jangan sampai Chintya akan mewarisi akhir nasib tragis Minke sebagai Sang Pemula dalam novel ‘Bumi Manusia.’  Gagal dan terlupakan…. (eh)

Laporan: Maulana Kautsar

Beri Komentar