Korban Pembantaian Warga Muslim Mali Bertambah Jadi 160 Orang

Reporter : Ahmad Baiquni
Rabu, 27 Maret 2019 12:57
Korban Pembantaian Warga Muslim Mali Bertambah Jadi 160 Orang
Jumlah korban tewas diperkirakan terus bertambah.

Dream - Presiden Mali, Ibrahim Boubacar Keita, menyatakan jumlah korban tewas dalam tragedi pembantaian Muslim oleh milisi beda etnis telah meningkat menjadi 160 orang. Dia juga meningatkan pengamanan dalam negeri usai meninjau lokasi pembantaian.

" Kita butuh pengamanan di sini, ini adalah tugas kalian," ujar Keita memberikan perintah kepada Kepala Militer Mali, Jenderal Aboulaye Coulibaly, dilaporkan sbs.com.au.

" Hukum harus ditegakkan," tegas dia.

Tragedi memilukan dilaporkan terjadi di Desa Ogassogou pada Sabtu pekan lalu. Desa itu merupakan kediaman komunitas Fulani yang berlokasi di kota kecil Mopti di pusat Mali.

Pelaku pembantaian dilaporkan menggunakan pakaian pemburu tradisional. Pelaku diketahui merupakan anggota etnis Dogon yang terkenal sebagai komunitas berburu dan bertani.

Antara Fulani dan Dogon memiliki sejarah panjang terkait ketegangan antar-etnis. Perebutan akses atas tanah diduga menjadi pemicu pelaku menjalankan pembunuhan massal.

 

1 dari 2 halaman

Pembersihan Etnis

Pada Minggu, stasiun televisi resmi pemerintah, ORTM, melaporkan jumlah korban tewas mencapai 136 jiwa termasuk perempuan dan anak-anak.

Sehari kemudian, tepatnya pada Senin, sumber dari pejabat setempat dan Satuan Keamanan Mali menyatakan korban tewas mencapai 160 jiwa dan terus meningkat.

" Catatan terbaru adalah 160 tewas dan mungkin bisa meninggi," kata anggota dewan lokal, Amadou Diallo.

Diallo menyatakan pembantaian yang terjadi merupakan upaya pembersihan etnis.

Sebagian besar rumah yang ada di desa Ogassogou ditemukan dalam keadaan terbakar pada Minggu. Sementara mayat berserakan di tanah.

" Pelaku bukan jihadis, mereka pemburu tradisional," ujar salah satu tenaga medis yang menangani jenazah para korban.

 

2 dari 2 halaman

Sulitnya Identifikasi Pelaku dan Motif

Kepala Peneliti untuk kawasan Sahel pada Stockholm International Peace Research Institute, Aurelien Tobie, menyatakan sangat sulit untuk memastikan identitas pelaku.

" Sangat sulit untuk membuat identifikasi yang sah tentang siapa milisi ini, apakah seorang jihadis atau musuh dari siapa," kata Tobie.

" Setiap orang dipersenjatai tetapi keanggotaan satu kelompok dengan lainnya berfluktuatif dengan kepentingan pribadi, keluarga, masyarakat, atau kondisi tertentu," ucao dia melanjutkan.

Ini merupakan tragedi berdarah terbesar di Mali sejak adanya intervensi militer pimpinan Perancis pada 2013, memicu kembalinya kelompok jihadis yang telah mengendalikan kawasan utara Mali.(Sah)