Kisah Puasa Pertama Para Mualaf Amerika

Reporter : Ahmad Baiquni
Kamis, 9 Juni 2016 20:28
Kisah Puasa Pertama Para Mualaf Amerika
Mereka mualag. Baru menjalankan puasa. Mereka harus menahan diri. Tak sanggup melawan godaan. Tapi semua bertahan. Ini kisah mereka.

Dream - Hari mulai beranjak senja. Tapi restoran di tengah kota Manhattan, New York itu masih sesak. Pramusaji bernampan di atas pundak silih hilir mudik. Membawa pesanan makan orang-orang yang sudah menunggu sabar.

Sekejap kemudian, dari balik kaca restoran, Rollo Romig melintas. Langkahnya gontai. Raut mukanya lesu. Tak sadar matanya terpikat menu-menu makanan yang tersaji di depan restoran. Sebuah menu lama pie lemon dan makanan dari bayam dari tahun 1936. Ada juga menu tahun 1957 berupa daging puyuh, panggang ikan todak, dan kelinci rebus.

Air liurnya menetes. Perutnya memang sedang keroncongan. Sudah hampir sebulan jurnalis freelance ini tak makan siang.

Bukan tak mampu membeli, Romig seorang muslim. Hari itu dia sedang berpuasa. Dia bukan muslim dari lahir. Baru empat tahun dia mengucap syahadat. Menyatakan ikhlas memeluk Islam. Menemami istrinya yang sudah lebih dulu jadi muslimah.

Empat tahun berselang, pengalaman itu masih diingatnya. Puasa pertama sebagai seorang mualaf. Romig memang belum sempurna. Puasanya masih bolong-bolong. Di 2012, dia bertekad puasa sebulan penuh. Berat memang tapi harus dijalani.

Sehari jelang puasa di Juli 2012, Romig sudah punya rencana. Dia ingin berfoya-foya makan menu enak. Dia memakan apapun sebelum mulai menjalani puasa. Di kepalanya sudah terbayang beratnya ditawari aneka jus saat berangkat kerja. Atau melintasi Times Square dengan donat gratis yang harus direlakan untuk teman kantornya.

Saat pukul 04.10 pagi di sahur hari pertama itu, Romig seperti seorang bayi yang frustasi. Dia menghabiskan berliter-liter air minsum. Tak lupa secangkir kopi kedua. Istrinya tertawa. Tapi Romig tak hiraukan.

Menjalani puasa dan menjadi kaum minoritas memang pekerjaan berat. Didaulat sebagai negara yang menjunjung tinggi kebebasan, Amerika Serikat masih menganggap Islam sebagai agama kelas dua. Negara ini tidak benar-benar menerapkan kebebasan.

Situasi ini tentu tidak mendukung bagi Muslim di negeri Paman Sam tersebut. Mereka tidak bisa bebas beribadah dengan nyaman. Alhasil, mereka memilih mengabaikan rasa nyaman itu dan berusaha untuk bisa beribadah, apapun caranya. Terutama untuk menjalankan puasa.

Romig memang tak sendiri. Banyak muslim merasakan perjuangan yang sama. Harus berpuasa saat sebagian besar penduduk dengan lahapnya makan dan minum di restoran.

`Saya Sering Merasa Lemah dan Tak Sanggup`

1 dari 2 halaman

`Saya Sering Merasa Lemah dan Tak Sanggup`

`Saya Sering Merasa Lemah dan Tak Sanggup` © Dream

Tengok saja perjuangan Elissa Kerhulas. Wanita ini sudah berusia 62 tahun. Siang itu dia harus menemui kliennya. Kerhulas seorang ahli yoga dan pilates. Kegiatan yang tentunya menguras tenaga.

Di siang yang terik itu, Kerhula harus menerima klien. Berkonsultasi kondisi kesehatan dan kejiwaannya kepada wanita asal Sherman Oaks, Los Angeles, Amerika Serikat. Kerhulas melayaninya dengan penuh sabar.

Meski panas terik Kerhulas merasakan ada yang berbeda dalam dirinya saat ini. Dia merasa lebih tenang, lebih sabar, dan lebih peka terhadap kliennya. Dia bahkan merasa lebih bijak.

Perubahan itu baru dirasakan beberapa hari saat menjalankan puasa. Kerhulas memang telah menyatakan memeluk Islam. Karena keyakinan barunya itu, ia berusaha menjalankan seluruh kewajiban dalam Islam, termasuk puasa Ramadan yang baginya terasa sulit di awal.

Ramadan kali ini menjadi saat yang begitu indah baginya. Dia merasa punya lebih banyak kesempatan untuk fokus kepada Allah melalui peningkatan ibadah. Bersamaan dengan itu, dia merasa punya banyak waktu untuk putrinya.

“ Setiap kali saya merasa lemah dan tidak sanggup melanjutkan (puasa) ini, saya mengingat kembali tujuan saya. Saya berdoa, cahaya datang, dan hidup saya terasa indah. Saya merasa begitu dicintai dan keindahan, kekuasaan, kasih Allah mengalir begitu banyak kepada saya,” ucap dia.

Kisah Kerhulas merasakan indahnya Ramadan berawal dari anaknya, David Colman. Colman dua tahun lebih dulu memeluk Islam setelah sebelumnya memeluk agama yang sama dengan ibunya. Dia lalu mengenalkan sang ibu kepada Islam hingga akhirnya ibunya memutuskan menjadi mualaf.

Awal menjalankan puasa, Colman merasakan hal yang sama seperti ibunya. Ibadah itu terasa begitu sulit. Tetapi, dia merasakan ada kemantapan dalam dirinya, yang membuatnya kuat berpuasa. Kemantapan itu muncul karena ia terdorong untuk bisa lebih dekat kepada Allah.

“ Setelah Ramadan, saya merasa sangat baik,” kata Colman. “ Merasakan pertama kali Anda meminum segelas air dingin di hari yang terik, Anda merasa itu sangat berharga dan membuatnya semuanya terasa enak. Ini menata ulang rasa syukur kami,” ucap Colman.

`Terkadang Saya Butuh Secangkir Kecil`

2 dari 2 halaman

`Terkadang Saya Butuh Secangkir Kecil`

`Terkadang Saya Butuh Secangkir Kecil` © Dream

Chris Duffy merasakan betul tekanan itu. Pemuda mualaf asal Albany, New York, AS, justru merasa bersyukur bisa berpuasa di tengah tekanan sosial yang ia alami sebagai Muslim. Menahan lapar dan haus merupakan perkara mudah dibandingkan tekanan dari teman-temannya yang non-Muslim bahkan keluarganya.

Keluarga Duffy merupakan penganut Nasrani tetapi tidak taat. Keputusannya memeluk Islam membuat keluarganya keheranan. Sebab, Duffy tampak mengambil jarak dengan keluarganya.

“ Sulit bagi saya untuk terus berjarak dengan keluarga. Saya harus pergi ke rumah paman saya (yang juga Muslim) saat berbuka, dia menyediakan burger dan keju, kentang, ayam, dan beberapa karya. Tetapi ketika keluarga Anda mengatakan di sini ada makanan, sulit untuk menjelaskan kepada mereka saya tidak bisa. Godaan untuk berbuka selalu ada di sana,” ucap dia.

Pada awalnya, para mualaf berpandangan harus jauh dari makanan selama beberapa jam adalah hal sulit. Kebanyakan mereka tidak seketika mampu berpuasa. Meski begitu, mereka tetap berusaha untuk menjalankan puasa.

Seperti dialami Ethan Gottschalk. Profesinya sebagai perawat menuntutnya memiliki stamina prima dalam melayani pasien. Puasa sempat membuat staminanya turun.

“ Saya berpuasa sepanjang hari dan membuat saya bekerja lebih solid, tapi itu sulit untuk beberapa hari ini,” kata Gottschalk mengisahkan puasa pertamanya. “ Kadang-kadang saya butuh secangkir kecil air atau kerupuk,” lanjut dia.

Meski begitu, dia merasakan betul manfaat Ramadan. Dengan berpuasa, dia lebih bisa mengendalikan diri dan tidak tergoda dengan kenikmatan orang lain.

Ada keberkahan yang luar biasa dirasakan Gottschalk selama menjalankan puasa, terutama ketika berbuka. Di saat itu, dia benar-benar merasakan Ramadan adalah bulan bagi amalan sosial. Dia merasakan itu setiap kali pergi ke Masjid Cleveland di akhir pekan untuk berbuka puasa.

Puasa mungkin jadi hal yang sulit. Tapi para mualaf ini telah membuktikan manfaat dari puasa itu bagi kehidupan mereka. Tampaknya, hal itu semakin membuat mereka ingin lebih dalam lagi menjadi seorang Muslim.

Beri Komentar