Diego Frazao Torquato (www.bubblews.com)
Dream - Mata bocah dalam foto itu merona merah. Air matanya tumpah. Menghiasi tatapan yang hampa. Sementara, tangan bocah itu tengah memainkan biola yang pangkalnya dia jepit di dagu.
Bocah itu adalah Diego Frazao Torquato. Pemain biola asal Brasil yang tengah berduka saat prosesi pemakaman sang guru, John Evandro da Silva, yang tewas akibat kekerasan gengster. Melalui tangis dan nada-nada pilu biola itulah doa-doa untuk sang guru dipanjatkan.
Foto itu telah mengundang simpati publik. Tak hanya di Negeri Samba, tapi juga di berbagai belahan dunia. Banyak orang yang memandang foto itu, larut dalam sebuah keharuan. Bahkan tak jarang orang yang menemukan foto itu di dunia maya mencari kisah yang menjadi latarnya.
Wajar saja Diego menangis dalam prosesi pemakaman Oktober 2009 itu. Sebab, ada ikatan batin yang begitu erat di antara keduanya. Bagi bocah kelahiran 1997 ini, Evandro tak hanya sekadar guru, melainkan juga penyelamat hidup.
Masa kecil Diego memang cukup pahit. Dia tinggal di lingkungan yang keras. Kehidupannya sungguh lekat dengan penyakit, termasuk meningitis dan leukemia. Belum lagi kelaparan. Dan Evandro lah orang yang mengentaskan dia dari belitan hidup yang mendera.
Di tangan Evandro, Diego tumbuh menjadi pemain biola jempolan. Dia kemudian tergabung dalam orkestra Afroreggae binaan Evandro. Meski berbalut penyakit ganas, semangatnya berlatih biola tak pernah pudar.
Melalui orkestra itu pula Diego kerap bermain dalam pertunjukan amal untuk memerangi perdagangan anak-anak. Dia berpartisipasi dan menjadi bintang dalam berbagai konser amal, salah satunya pada Parade de Lucas. Pada Desember 2009, dia juga berpartisipasi dalam konser Rede Globo untuk kampanye yang sama.
Karena kisah hidup yang inspiratif dan aktivitas sosial itulah, Diego menerima penghargaan " Make a Difference Award" dari O Globo pada 2010. Bagi masyarakat Brasil, Diego merupakan " simbol harapan" . Harapan untuk memerangi leukemia. Harapan untuk memerangi kekerasan, seperti yang menimpa guru Evandro da Silva.
Namun pada 2010, kesehatannya menurun. Dia mengalami infeksi setelah menjalani operasi usus buntu. Penyakit yang dia derita semenjak kecil pun semakin mengganas. Yang menyedihkan, dia tak mampu melakukan kemoterapi.
Dalam kondisi parah itu, dia masih memelihara asa. Diego tetap ingin mewujudkan mimpi untuk berkeliling dunia dengan biolanya. Namun sayang, tak lama setelah foto legendaris itu diambil, maut terlebih dulu menjemputnya. Angan itu dia bawa hingga ke liang kubur. (Ism, Dari Berbagai sumber)
Dream - Bocah berbakat asal Sleman, Tasyrik Ismail Nurdin, terpilih untuk berlatih sepakbola di Spanyol dan Belanda. Bocah berusia 13 tahun tersebut akan mengasah kemampuan di dua klub raksasa Eropa, Barcelona dan Ajax Amsterdam.
Nurdin, begitu dia disapa, merupakan murid kelas VIII SMP Muhammadiyah 1 Depok, Sleman, Yogyakarta. Putra pasangan Agus Mohnurdin dan Dwi Bekti Damawati itu juga mejadi salah satu pemain yang terpilih dalam Tim Nasional usia 13 tahun.
Menjadi pemain sepakbola profesional memang menjadi cita-cita bocah yang berlatih di Sekolah Sosial Olahraga (SSO) Real Madrid UNY ini. Namun, untuk mewujudkan mimpi itu, Nurdin harus melewati jalan yang terjal. Perlu perjuangan ekstra keras.
Bocah kelahiran Sleman 6 Maret 2001 ini memang hidup dalam keluarga yang cukup sederhana. Sang ayah yang merupakan mantan atlet bola basket hanya berjualan sayur di rumah untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga.
Dia ingat betul sepatu bola pertama dia dapat dari pemberian tetangga. Sepasang sepatu itulah yang terus melindungi kakinya saat berlatih bola. Namun, lama-kelamaan sepatu itu akhirnya jebol juga.
Keinginan untuk memiliki sepatu bola menjadi masalah berat bagi Nurdin. Untuk mendapatkan penganti, dia harus susah payah menabung, menyisihkan uang jajan. " Satu bulan baru bisa beli sepatu seharga Rp 80.000," kata dia.
Nurdin sadar betul kondisi ekonomi keluarganya. Namun demikian bocah yang biasa menempati posisi sayap kiri ini tak pernah merasa malu dan rendah diri. Semua kondisi itu malah dia jadikan bahan bakar untuk meraih mimpi.
Tasyrik dijaswalkan berangkat ke Spanyol untuk berlatih di akademi Barcelona pada 16 Oktober 2014. Kemudian pada 20 Oktober, dia akan terbang ke Belanda untuk berlatih di Ajax Amsterdam. (Dari berbagai sumber)
Dream - Dulu, Eka pernah mengajar disebuah yayasan sosial untuk anak tidak mampu di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Di ujung tempat sana, bocah-bocah itu sangat manis dan lugu. Mereka selalu mencari perhatian dengan cara menangis, berantem, dan sebagainya.
Di bilik itu, ia berbagi ilmu kepada mereka. Tapi ada hal yang membuat ia terharu. Sebuah ketulusan dari sorot mata anak-anak polos.
Mereka mengajari Eka untuk memiliki cita-cita yang besar meski keadaan ekonomi tak menentu. Baca cerita selengkapnya di sinihttp://bit.ly/1oXMP1j (Ism)
Dream - Impian hijaber ini melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi terwujud. Terlahir dari keluarga kurang mampu tidak membuat Weni Tri Arfiyani (18) kecil hati.
Berkat hasil kerja kerasnya dalam belajar akhirnya ia diterima kuliah tanpa dikenai pungutan biaya hingga selesai di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
" Rasanya melihat kondisi keluarga, saya tidak kebayang akhirnya bisa kuliah. Apalagi tanpa harus membebani orangtua," kata Weni yang diterima di Jurusan Ilmu Komunikasi saat ditemui di rumahnya Desa Kajoran, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, baru-baru ini.
Awalnya gadis berperawakan mungil ini merasa ragu bisa mewujudkan mimpinya itu. Sebab penghasilan sang ayah, Bambang Suripno (51), sebagai sopir panggilan tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-harinya, apalagi untuk membiayai kuliah.
Dalam sebulan belum tentu mendapatkan panggilan untuk menyupir, bahkan pernah hingga dua bulan menganggur. Sementara ibunya, Liswidyawati (49), sehari-hari bekerja sebagai pembuat kue pesanan para tetangga.
Jika kondisi sepi pesanan, ia berjualan geblek dan gorengan di pasar depan rumahnya yang terletak di lereng kaki Gunung Sumbing.
Hati anak bungsu dari tiga bersaudara ini semakin miris mengingat perkataan ayahnya yang tidak akan pernah bisa menguliahkan anak-anaknya. Kedua kakaknya pun yang kini sudah berkeluarga hanya mampu mengenyam pendidikan hingga jenjang SMA.
" Ingin bisa lebih dari kakak-kakak saya. Saya yakin dengan kuliah nantinya kehidupan kami bisa lebih baik dari saat ini," kata Weni yang bercita-cita menjadi jurnalis.
Saat ini Weni dan kedua orangtuanya tinggal di sebuah rumah sederhana milik sang nenek. Sejak 2005 silam mereka menumpang tinggal di sana menunggui sang nenek yang sudah renta. Sebelumnya selama 21 tahun mereka hidup menumpang di rumah Mantri Kesehatan setempat.
" Dari lahir sampai sekarang masih numpang tinggal di rumah orang lain. Semoga suatu saat nanti bisa membelikan rumah untuk bapak dan ibu," ujar gadis berjilbab ini.
Sementara Bambang mengungkapkan keinginan berkuliah putrinya itu sudah muncul sejak SMP. Walapun hidup dalam keadaan pas-pasan, sekalipun ia tidak pernah melarang anak-anaknya melanjutkan kuliah.
" Tapi selalu saya tekankan kalau kuliah membutuhkan biaya besar dan bapak tidak mampu menyediakan uang sebanyak itu. Jadi kalau mau kuliah ya harus cari beasiswa," kata Bambang.
Weni mengaku tidak memiliki kiat khusus dalam belajar sehingga bisa terus berprestasi. Hanya saja setiap harinya ia selalu mengalokasikan waktu untuk belajar.
" Sehari-hari belajar maksimal 3 jam tapi efektif. Jadi tidak diforsir belajar terus malah akan kelelahan," kata alumnus SMA 1 Magelang ini.
(Ism, Sumber: UGM.ac.id)
Dream - Siapa sangka, putri penjual kue apem asal Salatiga, Setyaningsih (22 tahun) tidak lama lagi akan menggapai mimpinya menjadi Dokter Gigi. Gadis berhijab ini tengah tengah mengikuti pendidikan profesi dokter gigi atau koasistensi di Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UGM.
" Sekarang baru jalan 8 bulan, pendidikannya tinggal 7 bulan lagi," kata anak bungsu dari 7 bersaudara ini dikutip Dream.co.id dari laman UGM.ac.id, Selasa 1 Juli 2014.
Sebelumnya, putri pasangan Masykuri dan Painem ini diterima kuliah lewat jalur Program Penelusuran Bibit Unggul Tidak Mampu (PBUTM) UGM tahun 2009. Bagi mereka yang diterima lewat jalur ini, dibebaskan biaya kuliah hingga selesai. Kendati kuliah gratis, dia ternyata mampu menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran Gigi 3 tahun 10 bulan.
Ning saapan akrabnya bercerita, meski kuliah gratis di UGM, namun penghasilan ekonomi kedua orangtuanya tidaklah cukup menutupi kebutuhan hidup dia selama kuliah.
Sang ayah, kini berumur 74 tahun, bekerja sebagai buruh tani. Sedangkan sang ibu, penjual apem keliling di pasar Salatiga. Untuk biaya makan dan sewa kos, Ning dibantu saudara-saudaranya.
Ning berpikir ia tidak ingin membebani kedua orangtuanya yang sudah bekerja keras sejak puluhan tahun menyekolahkan seluruh anaknya yang berjumlah 7 orang itu.
Dari 6 orang saudaranya tersebut, 3 kakaknya berhasil lulus sarjana dan satu orang lulus Diploma. " Hanya satu yang tidak selesai kuliah, dua orang hanya tamat SMA,” kata dia.
Kegigihan kedua orangtuanya dalam menyekolahkan anak-anaknya mendorong Ning memberikan yang terbaik buat keduanya. Apalagi Ning selalu ingat pesan sang Ayah, " Nggak usah mikirin biaya, yang penting sekolah," ujar Ning meniru pesan Ayah.
Suatu ketika, Ayahnya pernah kesulitan membayar biaya sekolah salah satu anaknya. Karena tidak ada uang, beberapa pohon kelapa di belakang rumah ditebang lalu dijual untuk ganti membayar uang sekolah. " Sering juga pinjam tetangga," tutur Ning.
Meski kehidupan ekonomi keluarga pas-pasan, Ning mengaku ia dan saudaranya yang lain selalu berprestasi di kampus dan di sekolah sehingga sering mendapat bantuan beasiswa.
Tidak cukup mengandalkan beasiswa, hampir semua saudaranya melakoni kuliah sambil kerja. Ning pun melakukan hal yang sama. Selama kuliah, ia mengajar les untuk anak-anak 3 kali seminggu.
Ning mengaku beruntung bisa diterima kuliah gratis di UGM karena sangat membantu meringankan beban orang tuanya. Kini Ayahnya lebih banyak menghabiskan masa tuanya dengan beristirahat di rumah.
Sementara sang ibu masih aktif berjualan apem keliling di pasar Salatiga. Tiap pagi ibunya yang berumur 64 tahun itu menjual ratusan apem yang dijual seharga Rp1000 per biji. " Kalau pulang ke rumah, saya sering membantu beliau buat apem," kata Ning yang berkeinginan ingin menjadi dokter gigi spesialis. (Ism)
Advertisement
Kisah Sukses Penyintas Kanker Bangun Kedai Burger, Cuma Jual 30 Porsi tapi Selalu Laris
Donald Trump Tebar Pujian Lagi ke Presiden Prabowo Subianto: 'Sosok Luar Biasa dari Indonesia'
Intip Gaji Pramugari di Indonesia, Penasaran?
7 Pantai Dekat Jakarta yang Cocok untuk Pelepas Penat
Saatnya Gen Z untuk Shine & Unstoppable di Yamaha Youth Community Got Talent 2025
Energi Baru dari #TwistLickDance, Kolaborasi Penuh Warna antara OREO dan BABYMONSTER
Orang Korea Dagang Cilok Keliling, Netizen: Kita `Jajah` Bangsa Lain Via Jajanan
13 Komunitas Kanker di Indonesia, Beri Dukungan Luar Biasa Bagi Para Penyintas
Kisah Sukses Penyintas Kanker Bangun Kedai Burger, Cuma Jual 30 Porsi tapi Selalu Laris
Insiden Mic Bocor Prabowo Subianto dan Donald Trump, Obrolan Terekam Tanpa Disadari