Dream - Semua orang memiliki trauma pada sebuah kondisi/situasi besar yang pernah dialaminya. Trauma sendiri merupakan kondisi yang timbul sebagai akibat dari pengalaman atau peristiwa buruk yang dialami oleh seseorang, seperti kecelakaan, ditinggalkan, kekerasan fisik/ psikis, atau bencana alam.
Pada masa anak-anak yang mungkin sering dianggap sudah terlewat, trauma juga bisa terbawa hingga dewasa. Trauma yang dialami saat masa anak-anak bisa menyebabkan disregulasi emosi, rendahnya harga diri, serta memiliki trust issues pada diri sendiri dan orang lain.
Ketika berbicara tentang trauma atau trauma masa kanak-kanak yang kompleks, dapat secara sederhana didefinisikan sebagai “adverse childhood experiences/pengalaman masa kanak-kanak yang merugikan” atau ACE.
Hal tersebut mencakup pelecehan fisik, emosional, atau seksual; pengabaian fisik atau emosional; penyakit mental orang tua, ketergantungan zat, penahanan; perpisahan atau perceraian orang tua; atau kekerasan dalam rumah tangga.
Rupanya ada sebuah tes yang bisa mengetahui kondisi trauma masa kecil yaitu tes ACE. Hasilnya dapat menentukan dampak trauma pada seseorang yang dipicu oleh kondisi masa kecilnya. Semakin tinggi skornya, semakin besar kemungkinan hasil kesehatan mental yang buruk.
Paparan trauma ini dapat menyebabkan disregulasi emosional, harga diri yang buruk dan penerimaan diri yang tidak memadai, kurangnya kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain.
Menurut penelitian yang sangat terkenal di AS, dilakukan oleh Kaiser dan CDC (Centers for Disease Control and Prevention/
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat), ditemukan bahwa seseorang yang memiliki skor ACE 4 atau lebih, risiko relatifnya untuk mengalami depresi adalah empat setengah kali lebih besar dibandingkan seseorang yang skor ACE-nya nol. Mereka dengan skor ACE tinggi berisiko 12 kali lebih besar untuk menyakiti diri sendiri.
“Pengalaman trauma ketika otak belum berkembang optimal untuk memprosesnya, membuat seseorang sangat rentan merasa secara psikologis, sulit untuk percaya pada keadaan. Meninggalkan semacam ruang dan waktu yang membeku, lalu bermanifestasi dalam masalah kepribadian. Seperti paranoid, depresi, gangguan obsesif kompulsif, kemarahan yang tidak terkendali, serangan panik, gangguan makan, ADHD, hingga kecenderugan menyakiti diri sendiri saat sedang stres," kata Dr. Preeti Singh, seorang psikolog dan psikoterapis.
Trauma memang tak bisa hilang begitu saja. Dibutuhkan waktu, proses dan usaha untuk meredakannya. Terutama pada anak-anak di mana kognitif dan psikologisnya belum berkembang dengan baik.
Pada anak-anak, sebisa mungkin orangtua harus mendampingi dan mendukungnya ketika anak pernah berada dalam situasi yang begitu traumatis. Pasalnya, hal itu akan berdampak jangka panjang pada kesehatan mentalnya.
Sumber: Times of India
Advertisement
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR
Potret Beda Pesta Pora 2025, Ada Jumatan Bareng Dipimpin Rhoma Irama
Psikolog Ungkap Pentingnya Pengawasan Orangtua Saat Anak Main Game
Inspiratif, Tiga Artis Cantik Ini Ternyata Founder Komunitas
Fakta-Fakta Ciamis Jadi Kota Kecil Terbersih se-ASEAN