Korea Selatan Masih Pegang Rekor Negara dengan Tingkat Kelahiran Terendah

Reporter : Mutia Nugraheni
Senin, 27 Februari 2023 15:56
Korea Selatan Masih Pegang Rekor Negara dengan Tingkat Kelahiran Terendah
Ketidaksetaraan gender dan kondisi sosial menjadi salah satu alasan di balik minimnya angka kelahiran di Korea Selatan.

Dream - Tingkat kelahiran hidup di Korea Selatan tiap tahun terus menurun sehingga menjadi negara dengan tingkat kelahiran terendah. Menurut data Statistik Korea, rata-rata jumlah angka kelahiran tiap wanita Korea Selatan selama masa reproduksinya menurun dari 0,81 pada 2021 menjadi 0,78 pada 2022.

Data tersebut dilaporkan terendah di antara negara-negara di Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD). Bahkan, pada 2020, Korea Selatan memiliki tingkat kelahiran terendah di OECD, dengan mencatat tingkat kelahiran hanya 0,59. Ini membuktikan bahwa tingkat kematian lebih banyak daripada kelahiran.

Tren ini terus berlanjut karena Korea Selatan tersebut mencatat sekitar 249.000 kelahiran dan 372.800 kematian pada tahun 2022. Menurunnya tingkat kelahiran telah berlangsung sejak 2015. Padahal, negara membutuhkan tingkat kesuburan 2.1 per wanita agar bisa mempertahankan populasi yang stabil tanpa imigrasi.

 

1 dari 3 halaman

Selain di Korea Selatan, penurunan demografi juga terjadi di negara Asia seperti China dan Jepang. Para ahli mengatakan jika tingkat kelahiran rendah karena banyak faktor seperti budaya kerja yang sangat menuntut waktu dan pikiran, meningkatnya biaya hidup, perubahan sudut pandang terhadap pernikahan dan kesetaraan gender, serta meningkatnya kekecewaan di kalangan generasi muda.

Pasangan Korea Selatan

Di Korea Selatan, alasan di balik minimnya angka kelahiran yaitu banyak yang merasa tidak kewalahan untuk membesarkan anak karena biaya yang mahal di tengah ketidakpastian pasar kerja yang suram, perumahan yang mahal, serta ketidaksetaraan gender dan sosial. 

Segala upaya dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan populasi. Yoon Suk-yeol, presiden Korea Selatan, mengatakan lebih dari $200 miliar telah dihabiskan untuk meningkatkan populasi selama 16 tahun terakhir. Pemerintah menawarkan uang tunjangan bayi sebesar 1 juta won (sekitar Rp11,5 juta) sebagai insentif untuk lebih banyak kelahiran, cuti paternitas berbayar yang diperpanjang, hingga kampanye sosial yang mendorong laki-laki untuk membantu mengasuh anak dan pekerjaan rumah tangga. Sayangnya, upaya tersebut belum menunjukkan keberhasilan.

 

Laporan Hany Puspita Sari/ Sumber; NextShark

 

2 dari 3 halaman

Mau Tahu Cara Orangtua Jepang Disiplinkan Buah Hatinya?

Dream - Jepang dikenal dengan masyarakatnya yang memiliki kedisiplinan tinggi. Hal ini bahkan mereka bawa ketika tinggal di negara lain dan jadi sebuah citra yang sangat baik.

Kedisiplinan memang jadi hal yang tak bisa dipisahkan dari warga Jepang, sejak mereka kecil. Penerapan disiplin bukan dimulai di area publik atau penuh dengan paksaan atau karena hukuman, tapi memang sudah jadi gaya hidup.

Keluarga jadi dasar utama membentuk kedisiplinan anak-anak di Jepang. Kate Lewis, seorang ibu asal Amerika Serikat yang tinggal di Jepang, sangat terkesima dengan displinnya anak-anak di Jepang. Ia menuliskan pengalamannya saat membesarkan buah hatinya dan berusaha mengadaptasi nilai kedisiplinan pada orangtua di sana.

" Saya bukan satu-satunya ibu Amerika yang menanyakan pertanyaan ini kepada diri saya sendiri. Menemukan balita Jepang yang berperilaku buruk menjadi semacam permainan dengan teman ibu internasional lainnya setiap kali kami membawa anak-anak kami ke taman dan museum. Jika kami melihat balita Jepang sedang mengamuk di depan umum, kami akan menghela napas lega. Bukan hanya anak-anak kami. Itu milik semua orang. Namun orang tua Jepang sepertinya tidak ikut campur sama sekali. Anak itu akan duduk di tanah, menangis dan berteriak di taman bermain atau taman, dan orangtua tampaknya relatif tidak peduli," tulis Lewis, dikutip dari Savvytokyo.com.

 

3 dari 3 halaman

Tak Permalukan Anak

Anak dibiarkan dulu tenang, dan orangtua tak berusaha keras untuk ikut campur. Hal lain yang selalu diterapkan adalah seni Shitsuke (disiplin). Orangtua tetap mendisiplinkan anak, menegur tapi mencari ruang privat dan bukan di depan publik karena anak akan malu.

" Di lain hari, kereta yang sibuk, dan kali ini ada anak lain yang mengamuk untuk pulang. Sang ayah dengan cepat menarik seluruh keluarganya dari gerbong kereta dan ketika pintu ditutup dan kereta melaju pergi, saya melihatnya berjongkok di peron. Orangtua jongkok sampai mensejajarkan tinggi dengan anak dan menunggu anaknya tenang untuk berbicara, sambil menemani dan memastikan anak aman," ungkap Lewis.

Tak semua orangtua bisa dan terbiasa melakukan ini karena memang dibutuhkan pengelolaan emosi dari orangtua dulu untuk menghadapi anak yang juga sedang emosi. Lewis pun bertanya pada temannya yang orang Jepang bagaimana mereka menegur anak-anaknya saat berulah.

" Saya bertanya 'bagaimana cara membentaknya?'. Dia mendemonstrasikan, menyebut nama anaknya dengan cepat dan penuh dengan peringatan. 'Ini bekerja dengan sempurna' katanya padaku," ungkap Lewis.

Beri Komentar