Keluar Cairan dari Organ Intim Saat Hamil, Bagaimana Hukum Salatnya?

Reporter : Mutia Nugraheni
Rabu, 23 Februari 2022 14:04
Keluar Cairan dari Organ Intim Saat Hamil, Bagaimana Hukum Salatnya?
Berikut penjelasan dari berbagai ulama.

Dream - Selama hamil, kondisi ibu tentunya berubah drastis. Salah satu keluhan yang kerap muncul adalah keputihan atau keluar caira berwarna dari organ intim. Dalam hal ini kita seringkali jadi bingung dengan kondisi kesucian.

Penting untuk mengetahui hukum Islam terkait hal ini. Menurut Fiqih Islam, dikutip dari BincangMuslimah.com, cairan yang keluar ketika masa hamil dan belum memasuki masa melahirkan, perlu diperjelas jenis-jenisnya.

Cairan tersebut bisa berupa darah atau berupa cairan bening atau keruh kekuning-kuningan. Dalam hal ini terdapat 2 kemungkinan jenis cairan, sebagaimana berikut:

Pertama, darah (darah haid atau darah penyakit). Para ulama terbagi menjadi 2 kelompok mengenai apakah wanita hamil bisa haid?

Kelompok Pertama mengatakan bahwa wanita hamil bisa haid, hal ini sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Al-Mughni [Juz 1, hal: 408] karya Ibnu Qudamah,

Ibnu Qudamah

Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Al-Laitsi berkata: Darah yang terlihat oleh wanita yang sedang hamil maka itu adalah darah haid jika hal tersebut memungkinkan, dan hal tersebut telah diriwayatkan oleh Az-zuhri, Qotadah, dan Ishaq; karena ia adalah darah yang ditemukan sebagaimana biasanya, maka ia tergolong darah haid seperti masa di luar kehamilan

Berdasarkan pendapat ini, apabila wanita hamil melihat darah yang keluar dari kemaluannya maka darah tersebut tergolong darah haid, sehingga ia tidak diperkenankan untuk shalat, puasa dan melakukan kewajiban-kewajiban lainnya.

 

1 dari 5 halaman

Tidak Haid

Tidak Haid © Dream

Kelompok kedua mengatakan bahwa wanita hamil tidak akan mengalami haid, hal ini sebagaimana yang terdapat dalam kitab Al-Fiqh Al-Muyassar [Juz 1, Hal:150],

Al-Fiqh Al-Muyassar

Kalangan Mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa darah yang keluar dari wanita yang sedang hamil ialah darah penyakit dan darah kotor, bukan darah haid.

Dan pendapat kelompok kedua inilah yang dipilih oleh mayoritas para Tabi’in seperti: Sa’id ibn al Musayyab, ‘Atho, Al-Hasan, Jabir bin Zaid, Ikrimah, Muhammad ibnul Munkadir, Asy-Sya ’biy, Hammad, As-Tsauri, Al-Auza’i, Ibnu Mundzir, Abu Ubaid.

Oleh karena itu berdasarkan pendapat ini, jika wanita hamil melihat darah yang keluar dari kemaluannya, maka darah itu bukanlah darah haid, sehingga ia tetap mempunyai tanggungan sholat, puasa dan kewajiban-kewajiban lainnya, namun ia diwajibkan berwudhu setiap hendak melaksanakan shalat fardhu.

 

2 dari 5 halaman

Dilihat Kondisi Darahnya

Dilihat Kondisi Darahnya © Dream

Syaikh As-Sayyid Salim dalam kitabnya Shahih Fiqih Sunnah [Juz 1, Hal: 181] menyatakan:

Syaikh As-Sayyid Salim

Artinya: Yang benar dalam masalah ini (Pendapat yang kuat: Dari 2 pendapat) ialah; Hukum asal dan kaidah umum yang dominan bahwa wanita hamil tidak mengalami haid, namun sesekali bisa terjadi pada kasus yang langka dari beberapa wanita, sehingga keluar darinya darah pada saat ia sedang hamil, maka dilihat dulu keadaan darahnya: jika seperti darah haid di dalam sifatnya darah seperti warna, bau, kebiasaannya, dan terjadi pada masa haid, maka darah tersebut dianggap darah haid, sehingga ia tidak diperkenankan melakukan sholat, puasa dan jima’ karena hal tersebut.

 

3 dari 5 halaman

Cairan lendir bening, atau keruh kekuning-kuningan

Cairan lendir bening, atau keruh kekuning-kuningan © Dream

Apabila yang keluar ialah cairan lendir yang bening, atau keruh kekuning-kuningan, maka ini biasanya merupakan cairan keputihan, para ulama menyebutkan dengan istilah ruthubah (basah-basahan) dan perempuan yang demikian tetap dikenai kewajiban sholat, karena cairan vagina itu berbeda dengan darah haid. Dalam kitab I’anatut Thalibin [Juz 1, Hal: 86] disebutkan bahwa cairan vagina itu berbeda dengan darah haid, sebagaimana dijelaskan berikut;

kitab I’anatut Thalibin

Artinya: Cairan vagina sejatinya suci menurut pendapat yang benar, yakni bukan mani dan bukan pula darah haid maka tidak mewajibkan mandi. Namun Imam Ramli berkata cairan tersebut dihukumi najis jika keluar dari dalam tubuh sehingga harus disucikan saat shalat. Jadi ada tiga macam cairan vagina; pertama, suci jika cairan tersebut berasal dari tempat yang wajib dibasuh saat istinja’ yaitu lubang vagina yang terlihat saat jongkok.

Kedua, najis jika cairan keluar dari liang vagina bagian dalam yaitu yang tidak terjangkau penis saat senggama. Ketiga, suci jika cairan berasal dari tempat yang tidak wajib dibasuh saat istinja’ yaitu berasal dari luar liang vagina dan masih terjangkau penis saat senggama.

Penjelasan selengkapnya baca di sini.

4 dari 5 halaman

Cara yang Diajarkan Islam Membersihkan Najis Urine Bayi Lelaki

Cara yang Diajarkan Islam Membersihkan Najis Urine Bayi Lelaki © Dream

Dream - Pengetahuan seputar bersuci (thaharah) sangat penting diketahui seluruh umat muslim. Bukan hanya soal kebersihan diri sendiri, tapi juga orang lain. Terutama para orangtua yang masih mengurus bayi.

Banyak yang tak tahu kalau cara membersihkan air kencing bayi lelaki yang ternyata beda dengan kencing bayi perempuan. Dalam fikih, ada tiga derajat tingkatan najis. Ketiganya adalah najis mukhoffafah (najis ringan), najis muthawassithah (najis pertengahan), dan najis mugholladzoh (najis berat).

Dikutip dari Bincangmuslimah.com, kencing bayi laki-laki bisa masuk kategori najis mukhoffafah hanya bagi bayi yang berusia di bawah dua tahun dan hanya minum ASI tanpa tambahan makanan pendamping. Itulah pengertian najis mukhoffafah sendiri.

Sedangkan selain itu, masuk dalam kategori najis muthawassitoh yang tentu cara membersihkannya berbeda. Cara membersihkannya hanya cukup mencipratkan air pada najis tersebut.

Jka najis mengambang pada suatu tempat, misal lantai di lantai hilangkan dengan kain terlebih dahulu. Hal tersebut diterangkan dalam I’anah at-Thalibin,

I’anah at Thalibin

Artinya: Najis mukhoffafah, ialah air kencing anak bayi laki-laki yang belum melampaui usia dua tahun dan belum mengkonsumsi apapun selain air susu ibunya, keterangan (cara mensucikannya) dalam membasuhnya cukup dengan mencipratkannya dengan air. Caranya dengan mencipratkan air yang menyeluruh dan melingkupi wilayah yang terkena najis tanpa harus air sampai mengalir. Hal tersebut berlandaskan pada hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Ummu Qais bahwa ia datang sambil membawa anak laki-lakinya yang masih kecil dan belum makan apapun (selain ASI). Kemudian Rasulullah mendudukkannya di pangkuannya, tak lama ia kencing dan Rasulullah mengambil air lalu mencipratkan air kencing dan tidak membasuhnya (sampai mengalir).

 

5 dari 5 halaman

Urutan Lengkap Membersihkannya

Urutan Lengkap Membersihkannya © Dream

Dalam sumber lain, seperti dalam Tuhfatul Muhtaj fii Syarhil Minhaj karya Ibnu Hajar al-Haytami,

Ibnu Hajar


Artinya: Disunnahkan untuk membasuh tempat najis setelah suci sebanyak dua basuhan untuk melengkapi sampai tiga basuhan walaupun itu najis mukhoffafah menurut qaul yang leboh unggul.

 

Untuk tata cara yang lengkap adalah pertama hilangkan wujud najisnya, kedua cipratkan air pada tempat najis, ketiga lengkapi dengan dua basuhan yang artinya mengaliri air di tempat najis tersebut.

Selengkapnya baca di sini.

Beri Komentar