Ilustrasi (Foto: Shutterstock)
Dream - Demi menghindari pengaruh negatif dari pergaulan, banyak orangtua membuat jadwal harian anak remajanya secara padat. Setelah pulang sekolah, masih ada banyak les yang harus diikuti.
Belum lagi tugas sekolah yang harus diselesaikan. Kesibukan anak kerap kali jadi 'pagar aman' agar mereka tak terjerumus ke hal-hal negatif. Hal ini sebenarnya harus diimbangi dengan kebutuhan anak remaja untuk menikmati waktunya sendiri, mengeksplorasi dan mencari tahu apa yang diinginkannya.
" Penting bagi orangtua untuk memastikan bahwa anak memiliki keseimbangan antara kegiatan yang dijadwalkan dan waktu untuk dirinya sendiri. Jangan sampai anak kewalahan dengan seluruh jadwal dari orangtua," ujar Jennifer O'Donnell, seorang pakar pengasuhan, seperti dikutip dari Verywell.
Memang, di usia remaja anak butuh banyak kegiatan positif, seperti menekuni hobi atau mengasah bakatnya yang lain. Namun penting juga bagi remaja untuk menikmati waktunya sendiri.
Studi menunjukkan bahwa anak-anak yang aktivitas sehari-harinya dibuat oleh orangtua merasa kewalahan dan tertekan. Efeknya dapat menyebabkan sejumlah masalah termasuk masalah perilaku dan emosi.
" Dengan kata lain, remaja yang jadwal hariannya sangat padat, dapat menjadi stres," kata Jennifer.
Bersekolah merupakan tantangan yang besar bagi remaja. Hal ini kerap tak disadari orangtua. Misalnya saja, tekanan untuk mendapat nilai yang baik, pengganggu di sekolah, tuntutan guru, masalah persahabatan, pubertas dan masih banyak lagi.
" Semua tantangan itu dihadapi anak dan ia memerlukan sedikit waktu pada untuk memikirkan dan menemukan cara untuk mengatasinya," kata Jennifer
Kita tentu ingin bersantai sejenak setelah seminggu bekerja. Hal ini juga dialami remaja. Mereka telah menjalani hari-hari yang sibuk selama sekolah, saat akhir pekan biarkan mereka menikmati waktu santai dengan caranya sendiri.
Dream - Konsep melarang, aturan yang ketat, 'haram' membantah, jadi gaya pengasuhan yang boleh dibilang cenderung 'dimentahkan' oleh anak remaja milenial. Bukan malah membuat mereka menurut, justru sebaliknya.
Anak remaja jadi lebih suka memberontak, dan cenderung kehilangan rasa hormat. Orangtua saat ini memang harus terus belajar dan up to date terkait isu yang berkembang pada anak remaja. Terutama seputar media sosial.
Banyak yang memata-matai akun media sosial anak remajanya. Bahkan ada yang sampai membuat akun palsu demi bisa berteman di media sosial dengan anak remajanya.
Kenyataannya, aktivitas di media sosial anak dapat memberikan banyak petunjuk kepada orangtua. Terutama terkait pergaulan mereka atau apakah anak sedang mengalami kesulitan atau tidak.
Remaja usia 12 hingga 15 yang menggunakan media sosial lebih dari tiga jam perhari, berisiko tinggi mengalami masalah kesehatan mental. Hal ini menurut studi yang dipublikasikan oleh JAMA Psychiatry. Permasalahan kesehatan mental ini meliputi depresi, kecemasan, dan agresi.
Selain itu, media sosial juga dapat mempengaruhi pilihan perguruan tinggi dan pekerjaan di masa depan. Riset juga menunjukkan, media sosial mempengaruhi remaja untuk mengonsumsi narkoba walaupun hal ini jarang terjadi.
Sebanyak 45% remaja mengatakan mereka adalah pengguna media sosial yang online secara konsisten. Dengan fakta demikian, penting bagi orangtua untuk memantau normal anak remajanya media sosial.
Gail Saltz, clinical associate professor of psychiatry di Rumah Sakit New York-Presbyterian, mengungkap kalau memata-matai cenderung berkonotasi negatif. Menurutnya, yang sebaiknya dilakukan orangtua adalah memantau anaknya.
" Memantau adalah mengecek aktivitas anak seminggu sekali sedangkan memata-matai, orangtua melakukannya setiap hari," ungkap Saltz.
Lisa Strohman, seorang psikolog remaja memberikan trik. Orangtua dapat menggunakan aplikasi, untuk memantau anak, tapi hal ini harus dilakukan secara terbuka. Bukan diam-diam apalagi menggunakan menggunakan akun palsu.
" Misalnya, bisa buat perjanjian. Mama senang kasih kamu ponsel tapi ada syaratnya ya, kita harus berteman di media sosial. Bukan untuk apa-apa, cuma untuk memastikan kakak/ adik selalu aman," ujar Strohman.
Ada beberapa batas yang tidak boleh dilanggar orangtua ketika memantau anaknya. Saltz menyarankan untuk tidak melihat percakapan anak, karena hal itu adalah privasi. Menurutnya, di beberapa tahap, cukup dengan memantau media sosial mereka.
" Jika ada tanda mengkhawatirkan, bahaya. Misalnya anak depresi, stres, bukalah pembicaraan dengan bijak. Bukan dengan dicecar apalagi disalahkan," ungkapnya.
Laporan: Keisha Ritzska Salsabila/ Sumber: Parents
Advertisement