Tiktok
Dream - Membuat tantangan di media sosial jadi hal yang cukup umum. Biasanya berupa tantangan dance, makan makanan tertentu atau hal lain yang biasanya untuk senang-senang dan seru-seruan.
Salah satu tantangan yang kini sedang tren adalah " BlackOutChallenge" . Tantangan tersebut begitu populer di TikTok, media sosial yang kini sangat diminati para remaja.
Challenge ini mengharuskan mereka yang mencobanya untuk menahan napas cukup lama hingga pingsan. Seorang ibu di Australia mengungkap tentang bahanya tren ini dengan harapan orang tua lain juga melakukan yang sama.
" Saya berlari menaiki tangga, dan ketika saya menaiki tangga, saya bisa mendengarnya seperti kesakitan," katanya dikutip dari Parents.
Dalam sebuah wawancara, dia menggambarkan bagaimana jendela kamar tidur putranya hanya berjarak beberapa kaki dan dia beruntung dia tidak jatuh melalui jendela itu setelah pingsan.
" Saya telah mengetahui betapa berbahayanya ini, dan anak-anak di seluruh dunia telah kehilangan nyawa. Ini sebenarnya cukup menakutkan, dan cukup serius. Sejak saat itu, saya memiliki kecemasan yang sangat besar atas video ini dan lainnya yang beredar di TikTok," ungkap ibu tersebut.
Pihak TikTok sendiri berusaha menghapuskan tagar-tagar " BlackOutChallenge" . Itu karena muncul laporan banyaknya anak remaja yang pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit setelah melakukan tantangan ini.
Pada 2021 lalu, bocah berusia 12 tahun asal Colorado meninggal dunia setelah melakukan tantangan ini. Para orangtua diharapkan lebih melek tekologi dan tren di media sosial.
Beberapa tren memang bisa sangat membahayakan anak-anak. Untuk mencegahnya, bukalah diskusi dengan buah hati terutama yang sudah aktif bermain media sosial.
" Orang tua perlu berbicara dengan anak-anak tentang media sosial, sama seperti tekanan teman sebaya, tv, dan hal apa pun," kata Samantha Rodman Whiten, psikolog klinis dan pendiri Dr. Psych Mom.
Menurutnya tak perlu langsung melarang anak menggunakan media sosial. Kuncinya adalah membuat anak memiliki pemikiran kritis dengan apa yang ada di media sosial.
Weisner mengatakan, untuk membuka diskusi bisa dengan mengajukan pertanyaan dan kemudian mendengarkan. Dia menawarkan beberapa pertanyaan untuk digunakan orangtua untuk memulai beberapa percakapan dengan anak-anak soal media sosial.
Ayah bunda bisa mengajukan pertanyaan berikut pada anak untuk membuat diskusi lebih mendalam soal media sosial.
- Pernahkah Anda mendengar tentang tantangan media sosial?
- Apakah ada tantangan yang pernah kamu dengar ternyata berbahaya atau tidak aman?
- Tanpa menyebut nama, apakah kamu secara pribadi mengenal siapa saja yang pernah mengikuti tantangan media sosial?
- Menurut kamu mengapa kegiatan ini disebut sebagai 'tantangan'?
" Fokusnya adalah untuk berbicara dengan anak-anak dalam spektrum yang lebih besar tentang bagaimana pengaruh luar dapat berbahaya atau membantu, dan ajari mereka untuk mengenali hal positif dan negatifnya," kata Dr. Weisner.
Dream - Media sosial (medsos) saat ini sudah jadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Saat pandemi, medsos juga membantu kita untuk tetap kontak dengan saudara dan kerabat dan tahu aktivitas dan perkembangan mereka meski tak bisa bertatap muka langsung.
Anak-anak pun mungkin sudah mulai menggunakan medsos untuk bersosialisasi dengan temannya. Terutama yang sudah berusia 10 tahun ke atas. Idealnya, penggunaan media medsos untuk anak usia 13 tahun ke atas, tapi saat ini anak di bawah usia tersebut pun sudah memiliki medson.
Peran orangtua sangat penting untuk mengawasi media sosial anak. Bila sudah memberi izin pada anak memiliki medsos, maka pastikan pengawasan dilakukan dengan baik. Bukan tak mungkin anak mendapat pengaruh negatif, mendapat informasi palsu atau mungkin perundungan di medsos.
Dampak media sosial bagi anak cukup nyata. Menurut penelitian, anak menjadi lebih sulit tidur, rendah diri, dan mengalami peningkatan rasa cemas. Dilansir dari purewow.com, berikut ini adalah beberapa tanda kebiasaan media sosial anak telah menjadi toxic.
1. Anak hanya memiliki pencapaian digital
Memiliki pencapaian digital bisa menjadi hal yang baik, terutama jika anak menggunakannya sebagai alat berbuat baik. Tapi jika semua perayaan berputar sekitar dunia digital, maka ini bisa menjadi pertanda anak menghargai pengalaman digital mereka lebih dari pengalaman di kehidupan nyata.
2. Anak banyak membandingkan
Anak yang masih berkembang dan mencoba mencari tahu siapa mereka jika terus menerus membandingkan diri mereka dengan teman-teman sebaya, ini bisa berbahaya. Ini dikaitkan dengan harga diri yang rendah dan masalah kesehatan mental.
3. Unggahan anak sangat berbeda dari kehidupan nyata
Jika anak terus menerus membandingkan dirinya dengan orang lain, kemungkinan besar mereka akan membuat gambaran akan diri mereka sendiri yang sangat berbeda. Ini bisa menjadi tanda bahwa mereka tidak senang dengan diri mereka yang sebenarnya.
Laporan Annisa Wulan/ Sumber: Fimela
Advertisement
Momen Prabowo Saksikan Penyerahan Uang Pengganti Kerugian Negara Rp13,25 Triliun dari Korupsi CPO
Mantan Ketum PSSI Usulkan STY Kembali Latih Timnas, Ini Alasannya
Wanita Ini 400 Kali Operasi Plastik Selama 15 Tahun
Potret Keren Yuki Kato Taklukan Chicago Marathon 42,2 Kilometer
16 Peneliti dari ITB Masuk Daftar World Top 2% Scientists 2025
9 Kalimat Pengganti “Tidak Apa-Apa” yang Lebih Hangat dan Empatik Saat Menenangkan Orang Lain
PT Taisho Luncurkan Counterpain Medicated Plaster, Inovasi Baru untuk Atasi Nyeri Otot dan Sendi
Momen Prabowo Saksikan Penyerahan Uang Pengganti Kerugian Negara Rp13,25 Triliun dari Korupsi CPO
Bahas Asam Urat dan Pola Hidup Sehat, Obrolan Raditya Dika dan dr. Adrian Jadi Sorotan