6 Pria Cekoki Miras ke Botol Susu Bayi Diciduk, Alasannya Bikin Elus Dada

Reporter : Annisa Mutiara Asharini
Sabtu, 23 Januari 2021 11:15
6 Pria Cekoki Miras ke Botol Susu Bayi Diciduk, Alasannya Bikin Elus Dada
Seorang pria mencekoki keponakannya sendiri dengan miras untuk menghentikan tangisan bayi.

Dream - Enam orang pria di Kecamatan Sipatana, Kota Gorotalo ditangkap polisi setelah diketahui menuangkan minuman keras ke dalam botol susu seorang bayi berusia empat bulan. Salah satu pelaku diketahui paman dari bayu malang tersebut. 

Lelaki bernama Andika itu sedang berpesta miras di rumah orangtua bayi bersama lima orang temannya pada Rabu malam, 20 Januari 2021.

" Sudah diakuinya, bahwa kala itu mereka sedang berpesta miras. Kemudian ia mendengar tangis bayi yang merupakan keponakan," tutur Kasat Reskrim AKP Laode Arwansyah, dilansir dari Liputan6.com.

Pelaku lalu memasukkan cairan miras ke dalam dot bayi dan meminumkannya kepada keponakan untuk menghentikan tangisan bayi.

" Andika kemudian menidurkan bayi tersebut di sampingnya, entah apa yang ada di pikirannya, kemudian ia memasukkan mulut botol tersebut ke dalam mulut bayi sebanyak dua kali," ujar Laode.

Aksi tersebut direkam oleh temannya yang berinisial MT dan disebarkan lewat media sosial. Video tersebut viral sehingga polisi melakukan penyelidikan.

Dari enam orang pelaku, polisi menetapkan empat orang sebagai tersangka kasus ini. Mereka dijerat dengan Pasal 89 ayat 2 UU 35 Tahun 2014 tentang perubahan UU Perlindungan anak dengan maksimal hukuman 10 tahun penjara.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by ???????????????????????????????????? (@ndorobeii)

 

1 dari 5 halaman

Jengkel Dampingi Sekolah Online, Kekerasan Pada Anak Meningkat Saat Pandemi

Dream - Pandemi Covid-19 menjadi tantangan tersendiri buat seluruh orang di dunia tak hanya di Indonesia. Sejak awal pandemi, Indonesia telah menjalankan 3B " Belajar dari rumah, Bekerja dari rumah, dan Beribadah dari rumah" .

Di bidang pendidikan sendiri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah memberlakukan kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau belajar dari rumah bagi seluruh peserta didik.

Kemdikbud juga telah membatalkan Ujian Nasional (UN) dan memberlakukan pembelajaran menggunakan media digital.

Menurut Dr Yulina Eva Riany, dosen IPB University dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), Fakultas Ekologi Manusia (Fema), pemberlakuan PJJ ini membuat seluruh anggota keluarga baik orang tua maupun anak mengalami hari-hari yang panjang di rumah.

2 dari 5 halaman

Timbul bosan

Ilustrasi

Perubahan yang terjadi pada rutinitas sehari-hari ini tidak jarang menyebabkan keluarga mengalami konflik antar anggota keluarganya akibat timbulnya rasa bosan, jenuh, dan penat yang dialami.

“ Penelitian menunjukkan bahwa mayoritas tindak kekerasan terhadap anak terjadi pada keluarga dengan kondisi sosial-ekonomi yang rendah," jelas Dr. Yulina, dalam keterangannya pada Selasa, 13 Oktober 2020.

" Hal ini terjadi karena tekanan sosial-ekonomi (terlilit hutang, rendahnya kemampuan ekonomi, dan lain-lain) menjadi penyebab tingginya tingkat stres pada orang tua," jelasnya.

Dr Yulia menambahkan bahwa perubahan pada kondisi finansial keluarga akibat adanya Covid-19 (kesulitan mengakses kebutuhan pokok), diyakini akan semakin memperburuk tekanan psikologi pada keluarga yang dapat berdampak fatal bagi kondisi keluarga.

 

3 dari 5 halaman

Belum terbiasa

Ilustrasi

Biasanya anak yang menjadi korban dari ledakan emosi orang tua, karena anak menjadi sasaran terdekat dengan orang tua sekaligus akan minim kemungkinan anak akan melakukan perlawanan terhadap orang tuanya.

Hal ini menyebabkan ekspresi amarah berlebih sebagai solusi masalah sering terjadi dari orang tua kepada anaknya.

Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Nusa Tenggara Barat (NTB) menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak di NTB meningkat sebanyak 12 persen selama pandemi.

 

4 dari 5 halaman

Keterbatasan ekonomi

Sementara itu, data yang dihimpun dari sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) dari 1 Januari 2020 sampai 23 September 2020 menunjukkan bahwa Kasus Kekerasan terhadap Anak (KtA) di Indonesia sebanyak 5.697 kasus dengan 6.315 korban.

“ Informasi yang beredar bahkan menyebutkan bahwa mayoritas anak-anak tersebut mengalami kekerasan akibat kejengkelan orang tua mereka dalam mendampingi belajar online di rumah," tambah Dr. Yulina.

" Keterbatasan ekonomi yang mereka alami di saat pandemi menuntut mereka harus meluangkan biaya khusus demi pembelajaran online anak-anak mereka, sehingga tidak mengherankan ketika orang tua sangat emosi ketika mereka menilai bahwa anak-anak mereka tidak mampu menguasai proses PJJ di rumah," katanya lagi.

 

5 dari 5 halaman

Dengan demikian, diperkirakan banyak anak-anak yang mengalami kasus kekerasan serupa di rumah selama proses PJJ akibat pandemi Covid-19 ini.

Melihat dari data tersebut, terlihat bahwa kekerasan anak di beberapa daerah di Indonesia mengalami peningkatan tajam karena pandemi Covid-19.

Dengan beragam faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, tidak heran orang tua menjadi emosi.