Bertaruh Nyawa, Kisah Perjuangan Dokter Sembuh dari Covid-19

Reporter : Ahmad Baiquni
Jumat, 4 Desember 2020 18:01
Bertaruh Nyawa, Kisah Perjuangan Dokter Sembuh dari Covid-19
Menderita Covid-19 menjadi seperti siksaan bagi Sriyanto. Dia hampir menyerah namun memilih bertahan demi bisa memperbanyak amal shalih.

Dream - Sriyanto merasakan betul betapa beratnya berjuang melawan Covid-19. Tantangannya pun sungguh berat, harus bertaruh nyawa jika sampai tak mampu bertahan.

Dokter bedah sebuah rumah sakit itu bersama putranya harus merasakan ruangan isolasi pada 18-30 November 2020. Keduanya dinyatakan positif Covid-19 pada 18 November 2020 dan langsung diisolasi di RSUD dr Moewardi Solo.

" Saya dan anak saya mengalami kondisi demam dan batuk. Sepanjang perjalanan dari Wonogiri ke Solo, tubuh saya terus menggigil," ujar Sriyanto membagikan pengalamannya.

Kondisi semakin parah karena ada anggota keluarga lain yang juga terkena Covid-19. Ayah mertua Sriyanto yang juga dokter bedah dirawat di ICU RS Karyadi.

" Usianya yang sudah 78 tahun, menjadikannya sangat rapuh menghadapi serangan virus ini. Sudah ada total delapan orang dari keluarga kami yang positif C0vid-19," kata dia.

Kondisi Sriyanto memburuk setiba di ruang isolasi. Demamnya meninggi dan setiap hari dia menggigil. " Bahkan setiap 6 jam sekali harus mengkonsumsi obat pamol (paracetamol) agar tidak menggigil akut," ucap dia.

 

1 dari 5 halaman

Tak Bisa Mengunyah

Empat hari menjalani isolasi, dia mengalami batuk parah dan seluruh badannya terasa ngilu. Setiap kali mendapat telepon dari keluarga atau teman, batuk Sriyanto jadi makin parah.

Apalagi jika bergerak seperti untuk sholat, batuk tidak berhenti. Sriyanto mengaku sangat tersiksa dan sulit bernapas.

Kondisi semakin parah saat masa isolasi masuk hari keenam. Sriyanto kehilangan kemampuan untuk mencium bau dan mencecap rasa makanan. Mengunyah pun tak bisa lancar.

" Nasi jatah makan terasa sangat keras. Saya berusaha mengunyah tapi gagal. Kerongkonganku terasa sangat sakit," ucap dia.

Sriyanto sampai berkali-kali berusaha mengunyah nasi namun gagal. Dia terpaksa memuntahkan nasi tersebut. Kondisi itu membuat Sriyanto kehilangan kesabaran. Dia sering protes ke perawat mengapa menyajikan makanan yang tidak dimasak secara benar lantaran nasi yang terasa keras.

Penjelasan perawat membuatnya kaget. Perawat mengatakan kepadanya nasi tersebut sudah dimasak dengan baik dan lembek. Tetapi karena Sriyanto sedang sakit, nasi itu menjadi terasa keras dan sulit dikunyah.

" Saya segera tersadar bahwa kondisi ini yang menyebabkan nasi terasa keras sehingga sulit untuk mengunyah sekaligus menelan. Mungkin cairan kelenjar tidak keluar sehingga fungsi saraf menelan terganggu," terang dia.

 

2 dari 5 halaman

Hampir Menyerah

Hari ketujuh menjadi puncak Sriyanto merasakan sakit. Batuknya makin parah, ditambah diabetes jadi komorbid menjadikan Sriyanto berada di saat-saat genting. Dua tahun sudah Sriyanto harus menjalani suntikan insulin novomik.

Dia hampir menyerah. Apalagi banyak sahabatnya berpikir Sriyanto sedang genting mengingat diabetes yang dia alami. Mereka pun khawatir dokter bedah itu tak terselamatkan.

" Tetapi, malam itu sekaligus penuh mukjizat karena saya mendapat kiriman plasma dari Jakarta. Beberapa hari sebelumnya saya memang memesan dua kantong plasma," kata dia.

Jadilah di hari itu Sriyanto mendapatkan injeksi satu kantong plasma. Selain itu, dia juga meminta untuk disuntik tosilizumab. Dia sadar, harga obat itu tidaklah murah namun harus dipakainya agar dapat pulih. Satu dosis tosilizimab bisa didapatkan dengan harga Rp8 juta.

Meski begitu, khasiat obat itu cepat sekali terasa. Enam jam setelah mendapat suntikan, Sriyanto sudah bisa makan pisang.

" Padahal sebelum disuntik saya tidak bisa menelan, semuanya terasa begitu keras sampai membuat saya frustasi," ucap Sriyanto.

 

3 dari 5 halaman

Masa-masa Kritis Terlewati

Di hari kedelapan, Sriyanto kembali mendapat injeksi satu kantong plasma. Injeksi selesai, dia pun tertidur 12 jam lamanya dengan alat-alat medis menempel pada tubuhnya. Ketika bangun, dia merasakan badannya sudah ringan. Sakit-sakit yang muncul sebelumnya mulai berkurang.

Sedangkan keesokan harinya, Sriyanto tak lagi demam meski tetap harus minum obat penurun panas. Sementara batuknya berkurang drastis, sekitar 75 persen.

" Terlewati sudah masa-masa kritis. Terlewati sudah pertarungan antara hidup dan mati," terang Sriyanto.

Sriyanto pun bersyukur bisa mendapatkan injeksi plasma dan suntikan tosilizumab. Dia menyatakan penggunaan acterma dan plasma cukup efektif mengobati pasien Covid-19, khususnya penderita komorbid diabetes.

 

4 dari 5 halaman

Ayah Mertua Meninggal Karena Covid-19

Di tengah kondisinya yang sedang dalam pemulihan, kabar duka datang. Ayah mertuanya tak terselamatkan dan mengembuskan napas terakhir akibat Covid-19 pada 21 November 2020. Lengkap sudah kesedihan yang dirasakan Sriyanto.

Tetapi, dia tak mau terpuruk. Dalam hati, dia azamkan tekad untuk sembuh dari C0vid-19. Motivasinya hanya satu, ingin berbuat lebih banyak lagi amal shaleh.

" Bekal saya belum cukup untuk pulang ke negeri keabadian," kata dia.

Semangatnya untuk sembuh semakin kuat berkat kiriman doa dari kerabat dan sahabat yang disampaikan lewat berbagai media. Ditambah video kiriman dari para santri TPQ, baginya terasa seperti guyuran air di tengah terik gurun pasir.

" Mulut-mulut kecil itu meminta saya untuk tetap semangat agar bisa bertemu mereka kembali untuk mengobati orang lagi. Tak terasa air mata menetes," kata dia.

 

5 dari 5 halaman

Doa Jadi Penguat

Perjuangan melawan Covid-19 menjadi pengalaman yang tak akan pernah bisa dilupakan Sriyanto. Dia berpesan saat mengalami kondisi kritis, percayakan sepenuhnya pada pengobatan medis. Tak kalah pentingnya, doa dan perhatian dari orang sekitar yang sangat membantu proses pemulihan.

" Jangan pernah lelah memberikan perhatian dan doa untuk mereka yang sedang sakit. Sungguh pelukan doa dari orang-orang terkasih begitu berharga," kata dia.

Tak lupa, Sriyanto mengingatkan masyarakat agar selalu menjaga kesehatan dan menerapkan protokol kesehatan. " Selalu gunakan masker, cuci tangan dengan sabun dan air mengalir serta menjaga jarak aman dengan orang lain," kata dia.

Kini, Sriyanto dan anaknya telah sepenuhnya pulih. Kondisi kesehatan mereka kembali normal seperti sedia kala. 


Selalu ingat #PesanIbu untuk selalu mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak untuk pencegahan virus COVID19. Jika tidak, kamu akan kehilangan orang-orang tersayang dalam waktu dekat.

 

Beri Komentar