Ilustrasi (Shutterstock.com)
Dream - HW, guru pelaku rudapaksa 12 santriwati harus mempertanggungjawabkan perbuatan bejatnya di pengadilan. Dia didakwa dengan hukuman penjara 20 tahun.
Plt Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Riyono, mengatakan HW didakwa melanggar Pasal 81 Undang-undang Perlindungan Anak. Pasal tersebut memuat ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun.
" Tapi perlu digarisbawahi di situ ada pemberatan, karena sebagai tenaga pendidik, jadi ancamannya menjadi 20 tahun," ujar Riyono.
Menurut Riyono, HW sudah beraksi sejak 2016. Seluruh korban adalah peserta didik di pesantren yang dikelola terdakwa.
" Mereka ini kan masih kategori anak-anak sehingga tentu saja ada trauma itu, pasti," ungkap dia.
Kepala Sie Penerangan dan Hukum Kejati Jabar, Dodi Gazali, mengungkapkan perbuatan biadap pelaku dijalankan tidak hanya di pesantren. Bahkan di hotel dan apartemen.
Dalam melancarkan kejahatannya, Dodi mengatakan terdakwa memaksa korban dengan ancaman disertai kekerasan. Terdakwa juga diduga mengiming-imingi korban.
" Sehingga perbuatannya harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri," kata dia.
Dugaan lain diungkapkan Kepala Kejati Jawa Barat, Asep N Mulyana. Menurut Asep, terdapat dugaan penggelapan dana bantuan yang dilakukan terdakwa.
Asep mengatakan dugaan tersebut tengah diselidiki Kejati Jabar. Tetapi untuk saat ini, pihaknya fokus pada perkara yang sedang disidangkan.
" Kemudian juga terdakwa menggunakan dana, menyalahgunakan yang berasal dari bantuan Pemerintah, untuk kemudian digunakan misalnya, katakanlah, menyewa apartemen," ucap dia, dikutip dari Merdeka.com.
Dream - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menemukan dugaan upaya eksploitasi anak pada kasus guru ngaji yang meruda paksa 12 santriwatinya di Kota Bandung. Atas temuan ini, LPSK mendorong Polda Jawa Barat menguak dugaan tersebut.
" LPSK mendorong Polda Jabar juga dapat mengungkapkan dugaan penyalahgunaan, seperti eksploitasi ekonomi serta kejelasan perihal aliran dana yang dilakukan oleh pelaku dapat diproses lebih lanjut," ujar Wakil Ketua LPSK, Livia Istania DF Iskandar, dalam keterangan tertulis.
Temuan tersebut muncul saat persidangan perdana berlangsung pada Selasa, 7 Desember 2021. Menurut Livia, pelaku membuat pengakuan dengan menyebut anak-anak yang dilahirkan para korban sebagai anak yatim piatu.
" Fakta persidangan mengungkap bahwa anak-anak yang dilahirkan para korban diakui sebagai anak yatim piatu dan dijadikan alat oleh pelaku untuk meminta dana kepada sejumlah pihak," kata dia.
Selain itu, Livia mengungkapkan pelaku juga mengambil dana Program Indonesia Pintar (PIP) milik para korban. Bahkan dari keterangan salah satu saksi, terungkap pesantren yang dikelola pelaku mendapatkan dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) namun penggunaan tidak jelas.
" Para korban dipaksa dan dipekerjakan sebagai kuli bangunan saat membangun gedung pesantren," kata dia.
Atas kasus ini, LSPK memberikan perlindungan terhadap 29 orang yang 12 di antaranya masih di bawah umur. Mereka terdiri dari pelapor, korban, serta saksi.
Livia juga menyatakan pihaknya memberikan bantuan rehabilitasi psikologis bagi korban. Selain itu, memfasilitasi Penghitungan Restitusi (ganti rugi) yang berkasnya segera disampaikan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan Pengadilan Negeri Bandung.
" LPSK juga memberikan bantuan layanan medis saat salah satu saksi korban menjalani proses persalinan di RS," ungkap dia.
Advertisement
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR
Potret Beda Pesta Pora 2025, Ada Jumatan Bareng Dipimpin Rhoma Irama
Psikolog Ungkap Pentingnya Pengawasan Orangtua Saat Anak Main Game
Inspiratif, Tiga Artis Cantik Ini Ternyata Founder Komunitas
Fakta-Fakta Ciamis Jadi Kota Kecil Terbersih se-ASEAN