Kebolehan istri dalam beri'tikaf ada syarat yang harus ia penuhi.
Kebolehan istri dalam beri'tikaf ada syarat yang harus ia penuhi.
Dream - Pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, umat Islam dianjurkan untuk melakukan i'tikaf atau berdiam diri di masjid.
Hal ini biasanya dilakukan secara berbondong-bondong oleh umat Islam menuju masjid yang dipilihnya.
Sehingga, pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan ini, masjid akan tampak ramai oleh umat Islam yang beribadah.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis dari Ibnu Umar ra:
" Adalah Rasulullah saw dahulu menjalankan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan." (HR. Bukhari, Muslim, dan Ashabus Sunan)
Lalu, apakah perempuan diperbolehkan untuk i'tikaf di masjid?
Nah, hal ini mungkin menjadi pertanyaan bagi sebagian muslimah, terutama mereka yang ingin berburu pahala di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.
Berikut penjelasan tentang hukum perempuan yang i'tikaf di masjid sebagaimana dirangkum Dream melalui berbagai sumber.
Dijelaskan dalam kitab Al-Fiqh 'Ala Al-Madzahib, oleh Syaikh Abdurraman Al-Juzairi, bahwa hukum i'tikaf adalah sunah muakkad.
Hukum tersebut berlaku baik saat bulan Ramadan maupun di bulan lainnya.
Namun, lebih utama jika dilakukan pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan.
Hukum i'tikaf adalah sunah bagi laki-laki maupun perempuan. Semua ulama juga sepakat bahwa i'tikaf yang tidak dinazarkan hukumnya adalah mutlak disunahkan.
Tetapi, hukum i'tikaf bisa menjadi wajib jika dinazarkan oleh seseorang.
I'tikaf boleh dilakukan oleh perempuan sebagaimana Nabi Muhammad saw mengizinkan istrinya untuk beri'tikaf.
Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadis berikut:
" Aisyah ra berkata ketika Rasulullah menyampaikan akan beritikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, ia segera meminta izin untuk mengikuti beliau itikaf. Rasulullah SAW pun mengizinkannya."
Kemudian, dijelaskan juga dalam hadis berikut:
" Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam selalu beri'tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan hingga beliau wafat. Sepeninggal beliau, istri-istri beliau pun melakukan i'tikaf." (HR. Al-Bukhari no. 2026 dan Muslim nomor 1172)
Lalu, Yahya bin Said berkata:
" Kemudian 'Aisyah meminta izin untuk bisa beritikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya." (HR Bukhari nomor 2041)
Di bulan Ramadan, Aisyah ra meminta izin kepada Nabi Muhammad saw untuk melakukan i'tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan hingga wafatnya beliau. Hal ini dijelaskan dalam hadis berikut:
" Kemudian istri-istri Beliau pun tetap beritikaf setelah kepergian beliau." (HR Bukhari nomor 2026 dan Muslim nomor 1172)
Melalui penjelasan di atas, maka bisa diketahui bahwa perempuan diperbolehkan untuk melakukan i'tikaf seperti halnya yang dilakukan oleh istri Nabi saw. Namun dengan syarat, ia mendapatkan izin dari suaminya.
Berikut adalah beberapahal yang diperbolehkan bagi perempuan ketika melakukan i'tikaf di masjid:
Selain itu, perempuan yang beri'tikaf hendaknya dalam ruang yang tertutup. Menyadari bahwa masjid adalah tempat umum yang bisa didatangi oleh siapa saja, termasuk laki-laki.
Jadi, sebaiknya antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim jangan sampai saling melihat.
Bahkan, di zaman Nabi saw, istri-istri Nabi dibuatkan kemh khusus di dalam masjid. Sehingga mereka lebih terlindungi.
Perempuan yang sedang i'tikaf diperbolehkan untuk keluar jika memang mendesak. Amrah menceritakan:
“Ketika ber-i’tikaf, ‘Aisyah radhiyallahu ’anha pergi ke rumah jika ada keperluan, lalu mengunjungi orang sakit sejenak untuk bertanya tentang keadaannya. Hal ini ia lakukan sambil berlalu tanpa menghentikan langkahnya.” (Mushannaf Abdurrazzaq (no. 8055) dengan sanad yang shahih)
Jika seorang perempuan keluar tanpa ada keperluan yang jelas, maka i'tikaf-nya pun batal.
Perempuan yang i'tikaf diperbolehkan untuk menyentuh suaminya asalkan tidak disertai dengan syahwat. Namun tidak boleh melakukan hubungan badan. Aisyah ra berkata:
“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam memiringkan kepalanya kepadaku ketika beliau sedang tinggal di dalam masjid (i’tikaf), lalu aku menyisir rambutnya, sedangkan aku sendiri ketika itu sedang haid." (HR. Al-Bukhari no. 2029)
Perempuan yang sedang istihadah diperbolehkan untuk melakukan i'tikaf dengan syarat ia bisa menjaga kebersihan di masjid. Aisyah ra meriwayatkan:
“Seorang istri Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam yang sedang istihadah ikut ber-i’tikaf bersama beliau. Ia dapat melihat warna merah dan kuning yang keluar darinya sehingga terkadang kami meletakkan wadah di bawahnya ketika ia sedang sholat.” (HR. Al-Bukhari no. 2037 dan Muslim no. 2476)
Hal lain yang diperbolehkan bagi perempuan yang sedang i'tikaf adalah boleh dilamar atau dinikahi.
Namun, hal yang dilarang adalah melakukan hubungan badan antara suami dan istri.