Kapolres Dihukum Push Up di Depan Ratusan Anak Buah

Reporter : Eko Huda S
Senin, 13 Juni 2016 16:28
Kapolres Dihukum Push Up di Depan Ratusan Anak Buah
Hukuman itu karena apel pagi itu terlambat tujuh menit dari jadwal seharusnya.

Dream - Pemandangan unik terlihat saat apel pagi di Mapolres Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, Kamis 9 Juni yang lalu. Sang Kapolres, AKBP Arya Perdana, dihukum push up di hadapan ratusan anak buahnya. Lho kok?

Hukuman itu karena apel pagi itu terlambat tujuh menit dari jadwal seharusnya. Dan Arya Perdana merasa bertanggung jawab atas keterlambatan apel yang disebabkan oleh para personelnya, dia menghukum dirinya sendiri.

“ Tidak ada anak yang salah, yang salah adalah orang tuanya. Tidak ada anggota yang salah, yang salah adalah komandannya,” kata Arya, dikutip Dream dari laman Tribrata News Minahasa Selatan, Senin 13 Juni 2016.

Sebagai pimpinan, Arya mengaku bertanggung jawab atas semua hal yang menyangkut tindakan setiap personel. Menurut dia, untuk menjadi polisi yang baik, harus dimulai dengan mengubah perilaku diri sendiri.

“ Sungguh hal yang mustahil kita bekerja melayani masyarakat, sementara kita tidak datang tepat waktu, kita harus mengakui bahwa apa yang kita lakukan saat ini merupakan wujud pengingkaran terhadap jati diri kita, polisi yang adalah pelopor ketertiban di ruang publik,” tegas dia.

Setelah arahan itulah, Arya melepas topi. Dia langsung mengambil sikap push up. Melihat pimpinannya melakukan push up, seluruh personel Polres Minahasa Selatan pun langsung mengikutinya sebagai wujud kebersamaan dan bukti soliditas.

“ Saya sangat mengharapkan, keterlambatan pelaksanaan apel pagi ini adalah yang pertama dan yang terakhir terjadi di lingkungan kita,” ujar Arya.

“ Buktikan bahwa kita mampu berubah, tunjukan bahwa kita bisa menjadi polisi-polisi yang memiliki nilai, memiliki harga diri dan memiliki tanggungjawab yang tinggi untuk melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat,” tambah dia.

1 dari 2 halaman

Tak Sholat Jemaah, Satu Kompi Polisi Dijemur

Tak Sholat Jemaah, Satu Kompi Polisi Dijemur © Dream

Dream - Polisi selama ini dikenal sebagai profesi yang sangat disiplin dalam segala hal. Mereka terlatih untuk selalu disiplin baik secara institusi maupun pribadi.

Tetapi, tetap saja ada polisi yang tidak disiplin terutama soal agama. Mereka kerap menunda dan jarang menjalankan salat berjamaah di masjid.

Seperti dialami oleh para anggota Kompi Dalmas Sabhara Polrestabes Surabaya yang menunda salat, padahal azan sudah berkumandang. Alhasil, mereka harus menerima hukuman dijemur di bawah terik matahari karena tidak menjalankan salat berjamaah di masjid.

Hukuman itu diberikan oleh Kepala Satuan Sabhara Polrestabes Surabaya AKBP Toni Sugiyanto pada Selasa lalu. Ini sebagai bentuk pembinaan kedisiplinan bagi anggota Sabhara tidak hanya dalam bertugas, melainkan juga dalam kehidupan spiritual.

Toni mengatakan meski polisi bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, mereka masih memiliki kewajiban sebagai muslim untuk memakmurkan masjid. Apalagi polisi merupakan sosok panutan bagi masyarakat.

" Lagipula, salat di masjid kan pahalanya lebih besar daripada salat sendiri-sendiri di mushala. Jika bukan kita, siapa lagi yang akan memakmurkan Masjid Polrestabes Surabaya ini," ujar Toni, dikutip dari halopolisi.com, Senin, 15 Februari 2016.

Hukuman ini dijalankan sesuai instruksi Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Iman Sumantri yang mewajibkan seluruh anggota polisi yang tidak ada kegiatan pengamanan di luar untuk menjalankan salat berjemaah di masjid. Instruksi ini diberlakukan kepada seluruh anggota beragama Islam.

Instruksi ini didasarkan pada merosotnya moralitas di kalangan remaja yang juga dapat berpengaruh terhadap para anggota polisi. Untuk mencegah dampak yang terjadi, mereka diwajibkan untuk mendisiplinkan diri dalam menjalankan ajaran agama.

Para polisi yang mendapat hukuman diwajibkan untuk melakukan push up, roll, bergulung dan merayap di tengah lapangan. Semua harus dijalankan di bawah panasnya sinar matahari.

2 dari 2 halaman

Kisah Aiptu Rusmieadi Bangun Pesantren dari Gaji Polisi

Kisah Aiptu Rusmieadi Bangun Pesantren dari Gaji Polisi © Dream

Dream - Menjadi polisi bukanlah mimpi terakhir dalam kehidupan Aiptu Rusmieadi. Meski sudah menyandang pangkat di pundak, angota Unit Reskrim Polres Klaten, Jawa Tengah, itu masih punya keinginan lain: mendirikan pesantren.

Mimpi itu mulai dirajut pada tahun 2001. Saat Rusmieadi kerap berkunjung ke Masjid Golo di Kecamatan Bayat. Pada saat itulah dia berkenalan dengan seorang guru yang mengajarkan tentang arti hidup.

“ Saya waktu itu sedang dalam titik di mana hati saya bertanya, siapa sesungguhnya orang yang dianggap paling benar,” kata Rusmieadi sebagaimana dikutip Dream dari Fanspage Facebook Divisi Humas Mabes Polri, Jumat 26 Juni 2015.

“ Kemudian dari seorang guru, saya diajarkan bahwa orang yang paling benar adalah orang yang merasa dirinya paling bersalah,” tambah dia.

Pertemuan dengan seorang guru tersebut seolah membuat Rusmieadi tersadar. Bahwa melakukan perbaikan harus dimulai dari diri sendiri. Bukan dari orang lain.

“ Jangan sibuk mencari siapa yang paling benar, namun perbaiki diri kita dulu. Dari situlah saya mencoba membangun mental saya terlebih dahulu,” ujar Rusmieadi.

Kesadaran itu menyeret Rusmieadi pada keinginan untuk membangun sebuah pesantren. Sedikit demi sedikit gaji bulanan dia sisihkan. Dan akhirnya, pondok pesantren yang diidam-idamkan terwujud pada 2006.

Pondok pesantren milik pria 54 tahun itu terletak di Dusun Dukuh, Desa Dukuh, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Jalur menuju ponpes itu tidak mulus. Terjal berbatu, seperti kerasnya usaha mendirikan pesantren ini.

Pendirian pesantren itu dimulai setelah gempa Yogyakarta tahun 2006. Saat itu, Rusmieadi menjadi salah satu warga yang mendapat bantuan. Uang bantuan inilah yang digunakan Rusmieadi untuk memperbaiki rumah dan membangun pondok kecil.

Namun, usaha itu tidak mudah. Sebab, keluarga dan kerabat malah menjadi penentang utama keinginan itu. Rusmieadi sempat bertahan beberapa tahun. Tapi kemudian memutuskan memindah pesantren ke tengah sawah. Ke dekat petilasan Syekh Subakir, ulama terkemuka di Tanah Jawa tempo dulu.

Dari sebuah gubuk kecil yang dipergunakan untuk musala, Rusmieadi kemudian membangun pondok pesantren yang baru secara bertahap. Selain dari sebagian gaji bulanan, Rusmieadi juga mendapat sumbangan dari sejumlah kawan yang berempati atas perjuangannya. (Ism) 

Beri Komentar