Kisah Kiai Sayuti Lindungi Simpatisan PKI Usai Tragedi G30S

Reporter : Nabila Hanum
Jumat, 30 September 2022 07:01
Kisah Kiai Sayuti Lindungi Simpatisan PKI Usai Tragedi G30S
KH Muhammad Sayuti atau Kiai Sayuti mencegah serangan kepada partai komunis itu.

Dream - Peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau lebih dikenal sebagai G30SPKI masih membekas di benak masyarakat. Terlebih tayangan film terkait tindak penganiayaan yang dilakukan terhadap tujuh jenderal di lingkungan TNI AD rutin disiarkan selama masa Orde Baru.

Usai gerakan yang banyak disebut sebagai upaya kudeta kepada pemerintah itu, anggota dan simpatisan PKI diburu di seluruh negeri. Bagi anggota PKI, tragedi G30S adalah kiamat. Mereka diburu, ditahan, dan bahkan dibunuh tanpa pengadilan.

Pada 1 Oktober 1965 juga menjadi puncak umat Islam dengan partai komunis. Maklum, sebelumnya anggota PKI kerap melecehkan umat Islam. Mereka tak segan melecehkan simbol-simbol agama.

1 dari 5 halaman

Gejolak balas dendam salah satunya terjadi di Desa Pesahangan, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Banyak anggota PKI yang dibutu. Kepercayaan diri para pemburu simpatisan PKI semakin meningkat karena didukung oleh tentara.

Namun, seorang ulama bernama KH Muhammad Sayuti atau Kiai Sayuti mencegah serangan kepada partai komunis itu. Ia tak mau santrinya terlibat dalam penyerangan dan pembunuhan anggota PKI.

Bahkan, banyak orang-orang yang sebelumnya condong ke PKI atau anggota keluarganya berlindung di perkampungan atau sekitar pesantren yang diasuh Mbah Sayuti.

2 dari 5 halaman

“ Waktu itu kan tiba-tiba ada yang dijemput (tentara). Dua orang atau tiga orang, terus hilang nggak pulang. Mereka takut, jadinya tinggalnya ya di dekat-dekat situ,” kata Haji Kamil, salah satu cucu Kiai Sayuti.

Beberapa anggota PKI pun selamat. Bahkan beberapa di antaranya hingga kini masih hidup. Mereka menjadi saksi perlindungan yang diberikan Kiai Sayuti terhadap simpatisan PKI.

Kamil menceritakan, dendam santri kepada PKI sudah tak terbendung. Pasalnya, mereka kerap mengintimidasi dan tak segan melecehkan masjid. Saat situasi berbalik, tentu saja mereka hendak balas dendam.

3 dari 5 halaman

“ Waktu itu, Mbah Sayuti bilang jangan, besok orang itu (yang berak di masjid) juga mati,” ucap Kamil.

Mendengar ucapan Mbah Sayuti, santri pun percaya dan menurut. Mereka dan barisan muda NU pun tak jadi melakukan penyerangan. Mereka lebih banyak berjaga-jaga di lingkungan pesantren dan kampung.

Saat itu, para santri menganggap perkataan Mbah Sayuti hanyalah ucapan biasa. Akal santri belum bisa mencerna ucapan Mbah Sayuti yang diyakini melampaui zamannya.

Keistimewaannya adalah mampu memprediksi masa depan, yang dalam istilah Jawa disebut ‘Weruh Sakdurunge Winarah’ atau, bisa melihat sebelum kejadian itu berlaku.

4 dari 5 halaman

Prediksi Mbah Sayuti pun terbukti. Pada 1 Oktober 1965, PKI disalahkan dan jadi buruan. Pembantian terjadi di mana-mana, termasuk di Cilacap.

“ Orang yang nantang-nantang itu ditangkap tentara, kemudian tidak pulang sampai sekarang (dibunuh),” ujar Kamil.

Kini, Kamil sadar apa yang dilakukan Mbah Sayuti adalah upaya untuk mencegah pertumpahan darah sesama saudara, dan sesama umat manusia. Sebab, saat itu, tak menutup kemungkinan dalam satu percabangan keluarga memiliki kecenderungan politik berbeda.

5 dari 5 halaman

Dia tak bisa membayangkan seandainya saat itu Mbah Sayuti membiarkan santri menyerang perkampungan PKI. Mungkin saja, dendam akan tercipta hingga tujuh turunan.

Padahal, bisa jadi para anggota atau simpatisan PKI itu hanya terhasut lantaran kampanye propaganda PKI. Mereka tak tahu urusan politik. Bahkan, sebagian di antaranya buta huruf.

“ Di gunung kan tidak ada yang mendendam. Sebab yang menangkap atau membunuh itu bukan santri. Tapi tentara. Makanya sampai sekarang tetap damai,” ujarnya.

Pengasuh Pondok Pesantren Baabussalam , Ciawitali, Cimanggu, KH Amin Mustholih membenarkan salah satu pusat pelatihan Hisbullah dan Sabilillah ada di pegunungan Pesahangan. Salah satunya berada di kediaman KH Sayuti.

“ Ya kalau pesantren tidak usah dijaga. Karena di situ kan sudah banyak santri yang otomatis menjaga kiainya,” kata Mbah Amin.

(Sah, Sumber: Liputan6.com)

Beri Komentar