Dream - Pilu dan pelik. Itulah kisah hidup Goh Thai Peng. Hidupnya benar-benar diimpit nestapa.
Meski demikian, Goh Thai Peng tak menyerah. Dengan raga ringkihnya karena termakan usia, dia tetap menjalani hidup sekuat tenaga.
Sehari-hari, Goh Thai Peng berjualan tisu di jalanan Singapura. Ia telah tinggal di negeri jiran itu selama lebih 70 tahun tanpa kewarganegaraan.
Sepuluh tahun terakhir, ia harus berjuang menjual tisu untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Goh mengaku lahir di Perak, Malaysia. Saat berusia 5 tahun dibawa oleh orang tuanya pindah ke Singapura.
Menurut AsiaOne, ketika berusia 13 tahun Go mengajukan permohonan kewarganegaraan ke Singapura. Namun negara tersebut menolaknya karena tak bisa berbahasa Inggris dan Melayu.
Saat Goh Thai Peng berusia 25 tahun, otoritas Malaysia mengambil paspornya tanpa memberi tahu alasannya.
Untuk itu, Goh hanya memiliki kartu pas khusus dengan keterangan " tanpa kewarganegaraan (stateless)" sebagai identitas dan izin tinggalnya di Singapura.
Penghasilan Goh sebagai penjual tisu hanya Rp116 ribu-Rp580 ribu perhari.
Namun, terkadang tisunya tidak terjual sehingga tak mendapatkan pendapatan sepeser pun.
Besaran penghasilan tersebut sangat pas-pasan untuk hidup di Singapura yang serba mahal.
Walaupun mendapatkan bantuan sebesar Rp6 juta perbulan dari pemerintah Singapura, Goh masih hidup serba kekurangan.
Hal ini karena Goh harus membayar tempat tinggal sewaannya sebesar Rp5 juta.
Tak hanya itu, ia memiliki gangguan kesehatan yakni tak bisa berjalan dengan baik dan hanya bisa melihat menggunakan satu mata. Pria tersebut harus sering kontrol ke dokter dan menghabiskan Rp5 juta setiap kunjungan.
Karena itulah, Goh memilih menabung uangnya dan makan satu kali sehari untuk berhemat.
“Saya tidak berani makan terlalu banyak. Jika banyak orang membeli tisu maka saya dapat membelanjakannya untuk makanan dan pengeluaran sehari-hari lainnya,” ungkap pria berusia 76 tahun tersebut.
Kondisi hidupnya yang sebatang kara tanpa keluarga di Singapura membuat Goh pasrah. Ia menjalani kehidupan sambil menunggu kematiannya.
“Saya hidup dari hari ke hari dan hanya menunggu untuk mati,” kata Goh.
Meskipun tanpa kewarganegaraan, Goh menganggap Singapura adalah rumahnya.
Namun, ia memiliki harapan mengunjungi Malaysia suatu hari untuk mengobati kerinduan terhadap kampung halamannya. Tetapi, pria itu kebingungan karena tidak memiliki paspor untuk masuk ke Malaysia.