Dream - Puasa Ramadan menjadi kewajiban bagi umat Islam yang jangan sampai dilewatkan. Selain bagian dari perintah agama, puasa Ramadan juga memiliki banyak keutamaan yang sayang jika dilewatkan.
Namun, jika melihat kembali pada kondisi seseorang, misalnya dari segi profesi, tentu hal ini menimbulkan suatu kedilemaan.
Di sisi lain, puasa Ramadan hukumnya wajib dan harus dijalankan. Namun di sisi lain ada beberapa orang yang pekerjaannya berat dengan melibatkan fisik, seperti kuli dan atlet.
Nah, pekerjaan-pekerjaan tersebut membutuhkan fisik yang cukup besar.
Mereka melakukan hal tersebut juga demi mencari nafkah yang memang penting.
Lalu, bagaimana hukumnya jika para pekerja berat ini tidak puasa? Berikut penjelasannya sebagaimana dirangkum Dream melalui berbagai sumber.
Dikutip dari nu.or.id, memenuhi nafkah keluarga adalah kewajiban bagi tulang punggung keluarga. Islam juga mengajarkan agar nafkah tersebut dicari dengan jalan yang halal agar bisa mendatangkan berkah.
Bahkan Rasulullah saw sangat mengapresiasi orang yang menjadi tulang punggung keluarga.
Beliau mengatakan bahwa makanan yang dikonsumsi oleh anggota keluarga dari jerih payahnya memiliki nilai sedekah.
Berikut sebagaimana sabda Rasulullah saw:
" Nafkah yang diberikan seorang kepala rumah tangga kepada keluarganya bernilai sedekah. Sungguh, seseorang diberi ganjaran karena meski sesuap nasi yang dia masukkan ke dalam mulut keluarganya,” (HR Muttafaq alaih)
Selain itu, Rasulullah saw juga mengatakan bahwa tulang punggung keluarga yang mencari nafkah untuk keluarganya, maka kelak ia akan ditinggikan derajatnya ketika di akhirat.
Di mana posisinya akan berdekatan dengan Rasulullah saw di surga.
Jadi, mencari nafkah bukan hanya menjadi keharusan, tetapi ada nilai ibadah di dalamnya.
Allah SWT akan memberikan pahala kepada mereka selama mereka mencari nafkah dengan ikhlas dan mengharapkan ridha Allah SWT.
Beberapa orang menjalani pekerjaannya dengan mengerahkan fisik. Misalnya saja kuli, buruh tani, hingga atlet.
Pekerjaan mereka tentu saja tidak ringan. Apalagi jika dilakukan pada bulan puasa, tentu akan sangat banyak menguras energi dan berujung lemas.
Lalu, bagaimana hukumnya jika orang-orang dengan profesi tersebut tidak puasa?
Dalam hal ini, ulama menyatakan bahwa mereka yang menjalani pekerjaan berat bisa mendapatkan keringanan untuk membatalkan puasa.
Namun, untuk berjaga-jaga, mereka tetap wajib melakukan niat puasa di malam hari dan dianjurkan untuk sahur. Sebagaimana dijelaskan berikut ini:
“Pekerja berat. Menurut Abu Bakar Al-Ajurri, jika khawatir menjadi bahaya karena puasa, orang yang memiliki pekerjaan berat boleh membatalkan puasanya dan menggantinya di lain bulan bila melepaskan pekerjaan itu mendatangkan mudarat baginya.
Tetapi jika meninggalkan pekerjaan berat itu tidak membuatnya mudarat, maka ia berdosa karena membatalkan puasa.
Tetapi jika darurat itu misalnya juga takkan hilang karena meninggalkannya, maka ia tidak berdosa dalam membatalkan puasanya karena uzur.
Sedangkan mayoritas ahli fiqih menyatakan wajib sahur dan niat puasa di malam hari bagi pekerja berat seperti buruh tani, buruh pembuat roti, pandai besi, buruh-buruh tambang.
Jika ketika siang ia mengalami haus dan lapar yang mendera, maka ia boleh membatalkan puasanya dan ia wajib mengqadhanya.
Tetapi jika darurat benar-benar nyata, maka ia wajib membatalkan puasanya karena firman Allah ta‘ala, ‘Janganlah kaubunuh dirimu karena sungguh Allah begitu kasih kepadamu,’ (An-Nisa ayat 29),” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz II, halaman 648)
Jadi, ketika orang tersebut merasa keberatan atau bisa mengurangi stamina dan berpengaruh pada performanya, maka sebaiknya tetap puasa karena menyalahi yang utama ketika membatalkannya.
Tapi, jika puasa yang dilakukan bisa merusak sama sekali performanya dalam bekerja, maka lebih baik membatalkan puasa. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Jalaluddin Al-Mahalli tentang musafir:
“Dan menyalahi yang utama adalah pembatalan puasa oleh musafir yang tidak mengalami kesulitan dalam puasa.
Tetapi ketika puasa membuatnya sulit, maka ia sebaiknya membatalkan puasa,” (Lihat Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, Jam‘ul Jawami‘, [Surabaya, Daru Nasyr Al-Mishriyah: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 121)
Advertisement