Ilustrasi Perjanjian Hudaibiyah. (Foto: Shutterstock.com)
Dream – Perjanjian Hudaibiyah merupakan babak penting dalam hubungan kaum Muslim dan kaum Kafir Quraisy di masa Rasulullah SAW. Dalam negosiasi Perjanjian Hudaibiyah itu, kaum Quraisy diwakili oleh Suhail bin Amru sementara Rasulullah menjadi negosiator dari kaum Muslim.
Perjanjian Hudaibiyah dilaksanakan pada bulan Dzulqa’dah, tepatnya pada saat Nabi Muhammad SAW dihalang-halangi kaum kafir Quraisy ketika hendak masuk Kota Mekah untuk menunaikan ibadah umroh.
Ketika dihalang-halangi, Rasulullah SAW pun tidak membawa pedangnya, karena niatnya semata-mata untuk beribadah umroh. Namun pasukan kafir Quraisy menghadang beliau di Kota Hudaibiyah, terletak beberapa kilometer sebelum Kota Makkah.
Perjanjian Hudaibiyah adalah sebuah upaya diplomasi Rasulullah SAW untuk meredakan ketegangan antara umat Islam dengan kaum kafir Quraisy. Lantas bagaimana kisah dan isi Perjanjian Hudaibiyah tersebut? Secara lebih jelasnya, mari simak ulasan berikut ini sebagaimana dirangkum Dream dari berbagai sumber.
Hudaibiyah adalah sebuah kota yang kini dikenal dengan nama Asy-Syumaisi. Pada tahun ke-6 Hijriyah, Rasulullah SAW dan sekitar 1.400 umat Islam berangkat dari Madinah ke Makkah untuk melaksanakan thawaf di Kabah.
Nabi SAW juga ditemani dengan sang istri, Ummu Salamah. Rombongan yang bersama Rasulullah itu tidak dibekali peralatan perang. Sebab niat mereka adalah murni untuk beribadah, bukan untuk berperang.
Saat tiba di sebuah tempat bernama Hudaibiyah, rombongan umat Islam itu dihadang kaum kafir Quraisy. Mereka melarang keinginan rombongan Rasulullah SAW untuk beribadah di Kabah. Hingga akhirnya, Rasulullah berupaya melakukan diplomasi dengan mengadakan Perjanjian Hudaibiyah.
Rasulullah SAW menjadi perwakilan kaum Muslim bernegosiasi dalam Perjanjian Hudaibiyah. Sementara dari pihak kafir Quraisy diwakili oleh Suhail bin Amru. Perjanjian tersebut menghasilkan beberapa poin perjanjian yang lumayan menguntungkan umat Islam. Meskipun pada saat itu, rombongan umat Islam tetap tidak bisa melanjutkan ibadah umroh di Makkah.
Perjanjian Hudaibiyah itu menghasilkan beberapa poin yang harus disepakati kedua belah pihak. Dalam perjalanannya, poin-poin dalam Perjanjian Hudaibiyah terbukti menguntungkan umat Islam. Perjanjian ini membuka jalan bagi dakwah Islam untuk menjangkau wilayah yang lebih luas lagi.
Isi Perjanjian Hudaibiyah salah satunya ialah gencatan senjata antara umat Islam dengan kaum kafir Quraisy selama 10 tahun. Hal ini menguntungkan umat Islam karena dakwah ajaran Islam bisa dilakukan dengan lebih aman dan menjangkau khalayak yang lebih luas.
Isi Perjanjian Hudaibiyah menyatakan siapapun yang ingin memeluk Islam atau ingin meninggalkan Makkah untuk bergabung dengan Rasulullah SAW di Madinah akan diizinkan secara bebas. Artinya masyarakat Makkah diberi kesempatan secara bebas untuk beragama Islam dan berhak mendapat perlindungan.
Perjanjian Hudaibiyah ini juga mengatur kesetaraan antara kedua belah pihak. Keduanya harus saling menghormati dan menjaga hubungan baik. Kaum kafir Quraisy setuju untuk tidak menyerang umat Islam yang datang di Makkah, sebaliknya umat Islam pun juga tidak akan menyerang kaum kafir Quraisy yang datang ke Madinah.
Perjanjian ini juga menjamin kedamaian dan menghentikan peperangan antara dua belah pihak. Tentu saja poin ini memastikan umat Islam dapat beribadah di Makkah tanpa kekhawatiran akan diserang.
Perjanjian ini juga mengatur bahwa kedua pihak tidak boleh mencuri dengan sembunyi-sembunyi dan tidak boleh saling mengkhianati dan menciderai satu sama lain.
Demikian itulah rangkuman poin dari Perjanjian Hudaibiyah yang sebenarnya terdapat 10 poin dalam perjanjian tersebut.
Perjanjian Hudaibiyah tersebut disaksikan oleh beberapa orang dari dua belah pihak. Kaum muslimin yang menyaksikannya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Suhail bin Amru, Sa'ad bin Abi Wagash, Muhammad bin Maslamah dan Ali bin Abi Thalib, sebagai penulis naskah perjanjian. Sementara dari kaum musyrikin disaksikan oleh Mikraz bin Hafsh dan Suhail bin Amru.