© 2025 Https://www.dpr.go.id
DREAM.CO.ID - Lonjakan kasus perundungan di sekolah dalam beberapa tahun terakhir kembali menjadi sorotan serius Komisi X DPR RI. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, My Esti Wijayati, menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan regulasi anti-bullying yang jauh lebih tegas, operasional, dan memiliki standar pengawasan yang jelas. Ia menekankan bahwa upaya menekan angka kasus kekerasan di sekolah tidak cukup hanya mengandalkan pasal dalam undang-undang, melainkan harus diperkuat oleh mekanisme teknis yang dapat berjalan di lapangan.
Esti menilai langkah memasukkan pencegahan dan penanganan bullying dalam revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) merupakan bagian penting dari pembenahan ekosistem pendidikan secara menyeluruh. Ia menegaskan bahwa pendekatan struktural mutlak dibutuhkan agar sekolah tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar, tetapi juga sebagai ruang aman bagi seluruh peserta didik.
“ Perilaku bullying di sekolah bukan hanya persoalan disiplin, tetapi masalah sistemik yang berkaitan dengan kualitas lingkungan belajar, kesehatan mental siswa, kapasitas guru, serta budaya sekolah yang belum sepenuhnya menghargai keselamatan dan martabat anak,” kata My Esti kepada Parlementaria, Selasa (25/11/2025).
RUU Sisdiknas yang tengah dibahas saat ini disebut akan memasukkan bab khusus perlindungan peserta didik dari kekerasan dan perundungan. Menurut Esti, langkah ini penting sebagai pondasi hukum yang jelas untuk pencegahan dan penanganan kasus di setiap satuan pendidikan.
Esti menyoroti bahwa regulasi pendidikan sebelumnya seringkali berhenti di atas kertas. Banyak istilah seperti bullying, pelaporan ramah anak, hingga pendampingan psikologis memang tercantum dalam regulasi lama, namun tidak diikuti dengan definisi operasional dan timeline respons yang jelas.
“ Akibatnya, sekolah menafsirkan mandat pencegahan bullying secara berbeda-beda, dan kasus yang seharusnya ditangani serius justru tertutup oleh prosedur administratif yang lemah,” ungkapnya.
Ia juga menekankan bahwa bullying tidak bisa dipandang sebagai istilah tunggal karena perilakunya sangat beragam: mulai dari ejekan, pengucilan sosial, kekerasan fisik, hingga cyberbullying yang kian marak di kalangan remaja. Tanpa pemetaan tingkat kasus dan SOP penanganan yang detail, penindakan berisiko setengah hati.
Esti menyoroti kebijakan terbaru Korea Selatan, yang mulai 2026 akan mewajibkan perguruan tinggi menampilkan riwayat bullying calon mahasiswa dalam proses pendaftaran.
Rencana tersebut, yang disusun sejak 2023 oleh Kementerian Pendidikan Korea, dinilai sebagai upaya sistematis untuk mengurangi kekerasan antarsiswa. Menurut Esti, Indonesia bisa belajar dari kebijakan ini.
“ Ini menarik, bisa menjadi contoh untuk penanganan sanksi sosial kepada pelaku bullying. Norma sanksi yang jelas dapat membuat mereka yang terindikasi punya sikap bullying lebih berhati-hati dan memiliki pengendalian diri,” sebut Esti.
Di sisi lain, Esti menekankan pentingnya peningkatan kapasitas guru sebagai ujung tombak pencegahan bullying. Menurutnya, banyak sekolah terutama di daerah belum memiliki kompetensi dasar dalam konseling dan manajemen konflik.
" Pencegahan dan penanganan bullying tidak mungkin berjalan jika kapasitas pelaksana di sekolah rendah. Guru perlu memiliki kompetensi konseling dan manajemen konflik, siswa harus teredukasi, orang tua aktif terlibat, dan sekolah wajib memiliki SOP yang hidup, bukan sekadar dokumen formalitas," paparnya.
Esti menegaskan pemerintah harus menyiapkan regulasi turunan yang lebih rinci, seperti Peraturan Pemerintah atau peraturan teknis kementerian, yang mengatur definisi bullying, prosedur pelaporan, jalur laporan anonim, timeline respons, kewajiban pelatihan guru, hingga standar anggaran minimum untuk program anti-bullying.
“ Tanpa aturan yang rinci agar dapat ada audit, upaya pemberantasan bullying hanya akan menjadi rumusan normatif tanpa kekuatan implementasi,” jelasnya.
Ia juga menekankan perlunya SOP anti-bullying yang wajib dipublikasikan oleh seluruh sekolah dan dapat diakses orang tua serta siswa.
Esti mengingatkan bahwa penanganan bullying seringkali terkait persoalan psikologis, kondisi keluarga, atau tekanan sosial sehingga sekolah tidak bisa menangani sendirian.
" Untuk itu, setiap sekolah harus memiliki kerja sama yang jelas dan formal dengan dinas Kesehatan, dinas Sosial, lembaga psikologi dan konseling, aparat penegak hukum, serta komunitas lokal," ujarnya.
Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa memperkuat regulasi dan memperjelas tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan merupakan langkah mendasar untuk menciptakan sekolah yang aman dan inklusif.
“ Anak-anak Indonesia berhak tumbuh dalam lingkungan belajar yang bebas dari kekerasan, dan negara wajib memastikan itu terjadi bukan hanya melalui pasal, tetapi melalui implementasi nyata di setiap sekolah," pungkasnya.
Advertisement
Konflik Panas di PBNU: Syuriah Bikin Surat Edaran Pemberhentian, Ketum Gus Yahya Sebut Tak Sah

Dukung Tren Lari Marathon, Wamenpora Berharap Semangat Olahraga Terbangun Sejak Dini

Perjuangan Syiar Ustaz Muda di Pulau Minoritas Muslim Samosir

Dulu Hidup Sebagai Tunawisma, Ilmuwan Ijeoma Uchegbu Raih Gelar Tertinggi dari Raja Inggris

Isi Lengkap Fatwa MUI yang Menyatakan Rumah Tinggal Tak Layak Ditagih PBB Berulang Kali


Beda Usia 25 Tahun, Olla Ramlan dan Tristan Molina Asyik Liburan Mesra di Gili Meno
Tampil Cantik di Dream Day Ramadan Fest Bersama Beauty Class VIVA Cosmetics

Inara Rusli Dilaporkan Polisi, Diduga Jadi Wanita Lain Dipernikahan Wardatina Mawa

Status Tanggap Darurat Semeru Diperpanjang, Pemerintah Lumajang Fokus pada Keselamatan Warga

3,5 Miliar Data Akun WhatsApp Berpotensi Bocor, Peneliti Ungkap Celah Serius di Sistem Keamanan

Konflik Panas di PBNU: Syuriah Bikin Surat Edaran Pemberhentian, Ketum Gus Yahya Sebut Tak Sah

Kemang Raya Masuk Daftar 31 Jalan Terkeren di Dunia 2025 versi Time Out, Begini Alasannya

Jisoo BLACKPINK Pamer Rambut Bondol Berponi, Tampil Edgy dan Bikin Heboh Warganet