Orang Miskin (Tak Lagi) Dilarang Sekolah

Reporter : Ahmad Baiquni
Kamis, 9 Februari 2017 20:30
Orang Miskin (Tak Lagi) Dilarang Sekolah
Mereka tak bertitel tinggi apalagi berkantong tebal. Tapi perbuatannya sungguh mulia. membangun sekolah untuk kaum papa.

Dream - Kacamata hitam nangkring di wajahnya. Kemeja putih garis menyembul dari balik jaket ponco abu-abu. Tas warna hitam bergambar tengkorak terselempang di depan dada.

Dengan kaki tersilang, dia menongkrong di areal parkiran. Di kampus ternama Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad, Jatinangor. Berbaur bersama dua mahasiswa berkaos oblong dan polo, dia terlibat obrolan seru. Sesekali diselingi gelak tawa.

Obrolan terhenti kala sebuah mobil melaju di muka kampus. Pria itu segera berlari. Telapak tangan yang menghitam karena paparan matahari segera menuntun mobil keluar. Tangannya seketika meraih secarik uang dari kaca mobil yang sudah terbuka.

Pria berkacamata hitam itu bukan mahasiswa. Bukan dosen apalagi dekan bergaji jutaan rupiah. Dia cuma seorang juru parkir. Seperempat abad mengabdi di kampus berdinding hijau kuning.

Bang Jack, begitu biasa dia disapa. Nama aslinya Undang Suryaman. Tapi kadung terkenal dengan panggilan itu. Di seantero kampus, namanya sudah terkenal. Sekali sebut nama Jack, semua mahasiswa pasti tahu.

Ya, pria berlogat sunda kental itu memang mencari nafkah dari jasa juru parkir. Dari pagi sampai selesai jam kampus, Bang Jack mengumpulkan recehan. Uang dari mahasiswa dan pekerja kampus yang punya mobil atau motor. Uang agar dapur rumah tetap mengepul.

Bang Jack mungkin cuma seorang juru parkir. Menarik uang dari tips kendaraan yang parkir. Tapi lihat kehidupan lain di belakang Jack. Sisi kehidupan yang membuat orang kagum dan memuji.

Di balik perawakan kurus hitamnya, Bang Jack adalah pahlawan anak yatim dan dhuafa. Kaget, sudah pasti. Jack si juru parkir punya sekolah Taman Pendidikan Alquran dan Taman Kanak-kanak Raudlatul Jannah. Lokasinya di Kampung Babakan Loak, Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tak terlalu jauh dari kampus tempatnya bekerja.

Memang bukan gedung mewah. Tak bertingkat seperti sekolah kaum ningrat. Kampus Kang Jack hanya rumah kontrakan lawas, berukuran mungil. Ruang tengah tiga kali lima meter dan bilik dua lawan empat meter disulap menjadi kelas.

Muridnya bukan puluhan anak. Ada 180 anak menimba ilmu di sekolah mungil Bang Jack. Dan beberapa diantaranya sekolah tanpa biasa, alias gratis.

***** 

Kisah Bang Jack membuat banyak orang terkejut. Tak percaya seorang juru parkir bisa membangun sekolah gratis. Dan nama Bang Jack juga ikut melambung. Ditulis media cetak dan online. Wajahnya Bang Jack beberapa kali menghias layar kaca televisi.

Niat mulia Bang Jack membuka sekolah gratis untuk masyarakat papa membuka mata banyak orang. Menjadi potret manusia yang memilih mengabdikan diri pada kemanusiaan.

Di saat orang sibuk bersilat lidah bicara pendidikan murah, Bang Jack sudah bergerak. Tak butuh titel tinggi, cukup dengan niat agar anak tak mampu tak merasakan pengalamnnya tak sekolah. Apalagi harus menunggu menjadi pejabat atau tumpukan harta.

Pendidikan murah memang obrolan panjang yang seolah tak pernah berhenti diperbincangkan. Ujung pangkalnya tak pernah jelas. Memang pemerintah sudah mengalokasikan 20 persen dompetnya untuk pendidikan. Sudah dicairkan tanpa sepersen pun dipotong. Nyatanya, yang terwujud di bawah sepuluh persen.

Tapi anggaran puluhan triliun rupiah itu tidak dirasakan semua anak Indonesia. Masih ada anak-anak yang harus berjibaku dengan terik matahari, dinginnya hujan, dan pekatnya debu jalanan.

Kebutuhan untuk makan menutup pintu mereka masuk ke sekolah. Konsentrasi mereka terfokus mencari sesuap nasi. Pendidikan tetap saja jadi barang mewah.

****

Bang Jack tak sendiri. Coba saja tengok ke pinggiran Jakarta. Ada sebuah panti asuhan dan lembaha pendidian umum berdiri. Muridnya sama. Dari kalangan orang tak mampu. Bahkan anak-anak paa pemulung.

Kisah itu datang dari Ustaz Aslih Ridwan. Dia tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Sedari kecil, dia habiskan waktunya di pondok pesantren dan belajar ilmu agama.

Tetapi, Ridwan tidak ingin generasi penerus mengalami nasib yang sama dengannya. Meski penghasilannya pas-pasan, Ridwan memantapkan hati mendirikan panti asuhan sekaligus lembaga pendidikan, Yayasan Media Amal Islami (MAI).

Yayasan yang berdiri atas keprihatinan Ridwan melihat anak-anak usia sekolah terlantar. Bukan Cuma di pinggiran. Di Jakarta, ibukota Negara yang katanya berlimpah uang, masih banyak anak yang tak sekolah.

Meski terbilang sederhana, MAI telah memiliki beberapa cabang. Cabang-cabang itu di Parung, Bogor, Lebak Bulus, Jakarta Selatan dan Serang, Banten. Dan kini sebuah bangunan lebih baik sedang dibangun Ridwan di Curug.

Kisah Bang Jack dan Ridwan telah membuat kagum. Tak pernah berpikir mencari uang apalagi menjadi kaya. Hanya niat anak dhuafa bisa mengenyam sekolah. Bang Jack boleh saja setia dengan kacamata hitamnya. Namun kebaikannya telah membuat masa depan anak-anak tak menjadi gelap. Insyaallah...

(Laporan: Maulana Kautsar/Ilman Nafi'an)

Beri Komentar