Tiga Karakter Pendusta Agama, Siapa Saja?

Reporter : Ahmad Baiquni
Rabu, 5 Desember 2018 18:03
Tiga Karakter Pendusta Agama, Siapa Saja?
Pendusta agama, istilah yang bermakna sindiran ini terdapat dalam Surat Al Ma'un.

Dream - Ciri seorang mukmin adalah taat pada ajaran agama. Dia menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya.

Mungkin banyak Muslim yang telah melakukan hal di atas. Mereka terlihat sangat khusyuk soal ibadah dan mencitrakan diri sebagai orang yang sholeh.

Tetapi, terkadang kita lupa ada sindiran Allah SWT untuk mereka yang mengaku bertakwa. Sindiran itu berupa julukan sebagai 'pendusta agama', seperti tercantum pada ayat pertama Surat Al Ma'un.

Dikutip dari NU Online, Surat Al Maun ayat 1-3 menjelaskan siapa yang dimaksud para pendusta agama.

" Tahukah engkau orang yang mendustakan agama? Dia adalah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak mau memberi makan orang miskin."

Sindiran ini tertuju kepada mereka yang beragama secara formal. Mereka rajin sholat, puasa, baca Alquran, namun tidak peduli pada anak yatim maupun saudaranya yang tidak mampu.

 

1 dari 1 halaman

Ciri Menurut Ulama

Imam Hatim bin Ulwan Al Ansham, seperti dikutip Syeikh An Nawawi Al Bantani dalam kitabnya Syarah Qami'ut Thughyah, menafsirkan ayat ini dan mengetengahkan tiga ciri pendusta agama.

" Siapa saja yang mengaku tiga hal tanpa disertai tiga hal, maka ia pendusta. Pertama, siapa saja yang mengaku cinta Allah tanpa sikap wara' dari yang diharamkan, maka ia pendusta. Kedua, siapa saja yang mengaku cinta Nabi Muhammad SAW tanpa sikap 'mencintai' kefakiran, maka ia pendusta. Ketiga, siapa saja yang mengaku cinta surga tanpa menginfakkan hartanya, maka ia pendusta."

Islam tidak hanya menekankan aspek formal dalam beragama seperti sholat, puasa, zakat, haji, menikah, bermuamalah, dan lain sebagainya. Meski sudah menjalankannya, umat Islam masih punya tanggung jawab yaitu ibadah sosial.

Mengaku cinta Rasulullah SAW tapi benci pada anak yatim dan kaum miskin menandakan cintanya palsu. Bukti cinta itu adalah kepedulian terhadap kaum pada dan mereka yang terpinggirkan.

Sementara mereka yang dalam kefakiran, Rasulullah SAW tidak memerintahkan untuk berdiam diri. Mereka tetap harus pergi ke pasar untuk berikhtiar.

(ism, Sumber: NU Online)

Beri Komentar