Misteri Batu dan Guci Keramat di Masjid Guci Rempong

Reporter : Dwifantya
Rabu, 23 Mei 2018 07:27
Misteri Batu dan Guci Keramat di Masjid Guci Rempong
Menurut cerita warga setempat, zaman dahulu guci tersebut 'hidup' dan berkelahi.

Dream - Sebuah masjid yang dibangun sekitar abad ke-17 di Kecamatan Peukan Bari, Kabupaten Pidie, Banda Aceh, dianggap keramat oleh warga setempat. Sekilas, tidak ada yang istimewa dari masjid yang dinamakan Masjid Guci Rempong tersebut selain arsitekturnya yang terlihat kuno.

Namun, jika melongok ke bagian dalam, ada dua buah guci besar berwarna hitam yang hingga kini dikeramatkan oleh warga setempat.

Masjid itu dibangun oleh Syekh Abdussalam atau Tengku Cik Di Pashi. Meski usianya sudah ratusan tahun, masjid itu masih berdiri kokoh.

Selain bangunan masjid, Tengku Cik Di Pashi juga meninggalkan beberapa benda bersejarah lain. Konon, benda-benda itu 'hidup' di masanya. Dua benda bersejarah itu adalah Batu Siprok dan dua buah guci.

Batu Siprok kini diletakkan di bagian depan masjid, persisnya di samping tangga pintu utama. Batu itu dikurung dalam kerangkeng, tujuannya agar tidak diambil orang.

Menurut cerita yang sudah dituturkan secara turun temurun, pada zaman dahulu, kedua guci tersebut pernah berkelahi dan membuat salah satunya menjadi rompal atau rumpong atau ompong. Maka dari itu, nama masjid tersebut menggunakan istilah Guci Rumpong.

Di dalam guci tersebut terdapat air yang dapat langsung diminum dan dipercaya oleh masyarakat sekitar dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.

 

 

1 dari 1 halaman

Sumpah Batu Siprok dan Penyakit Aneh

Sumpah Batu Siprok dan Penyakit Aneh © Masjid Guci Rumpong (Foto: kemdikbud.go.id)

Dream - Sementara batu siprok digunakan warga untuk sumpah dan melepas nazar. Konon, jika ada orang yang hendak bersumpah, orang itu harus mencuci kepala dan airnya ditumpahkan di atas batu ini. Akibat dari sumpah itu, orang yang bersalah akan mengalami penyakit aneh. Misalnya warna kulit sekujur tubuhnya berubah menjadi belang-belang.

Selain itu, ada sebilah bambu kuno yang diyakini sudah berumur 282 tahun yang tertancap dan berdiri tegak hingga ke atap. Menurut cerita, bambu tersebut dulunya digunakan untuk memperbaiki atap serta membantu muadzin untuk naik ke atas bagian masjid ketika ingin mengumandangkan adzan karena zaman dahulu belum ada alat bantu pengeras suara.

Bambu tersebut dinamakan Purieh. Semua masjid tua di Aceh memiliki Purieh ini. Di masjid tersebut juga terdapat sebuah Alquran yang ditulis dengan tangan (serumbeek).

 

(Berbagai sumber)

Beri Komentar