Antara Foto/Rahmad
Dream - Ramadan tersisa beberapa jam. Tetapi atmosfir kegembiraan menyambut hari kemenangan sudah terasa. Ratusan orang meriung di pinggir jalan Berauwe, Banda Aceh. Tua, muda, laki-laki, dan perempuan. Mereka berjejal. Berdesakan di lapak bambu beratap terpal yang muncul dadakan.
Bau amis bercampur aroma keringat berebutan menyusup ke dalam hidung. Panasnya matahari siang itu tidak menyurutkan gairah belanja orang-orang yang sejak tadi berebut tempat.
Sementara dengan sedikit beraksi, pedagang memamerkan daging-daging segar dan merah yang mereka gantung di bawah atap lapak. Pembeli membolak-balik daging meneliti dan memilih bagian daging untuk mereka beli.
" Ayo dipilih. Dijamin masih segar," teriak si pedagang sambil pamer suara bilah pisaunya yang terus diasah.
Yang terpikat buru-buru mengoroh kocek. Tanpa menawar. Sebagian masih usaha meminta potongan harga. Maklum banderol daging sapi naik 'gila-gilaan', dua kali lipat. Jika di hari biasa Rp80 ribu perkilogram, kini Rp160 ribu perkilogram.
Tapi itu tidak menghalangi warga di sana membeli daging demi tradisi Meugang menyambut hari raya Idul Fitri, esok hari.
Menurut riwayat, Meugang pertama kali dilakukan pada masa Kerajaan Aceh Darussalam. Sang Sultan, Iskandar Muda memerintah dari 1607 hingga 1636 M. Istilah Makmeugang diatur dalam Qanun Meukuta Alam Al Asyi atau Undang-Undang Kerajaan.
Semua berawal ketika Sultan ingin memastikan rakyatnya bisa menikmati daging. Kerjaaan memerintah perangkat desa mendata warga miskin, kemudian diverifikasi oleh lembaga resmi (Qadhi) kesultanan untuk memilih yang layak menerima daging.
Sultan kemudian memotong banyak ternak, dagingnya dibagikan kepada mereka secara gratis. " Ini sebagai wujud rasa syukur atas kemakmuran kerajaan, raja mengajak rakyatnya ikut bergembira," kata Badruzzaman Ismail Ketua Majelis Adat Aceh, menceritakan asal mula adat Meugang.
Sultan kemudian memaklumkan kebiasaan ini menjadi tradisi menyambut puasa, Idul Fitri dan Idul Adha, Ketika Belanda menginvasi Aceh pada 1873, kerajaan kalah dan bangkrut.
Tradisi dari Sultan boleh berakhir, namun rakyat Aceh tetap melanjutkan kebiasaan itu dengan membeli sendiri daging. Sebagian pada hari itu, warga mengundang anak yatim ke rumahnya untuk makan daging sapi bersama. Ada juga yang membawanya ke masjid, santap bareng tetangga dan warga lain.
Badruzzaman bahkan menyebut warga Aceh akan merasa sedih bila hari Meugang tidak membeli atau makan daging sapi. Bahkan bagai aib. Kaya miskin seakan wajib memilikinya.
Advertisement
Dari Langgar ke Bangsa: Jejak Sunyi Kiai dan Santri dalam Menjaga Negeri

Pria Ini Punya Sedotan Emas Seharga Rp233 Juta Buat Minum Teh Susu

Celetukan Angka 8 Prabowo Saat Bertemu Presiden Brasil

Paspor Malaysia Duduki Posisi 12 Terkuat di Dunia, Setara Amerika Serikat

Komunitas Rubasabu Bangun Budaya Membaca Sejak Dini


Hj.Erni Makmur Berdayakan Perempuan Kalimantan Timur Lewat PKK

Lihat Video Baut Kendur Thai Lion Air Saat Terbang yang Bikin Geger



Dari Langgar ke Bangsa: Jejak Sunyi Kiai dan Santri dalam Menjaga Negeri

Air Hujan di Jakarta Mengandung Mikroplastik, Ini Bahayanya Bagi Kesehatan Tubuh

Pria Ini Punya Sedotan Emas Seharga Rp233 Juta Buat Minum Teh Susu