Asal-usul Tradisi Beli Baju Baru Jelang Lebaran, Dulu Bikin Belanda Khawatir Jadi Bencana Ekonomi Kolonial

Reporter : Alfi Salima Puteri
Kamis, 14 April 2022 11:45
Asal-usul Tradisi Beli Baju Baru Jelang Lebaran, Dulu Bikin Belanda Khawatir Jadi Bencana Ekonomi Kolonial
Rupanya tradisi baju baru saat lebaran ini sudah ada sejak abad ke-20, semasa Indonesia masih di bawah kekuasaan Hindia Belanda.

Dream - Meski baru memasuki minggu ke dua bulan Ramadan, pasti tak sedikit dari Sahabat Dream yang sudah mulai mencari baju Lebaran. Di Indonesia, tradisi baju baru saat Lebaran memang sudah melekat di sebagian besar masyarakat tanah air.

Rupanya tradisi baju baru saat Lebaran ini sudah ada sejak abad ke-20, semasa Indonesia masih di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Para kolonialis bahkan mencatat kebiasaan rakyat yang bertamu di hari pertama bulan Syawal.

Lantas, bagaimana asal usul tradisi baju baru saat Lebaran? Berikut informasinya dilansir dari Historia.id, Kamis 14 April 2022.

Seorang penasihat urusan pribumi untuk pemerintah kolonial Belanda, Snouck Hurgronje, mencatat kebiasaan atau tradisi baju baru saat lebaran dimulai awal abad ke-20.

1 dari 7 halaman

Hal ini dibuktikan dalam suratnya kepada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri, 20 April 1904, yang termuat dalam buku 'Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya di Pemerintah Hindia Belanda 1889–1939 Jilid IV'.

" Di mana-mana perayaan pesta ini disertai hidangan makan khusus, saling bertandang yang dilakukan oleh kaum kerabat dan kenalan, pembelian pakaian baru, serta berbagai bentuk hiburan yang menggembirakan," tulis Snouck.

Tradisi baju baru saat lebaran dipandang oleh para kolonialis sebagai kebiasaan yang menyerupai tahun baru di Eropa.

" Kebiasaan saling bertamu pada hari pertama bulan ke sepuluh dengan mengenakan pakaian serba baru mengingatkan kita pada perayaan tahun baru Eropa," terang Snouck dalam buku berjudul 'Islam di Hindia Belanda'.

2 dari 7 halaman

Bulan ke sepuluh dalam kalender Islam, berarti jatuh di bulan Syawal. Bahkan di tanggal 1 Syawal menjadi tradisi untuk saling bersilaturahmi.

Tradisi beli baju baru jelang Lebaran begitu marak di Batavia (sekarang Jakarta) dari pada kota lain. Diduga karena sebagai pusat atau ibu kota, sehingga aktivitas perdagangan lebih mudah diakses.

" Lebih banyak uang dikeluarkan di Betawi dibandingkan dengan kebanyakan tempat lain karena pembelian petasan, pakaian, dan makanan pada hari Lebaran," imbuh Snouck dalam suratnya kepada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri, 20 April 1904.

Namun, tradisi baju baru saat Lebaran menyedot banyak biaya bagi anak negeri. Kebiasaan ini pun dikritik oleh dua pejabat kolonial di masa itu, yakni Steinmetz dari Residen Semarang, dan De Wol pejabat Hindia Belanda.

3 dari 7 halaman

Mereka menyebut tradisi baju baru, termasuk pula tradisi-tradisi Lebaran lain untuk menyambut hari raya, sebagai sumber bencana ekonomi. Hal itu bukan tanpa alasan.

Kedua pejabat itu keberatan karena tak sedikit bupati dan pamongpraja bumiputra justru memanfaatkan dana pemerintah untuk menyambut Lebaran. Bahkan termasuk dana untuk pembelian pakaian baru.

Kala itu, para bupati dan pamongpraja bumiputra senang menggunakan pakaian dengan mode gabungan ala tradisi Indonesia, perpaduan Islam, dan ala Eropa.

Tak berhenti di situ, para bupati dan pamongpraja akan mengenakan pantolan berbahan benang emas, hingga sejumlah atribut khas Eropa.

" Bupati dan kepala wilayah biasanya melengkapi penampilan mereka dengan pakaian pribumi berupa kain ketat atau pantalon berbenang emas, dengan sepatu bot dan taji untuk sepatu menurut gaya Eropa," catat Kees van Dijk dalam 'Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi' termuat dalam Outward Appeareances.

4 dari 7 halaman

Berbeda dengan para pejabat bumiputra, rakyat jelata justru hanya memiliki sedikit pilihan dalam membeli pakaian baru. Pakaian rakyat biasanya perpaduan mode setempat dengan gaya muslim di India dan Arab.

" Pakaian Barat ditabukan bagi banyak orang, Jika ada pengecualian maka ini berlaku bagi orang-orang yang dekat dengan Belanda," tambah Kees.

Dalam sumber yang berbeda, dalam buku bertajuk 'Sejarah Nasional Indonesia' karya Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, menyebutkan bahwa tradisi baju baru saat lebaran, sudah dimulai sejak tahun 1596. Tepatnya di masa kesultanan Banten.

Sayangnya di masa itu, hanya kalangan kerajaan saja yang bisa membeli baju bagus untuk Idul Fitri. Sementara rakyat biasa akan menjahit pakaian mereka sendiri.

5 dari 7 halaman

Diterangkan pula bahwa di momen tersebutlah akan ada sejumlah petani yang akan beralih menjadi penjahit sementara waktu atau hanya beberapa hari selama jelang lebaran.

Hal serupa bahkan dijumpai pula di masa Kerajaan Mataram Baru Yogyakarta. Di mana Masyarakat di Yogyakarta berbondong-bondong mencari baju baru, baik membeli atau menjahit sendiri. Ini dipercaya sebagai bukti tradisi baju baru saat lebaran yang ada di berbagai wilayah.

Memasuki tahun 1900, rakyat biasa mulai punya banyak pilihan di tradisi baju baru saat lebaran. Harian De Locomotief, 30 Desember 1899, misalnya menggambarkan keadaan orang-orang yang mulai berpakaian Barat, mengikuti selera baju para polisi, kecuali kain penutup kepala.

Tradisi saat lebaran pun tak lagi hanya dengan peci dan sarung baru. Tapi juga dengan sepatu, celana panjang, dan topi khas Eropa. Kebebasan memilih mode pakaian ini berimbas pada pertumbuhan industri tekstil di Hindia Belanda.

6 dari 7 halaman

Mode pakaian kian beragam dan pasar penjualan meluas. Waktu menjelang lebaran menjadi masa penjualan terbaik untuk rakyat. Tapi saat masa resesi ekonomi datang pada 1930-an, penjualan mulai menurun drastis.

Barang tekstil tersedia melimpah dan harganya mulai turun. Meski begitu, jumlah pembeli tak terlalu banyak. Lantaran tak sedikit masyarakat yang mengalami pemecatan dan pemotongan gaji di masa resesi ini.

Tradisi baju baru saat lebaran agak tersendat di masa pendudukan Jepang. Di masa ini rakyat jelata memiliki cukup uang tapi barang-barang menjadi begitu langka.

" Produksi terus digenjot untuk memenuhi keperluan militer Jepang, bahan pangan di pasar banyak menghilang, rakyat digerakkan untuk kerja paksa, bahkan pakaian disita," terang Thomas J. Lindblad dalam buku 'Krisis Ekonomi dalam Sejarah Indonesia Abad ke-20', termuat dalam 'Dari Krisis ke Krisis: Masyarakat Indonesia Menghadapi Krisis Ekonomi Selama Abad 20'.

 

7 dari 7 halaman

Selama masa ini, rakyat justru membeli barang dengan pakaian bekas sebagai ganti uang dalam jual-beli. Saking susahnya memperoleh pakaian baru dan bahan pakaian. Bahkan para petani tak mau dibayar dengan uang.

" Mereka selalu minta dibayar dengan pakaian bekas," ujar Barkah Alganis Baswedan dalam 'Di Bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Dua Orang Yang Mengalaminya'.

Menjelang lebaran tiba, tak ada lagi orang yang mencari pakaian baru. Di hari raya Idul Fitri mereka terpaksa mengenakan pakaian lama. Itu pun tinggal satu atau dua setel saja.

Tapi tak semua orang bernasib miris demikian. Sebagian kecil orang yang bekerja sebagai pegawai untuk Jepang, bernasib lebih beruntung. " Pembagian tekstil bagi pegawai ada kalau hari raya, hari lebaran. Jadi yang mau bekerja sama Jepang hidupnya makmur," sambung Barkah.

Keadaan perlahan normal lagi sesudah Indonesia merdeka. Tradisi baju baru saat lebaran dan mengenakan pakaian baru terus berlanjut sampai saat ini.

Beri Komentar