(Sumber Foto: Kitabisa.com)
Dream - Pemukiman kumuh di selatan Jakarta itu lengang. Anak-anak kecil yang biasa mulung tak tampak batang hidungnya. Obrolan seru para ibu saban sore di depan rumah juga tidak terdengar.
Yang ada hanya lantunan ayat-ayat Alquran dari sebuah bangunan rumah berlantai tiga, dekat dari situ. Mereka semua rupanya ada di sana.
Suara mereka saling bersahutan mengeja huruf hijaiyah di Yayasan Media Amal Islami (MAI), milik Ustaz Aslih Ridwan. Ada yang membaca secara terbata, ada yang tersengal, ada pula yang sudah sedikit lancar.
Tak jauh dari situ, sang pemilik yayasan tengah memperhatikan mereka. Air mukanya tenang. Sembari sesekali meneguk kopi hitam di hadapannya. Pandangan dia menerawang jauh, teringat masa-masa awal perjuangan membangun Yayasan Media Amal Islami (MAI).
Kala itu, hatinya bergetar melihat tangis iba dari seorang anak kecil yang ditinggal begitu saja oleh orangtuanya. Rasa prihatin mendorong Ustaz Aslih membawa si bocah kecil itu ke sebuah pesantren milik sang sahabat.
Kisah serupa tak cuma terjadi sekali. Batinnya kembali menjerit, ketika seorang ibu memohon-membawa ketiga anaknya ketika ia sedang berdakwah di daerah Sentul, Jawa Barat.
Dan yang paling menampar mata batin Ustaz Aslih, saat menyaksikan kepedihan para pemulung yang tinggal di pedalam Papua. Betapa tidak, segerombolan bocah itu terus mengekor di belakangnya.
Di usia belia mereka harus menanggung perihnya hidup di daerah terpencil. Tubuh mereka kurus tanda tak terurus. Rambut kusut masai dengan baju seadanya, melekat pada badan mereka.
Dengan pandangan menghiba, tangan-tangan kecil mereka terus memegang ujung baju Ustaz Aslih, minta dibawa pulang ke Jakarta. Astaghfirullah...
Kini hatinya boleh sedikit lega, anak-anak yang meminta bantuan bisa ditampung dalam pesantren yang telah ia bangun. Meskipun baru berupa bangunan setengah jadi, tapi setidaknya anak-anak tak mampu itu bisa dapat pendidikan dan kehidupan lebih layak.
Meskipun masih sangat sederhana, namun ia telah berhasil mendirikan beberapa yayasan MAI yang telah tersebar di Bogor (Curug, Gunung Sindur dan Parung). Kemudian di Lebak Bulus, Jakarta Selatan dan Serang, Banten.
" Dulu tahun 90-an belum terpikir membangun ruang inap dan seterusnya," ujar Ustaz Aslih yang dijumpai Dream di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Selasa kemarin, 7 Februari 2017.
Kini, ada sekitar 500 anak yatim dan kurang mampu yang dibina di lima yayasan miliknya. Sedangkan yang diasuh di Lebak Bulus berjumlah sekitar 100 orang, berasal dari berbagai kalangan masyarakat bawah.
" Jadi memang prioritas kami sih yatim terutama kalau ada piatu, memang dengan keterbatasan kita. Karena biayanya kita besar, jadi kita masih terbatas," ungkap Ustaz Aslih.
Yayasan milik Aslih lebih memperioritaskan anak-anak yang memiliki latar belakang sangat memperihatinkan. Seperti saat ia berkunjung ke wilayah Pasar Kebayoran lama. Di sana, ia menemukan delapan anak tinggal dalam satu kamar kecil yang pengap.
Ada juga anak yang sejak di kandungan sudah ditinggal ayahnya begitu saja. Namun yang paling menyentuh hati adalah kisah Fathur Rozi, seorang anak tuna netra yang kini berhasil dilatih menjadi hafidz Quran.
Sambil mengehela napas, sang Ustaz bercerita pengalamannya menemukan Fathur pada 2012 silam. Hatinya terenyuh melihat kondisi Fathur yang hanya tinggal bersama ibunya. Mereka hanya hidup berdua dalam kondisi serba kekurangan. Sering menahan lapar, karena tidak memiliki apapun yang bisa dimakan.
" Pas kita datang ke rumahnya itu kita lihat rumahnya gelap. Dia duduk di pojokan, kita samperin dia bangun jatuh, bangun jatuh, ternyata enggak pernah keluar dan enggak pernah kena matahari," kata Fathi Ihsan yang mewakili sang ayah pergi ke sana kala itu.
Di tengah keterbatasan, Fathur memendam mimpi bisa mencicipi bangku sekolah. Sehingga mengetuk hati para pengurus Yayasan MAI segera mencarikan donatur.
" Dan Alhamdulillah dapat donatur untuk Fathur. Sebelum sekolah kita bangun kepribadiannya dulu, karena benar-benar enggak pernah keluar rumah," ucap dia.
Untuk metode belajar membaca Alquran dilakukan dengan bantuan MP3. Ditambah dengan mendengar lantunan ayat suci yang keluar dari bibir ibunya. Perjuangan Fathur tak pernah padam hingga akhirnya kini berhasil membaca huruf braile.
Satu lagi yang mengagumkan, di tengah kondisinya yang penuh keterbatasan ternyata Allah memberi hadiah manis dengan mengabulkan doa-doanya. Seperti suatu ketika, ada pesawat yang menderu di atas rumahnya. Lalu, sang ibu menjelaskan jika itu adalah bunyi pesawat yang didengarnya.
Kemudian, ia berujar pada ibunya bahwa suatu saat mereka juga akan mampu naik pesawat. Saat itu, tentu ibunya tak menganggap serius ucapannya. Bahkan menganggap jika itu adalah hanya sebatas angan-angan seorang anak kecil.
" Namun siapa sangka, saat kita berkunjung ke Kapolres Metro Jakarta Selatan ibu Wahyu (istri Kapolres saat itu) bilang Fathur dan ibunya akan diberangkatkan Umrah. Itu ibunya nangis sejadi-jadinya," ungkap Ihsan.
Ustaz Aslih banyak menyemai harapan dengan mendirikan berbagai pesantren binaan. Ia bermimpi dapat mengangkat derajat anak-anak yatim yang kini diasuhnya, sehingga mereka tidak akan menjadi sampah masyarakat hanya karena keterbatasan ekonomi.
Ke depan ia bertekad, agar para santri dapat memberi pendidikan agama pada mereka, sehingga tidak lagi dipandang sebelah mata oleh dunia.
" Kita tidak ingin orang melihat anak yatim ini dipandang sebelah mata justru anak yatim ini sebagai calon pemimpin umat Islam ke depan, calon pemimpin bangsa itu harapan dari para pengurus MAI," harap Aslih.
Dia juga berharap agar keberadaan mereka dapat menjadi pelabuhan bagi anak-anak yang ditelantarkan orangtua. Sehingga ibu-ibu yang ditinggalkan suami, tak gelap mata dan mendapat secercah titik terang untuk melanjutkan hidup.
" Ke depannya MAI betul-betul menjadi tempat berteduhnya anak-anak yang nggak punya, anak yatim sehingga ini akan menjadi milik umat. Sehingga anak ini mampu punya visi misi, diperhitungkan orang itu harapannya didirikan MAI," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Disinggung mengenai pembiayan yayasan, diakui Aslih jika semua itu secara mandiri. Mereka tak pernah mengandalkan bantuan donatur, apalagi campur tangan pemerintah dalam menangani anak-anak miskin dan telantar.
Mereka mampu bertahan karena memiliki usaha seperti jasa penyewaan mobil dan sebidang perkebunan di Cianjur, Jawa Barat. " Di sana ada sekitar 28 pohon cengkeh dan kolam ikan," tutur dia.
Aslih mengaku tak pernah mengenyam pendidikan di bangku pesantren. Bahkan, ia dulu sempat dilarang sang ayah menjadi seorang ustaz. Sang ayah beranggapan jika kehidupan seorang ustaz akan susah karena tidak memiliki penghasilan pasti.
Tapi, berkat kegigihannya dalam memperdalam ilmu agama dan mampu menunjukkan keteguhan untuk memilih berjuang di jalan Allah, maka hati sang ayah pun luluh. Serta menjadi orang yang selalu memotivasinya untuk menjadi pemuka agama.
" Saya berasal dari keluarga yang tidak mampu. Ayah hanya bekerja serabutan, pernah juga sebagai tukang panggul buah. Sejak SD, saya sudah mulai berpikir untuk mampu menghasilkan uang sendiri. Bahkan saya pernah bekerja di pabrik kawat dan penjaga toko di daerah blok M," ujarnya.
(Laporan: Muhammad Ilman Nafi'an)
Advertisement
4 Komunitas Seru di Bogor, Capoera hingga Anak Jalanan Berprestasi
Resmi Meluncur, Tengok Spesifikasi dan Daftar Harga iPhone 17
Keren! Geng Pandawara Punya Perahu Ratusan Juta Pengangkut Sampah
Pakai AI Agar Tak Khawatir Lagi Salah Pilih Warna Foundation
Video Sri Mulyani Menangis di Pundak Suami Saat Pegawai Kemenkeu Nyanyikan `Bahasa Kalbu`
Halte TJ Senen Sentral yang Terbakar, Berubah Jadi Halte Jaga Jakarta
Nyaman, Tangguh, dan Stylish: Alas Kaki yang Jadi Sahabat Profesional Modern
4 Komunitas Seru di Bogor, Capoera hingga Anak Jalanan Berprestasi
Kembali ke Akar: Festival yang Ajak Publik Belajar Jaga, Serap, dan Tumbuh
Resmi Meluncur, Tengok Spesifikasi dan Daftar Harga iPhone 17