Kenaikan Iuran Batal, Uang Bisa Kembali, Nggak, Ya?
Dream - Pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan oleh Mahkamah Agung (MA) perlu menjadi momentum pembenahan sistem jaminan sosial nasional. Ini juga berlaku bagi sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
“ Pemerintah dan DPR duduk bersama membahas soal ini, merancang kembali desain ulang tentang bagaimana sistem jaminan sosial nasional, khususnya, dalam aspek kesehatan. Kita tata kembali dengan baik,” kata Wakil Ketua Komisi IX Melky, Laka Lena, di Jakarta, dikutip dari Merdeka.com, Rabu 11 Maret 2020.
Dengan membahas bersama-sama, ada jalan keluar untuk persoalan yang berkaitan dengan sistem jaminan sosial nasional.
" Ini menjadi momentum sebenarnya agar berbagai aspek yang selama ini menjadi persoalan yang, terkait kepesertaan, pembiayaan layanan yang diperoleh dan sebagainya itu bisa betul-betul dituntaskan," kata dia.
Melky juga menyinggung masalah pembatalan iuran BPJS Kesehatan. Dia meminta ada skema yang tidak merugikan orang-orang yang sudah terlanjur membayar kenaikannya.
Salah satu usulan yang diberikan Melky adalah pemerintah mengembalikan iuran untuk peserta BPJS Kesehatan yang masuk dalam kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Saat ini diketahui peserta BPJS Kesehatan kategori PBI berjumlah sekitar 97 juta jiwa yang ditanggung dana APBN. Sementara di tingkat provinsi dan kabupaten berjumlah 37 juta.
" Berarti harus mengembalikan ke kas negara kan, baik ke pusat maupun Provinsi dan Kabupaten/Kota,” kata dia.
Sementara untuk peserta mandiri BPJS Kesehatan, Melky mengatakan keputusan pengembalian dana akan menjadi urusan yang bersangkutan. Jika pembayaran iuran ditanggung perusahaan, dana dikembalikan kepada tempat nasabah itu bekerja.
" Teknisnya saya kira bagaimana agar BPJS mengatur yang harus dikembalikan itu, jadi saja iuran bulan berikutnya. Itu bisa bisa diatur lebih teknis kan,” kata dia.
Melky tak sependapat dengan alasam pemerintah yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan karena ada defisit keuangan.
“ Konsepsi kami begini, sistem jaminan sosial bukan asuransi. Kalau saya ikut asuransi saya membayar. Kalau sistem jaminan sosial dia merujuk pada sila kelima,, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," kata dia.
Konsep jaminan sosial sama seperti konsep subsidi yang selama ini dijalankan pemerintah, seperti subsidi listrik, pupuk, dan BBM.
" Masak kesehatan tidak ada subsidi. Dibilang kita defisit. Ini perspektif yang keliru. Kita tidak sedang bertransaksi dan berbisnis dengan rakyat. Kita lagi mengurus rakyat dan memberikan uang dan itu jaminan yang kita berikan. Bukan defisit," terang dia.
" Tinggal bagaimana kalau kita siap cuma Rp10 triliun dari situ kita hitung bagaimana mengaturnya sehingga rakyat miskin bisa kita urus. Kalau defisit seolah-olah negara berdagang sama rakyatnya. Tidak boleh," kata dia.
Melky pun menyentil peran Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang dinilai belum menjalankan perannya secara optimal. Dia menyebut dewan ini tak percaya diri dalam menjalankan kewenangannya.
“ Harus juga dicek, konsepsi tentang desain kita punya sistem (jaminan sosial) termasuk pembiayaan. Desain awal dari mereka itu, usulnya dari mereka itu,” kata dia.
Melky berharap DJSN dapat lebih sering tampil ke publik dalam menanggapi maupun memberikan informasi terkait sistem jaminan sosial nasional.
“ Mereka selama ini berlindung tidak kelihatan. Punggung dia harus dia ungkapkan. Dia tidak boleh lagi di berdiri di belakang. Harus maju. Karena konsep itu kita tunggu dari DJSN,” kata dia.
Dream - Mahkaham Agung (MA) mengabulkan gugatan pembatalan kenaikan iuran BPJS kesehatan yang diajukan oleh Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir, yang diajukan pada 2 Januari 2020.
" Kabul permohonan hukum sebagian," tulis MA dalam putusannya, yang dikutip Liputan6.com, Senin 9 Maret 2020.
Sidang putusan pengabulan tersebut dilakukan oleh hakim Yoesran, Yodi Martono, dan Supandi pada 27 Februari 2020.
Sekadar informasi, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) menggugat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan ke Mahkamah Agung agar dibatalkan.
Perpres tersebut mengatur kebijakan kenaikan iuran kepesertaan BPJS Kesehatan untuk pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja sampai dengan 100 persen.
Tony Samosir menyatakan, pasien kronis cenderung mendapat diskriminasi dari perusahaan karena dianggap sudah tidak produktif lagi, sehingga rawan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari perusahaan.
Untuk diketahui, kasus ini terdaftar di Mahkamah Agung dengan nomor register 7 P/HUM/2020 dengan janis kasus Tata Usaha Negara (TUN). Kasus tersebut terdaftar pada 2 Januari 2020.
Pihak pemohon kasus tersebut adalah Tony Robert Samosir yang merupakan ketua umum KPCDI dengan termohon Presiden RI.
Mahkamah Agung diketahui mengabulkan sebagian gugatan KPCDI terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam pertimbangan MA, pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres nomor 75, bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Pasal 23, Pasal 28 H Jo. Pasal 34 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Dan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Selain itu, bertentangan pula dengan Pasal 2, 3, dan 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial. Terakhir, bertentangan dengan Pasal 4 Jo Pasal 5, dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
" Menyatakan bahwa Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," tulis putusan MA.
Pasal yang dibatalkan MA:
Pasal 34
(1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar:
a. Rp42.OOO,00 (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.
b. Rp110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atau
c. Rp160.000,00 (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
(2) Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2O2O.
Dengan demikian, maka iuran BPJS kembali ke semula:
a. Kelas 3 Sebesar Rp25.500
b. Kelas 2 Sebesar Rp51.000
c. Kelas 1 Sebesar Rp80.000
Sidang diketahui oleh hakim DR Yosran Sh, M.Hum, Dr H Yodi Martono Wahyunadi, SH, MH, dan Prof. Dr. H. Supandi, SH, M.Hum.
(Sumber: Liputan6.com/Putu Merta Surya Putra)
Dream – Peraturan Presiden yang mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan digugat. Pemerintah diminta kembali menerapkan aturan lama tentang BPJS Kesehatan, sehingga iuran yang dibayar tidak memberatkan masyarakat.
“ Uji materi menjadi kewenangannya Mahkamah Agung (MA), tetapi boleh didaftarkan melalui PN setempat, nanti PN yang akan meneruskan ke MA,” kata sang penggugat, M. Sholeh, dikutip dari Merdeka.com, Jumat 1 November 2019
Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan memang dinilai memberatkan. Sebab, dalam perpres baru itu menyatakan keaikan iuran BPJS Kesehatan.
Sholeh berharap, Perpres kenaikan iuran BPJS Kesehatan dibatalkan melalui uji materi tersebut. Sehingga besar iuran yang harus dibayar oleh peserta BPJS Kesehatan akan kembali ke Perpres yang lama.
“ Ya Perpres kenaikan iuran itu dibatalkan maka kembali ke perpres yang lama yaitu tidak ada kenaikan,” kata dia.
Pria yang berprofesi sebagai advokat ini mengaku menggugat Perpres BPJS itu karena situasi ekonomi yang belum bagus. Kenaikan iuran juga dianggap tak akan berpengaruh terhadap pelayanan yang diterima masyarakat.
“ Alasannya sederhana, situasi ekonomi kan belum bagus, pendapatan masyarakat kan tidak tinggi, kalau kenaikan 100 persen itu kan logikanya tidak tepat, itu yang pertama," katanya.
“ Layanan meningkat katanya, meningkat apa, ga ada pelayanan ya tetap saja, rumah sakit ya rumah sakit ngunu iku (seperti itu). Kecuali akan dihapus rujukan berjenjang. Kalau sakit, nggak perlu ke Puskesmas. Itu baru peningkatan. Kalau tidak, kan, sama saja,” kata dia.
Dia menilai, pemerintah salah membuat perhitungan. Perhitungan membuat BPJS yang diharapkan bisa menguntungkan pemerintah justru membuat rugi. Masyarakat, lanjut Sholeh, yang harus disuruh menanggung kerugian.
Sholeh menyarankan pengobatan yang seharusnya ditanggung negara itu hanya orang miskin. Konsepnya, pemerintah membayari pengobatan orang miskin.
“ Balik seperti Jamkesda dulu, jadi kalau ada orang miskin tidak mampu baru dibayari sama Pemda. Sekarang ini kan salah, orang mampu semua kalau sakitnya abot (berat) baru ikut BPJS,” kata dia.
Menurut Sholeh, pekerja juga mengeluhkan sistem asuransi ini. Dikatakan bahwa perusahaan tempat mereka bekerja dulunya bekerja sama dengan asuransi swasta yang lebih bagus, tiba-tiba diminta ikut BPJS.
“ Bubarkan saja mestinya. Keluhan masyarakat itu tidak hanya bagi orang biasa, (tetapi juga) pekerja pun banyak mengeluh. Dulu perusahaan itu kerja sama dengan asuransi swasta yang lebih bagus. Tiba-tiba dipaksa ikut BPJS. Semua tambah amburadul kayak gitu,” kata dia.
Advertisement