Siapa Menang dalam Perang Mata Uang?

Reporter : Syahid Latif
Jumat, 4 September 2015 08:30
Siapa Menang dalam Perang Mata Uang?
Banyak negara sengaja melemahkan mata uangnya. Namun siapa yang bisa bertahan dan keluar jadi pemenang?

Dream - Mata uang di seluruh negara tengah menghadapi krisis. Perang mata uang dituding memicu pelemahan global tersebut. Lalu siapakah yang menang dari perang non militer ini?

Kurs Real Brasil sepanjang 2015 telah turun 28 persen. Begitu pula Lira Turki yang turun 20 persen, Peso Kolombia 23 persen, dan Rupiah 11 persen.

Di tengah alarm bahaya yang makin kencang, nilai kurs rendah menjadi keinginan semua negara di dunia.

Tiongkok sebagai contoh sengaja mendevaluasi yuan 2 persen akhir bulan lalu. Penurunan terbesar selama 20 tahun terakhir.

Para ahli yakin, motivasi utama adalah membuat barang ekspor Tiongkok tetap menarik bagi pembeli internasional.

" Saya takkan kaget jika kita mengatakan dalam dua tahun terakhir mata uang ini melemah dalam upaya memperbaiki kinerja lebih baik," kata Kepala Ekonomi Emerging Market dari Capital Economics, Neil Shearing seperti dikutip laman Dream dari money.cnn.com, Jumat, 4 September 2015.

Namun negara-negara ini lupa, pelemahan mata uang dalam jangka pendek merefleksikan pelemahan dari underlying sebuah negara.

Sebagai catatan, krisis moneter tahun 1998 dipicu devaluasi dari Baht Thailand yang jatuh 20 persen dalam satu hari. Alhasil, pelemahan ini mengirimkan sinyal negatif bagi pasar keuangan dunia.

Situasi saat ini memang berbeda dengan kondisi 1998. Saat ini penurunan mata uang diikuti dengan melemahnya harga komoditas di pasar internasional.

Banyak negara yang bergantung pada bahan baku komoditas harus terhantam cukup berat. Brasil salah satu contohnya.

Kondisi diperparah dengan terus merebaknya potensi kenaikan suku bunga The Fed.

Mengapa mereka jatuhkan mata uangnya....>>>

1 dari 1 halaman

Mengapa Negara Jatuhkan Mata Uangnya?

Sebetulnya jika dikelola baik, pelemahan mata uang bisa mendatangan untung. Nilai yang melemah dianggap bisa memicu pertumbuhan ekonomi dalam dua cara membuat barang ekspor lebih murah sehingga banyak pembeli internasional tertarik membeli.

Cara kedua adalah membuat barang impor menjadi mahal dan memaksa penduduk membeli barang domestik.

" Mereka seharusnya melihat keuntungannya dari sisi perdagangan global," kata pengamat emerging market dari Cornell Univesity, Andrew Karolyi.

Namun, Mohamed A El-Erian, kepala ekonomi dari Allianz justru mengingatkan negara-negara yang mengalami pelemahan mata uang agar berhati-hati dengan munculnya masalah di dalam negeri.

Satu hal penting yang harus diperhatian serius adalah ketika mata uang turun terlalu tajam.

Penduduk dari negara yang bergantung pada barang impor akan terkena imbas. Harga barang-barang akan melonjak seiring dollar yang menguat.

Venezuela merupakan salah satu contoh dari kondisi tersebut.

Bahkan pejabat dari negara Trinidah and Tobago belum lama ini menawarkan kertas tisu ke Venezuela untuk ditukarkan dengan minyak mentah.

Dengan banyaknya hantaman yang menerpa, para ahli memperkirakan akan dibutuhkan waktu lama buat negara-negara yang terkena dampak perang mata uang ini untuk memulihkan ekonominya.

Kecuali, jika negara tersebut pintar mengelola pelemahan mata uang, mereka bisa memacu ekspor sekaligus membalikan keadaan.

Jadi siapa yang akan menang dalam perang mata uang ini?

Beri Komentar
Jangan Lewatkan
More