Ketua FOZ Bambang Suherman (Foto: Dream.co.id/Okti Nur Alifia)
Dream - Asosiasi pengelola zakat, Forum Zakat Nasional (FOZ), menyampaikan evaluasi pelaksanaan UU Pengelolaan Zakat Nomor 23 Tahun 2011 kepada Komisi VIII DPR. Mereka menilai pendirian lembaga amil zakat dalam aturan itu lebih rumit dibanding era UU No.38/1999.
" Hari ini perizinan yang berjalan tidak sesuai dengan hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (PUU No. 86/PUU-X/2012) yang pada waktu itu memfasilitasi yudisial review tentang undang-undang zakat ini," kata Bambang setelah Rapat Dengar dengan Komisi VIII DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin 10 April 2023.
Bambang menyampaikan proses perizinan seharusnya langsung dilakukan oleh Kementerian Agama (Kemenag), namun saat ini harus melalui rekomendasi dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dengan waktu tunggu yang tidak menentu. Setelah proses rumit itu baru mendapatkan izin dari Kemenag.
" Problemnya muncul adalah pada saat masuk ke Baznas, keluarnya rekomendasi itu yang tidak fixed. Harusnya aturan mainnya 14 hari tapi realitasnya lebih banyak yang delay, sampai bertahun-tahun," ujar Bambang.
Secara administrasi tidak ada masalah. Namun, menurut Bambang, yang tidak definitif dari Baznas adalah dalam hal mengeluarkan keputusan tentang rekomendasi.
" Tahun 2020, kami (FOZ) mengajak Ombudsman untuk mereview realitas tersebut. Ada catatan dari Ombudsman kemungkinan besar ada conflict of interest untuk mengeluarkan dan tidak mengeluarkan perizinan," terang Bambang.
Dalam paparannya kepada Komisi VIII DPR RI, Bambang menjelaskan, dari 18 LAZ Nasional yang eksis di era UU No.38/1999, hanya tersisa 10 LAZ yang mampu bertahan dan kembali memperoleh perizinan sebagai LAZ Nasional di era UU No.23/2011.
" Yang 8 ini diarahkan menjadi UPZ (Unit Pengumpul Zakat)," ungkapnya.
Dampak berlarut-larutnya proses perizinan adalah menghambat partisipasi yang luas dari masyarakat untuk ikut terlibat penghimpunan. Yang menjadi highlight FOZ, kata Bambang, adalah terbentuknya ekosistem zakat yang kondusif.
" Highlightnya terbentuknya ekosistem zakat yang kondusif. Jadi kalau proses perizinan fixed, baku atau jelas, akan fokus berpikir yang lebih ke program, manfaat zakat, kekuatan regulasi, dan lainnya," ujar Bambang.
Hal lain yang menjadi evaluasi FOZ adalah tentang pengambilan dana masyarakat malalui skema 70:30 teruntuk lembaga yang ditetapkan sebagai UPZ. Di mana dana yang dihimpun UPZ, 100 persen diserahkan ke Baznas, lalu dibalikkan lagi ke UPZ sebesar 70 persen.
" 30 persen sepenuhnya dikekola Baznas. UPZ tidak berhak mendapatkan laporan karena statusnya UPZ," ujar Bambang.
Bambang melanjutkan, ketika lembaga zakat diberikan izin, seharusnya 100 persen pengelolaannya ada di lembaga tersebut.
Kemudian lembaga itu harus bisa mempertanggungjawabkannya, dengan audit reguler, public expose bagi masyarakat dan akses bagi pertanyaan masyarakat. Namun konteks laporan 30 persen yang selalu tidak bisa dijawab oleh lembaga, karena laporan ada di Baznas.
" Selalu ada tuntutan agar Baznas memberikan laporan, cuman Baznas mengatakan itu tidak diatur di manapun, jadi Baznas merasa tidak wajib melaporkan. Mungkin ada di laporan Baznas secara langsung tapi tidak keluar di laporan para UPZ, sementara akad muzakkinya dengan UPZ," katanya.
Advertisement
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR
Potret Beda Pesta Pora 2025, Ada Jumatan Bareng Dipimpin Rhoma Irama
Psikolog Ungkap Pentingnya Pengawasan Orangtua Saat Anak Main Game
Inspiratif, Tiga Artis Cantik Ini Ternyata Founder Komunitas
Fakta-Fakta Ciamis Jadi Kota Kecil Terbersih se-ASEAN