Pameran Busana (Dream/ Ratih Wulan)
Dream – Irama gambus menyambutku sore itu. Dari pintu kaca raksasa, aku masuk ke pusat belanja di Jakarta Selatan ini. Mencari pusat keramaian itu. Aku berjalan membelah aula. Menuju sebuah pentas mini di tengah hall.
Berlantai putih, mengilap. Panggung tak lebih dari seperempat lapangan futsal itu berlatar biru langit. Sejumlah lampu mungil terlihat menempel pada dinding-dinding buatan.
Di depan pentas, berderet puluhan kursi. Beberapa wanita terlihat meriung. Mereka berbincang santai. Salah satunya berbusana merah, mengenakan baret di atas hijab. Dialah Hannie Hananto. Salah satu desainer kondang.
“ Event seperti ini bagus,” tutur Hannie saat berbincang denganku. Jumat sore pekan lalu itu, Hannie menampilkan koleksinya di atas panggung Mal Kota Kasablanka ini.
Sore itu, kursi-kursi di aula itu memang tak penuh. Beberapa tak bertuan. Namun semangat Hannie untuk menampilkan koleksi terbaru tak surut. “ Jadi di Muffest kami bikin prediksi trennya gimana. Terus kami tampilin di parade ini, biar orang lihat yang kami jual di bazar,” lanjut dia.
Di balik pentas, terdengar keriuhan kecil. Sejumlah model tampak bersiap tampil. Di tengah percakapan itu, musik mendadak berubah. Lagu gambus berganti irama yang lebih ngebit.
Lampu-lampu sorot pun mulai menyala. Menebar cahaya lebih terang ke tengah pentas. Model-model berhijab kemudian muncul dari balik latar pentas. Melenggang anggun di atas runway.
Busana rancangan Hannie mendapat kesempatan tampil pertama. Busana-busana itu didominasi kelir neon. Lebih berani. Cocok untuk generasi millenial. “ Tren tahun ini young and hit,” ujar Hannie.
Koleksi Monica Jufri menyusul. Kali ini, warna busana yang dikenakan para model lebih teduh. Terlihat anggun. Berhias garis splash indah. Baju-baju batik flowy hingga rancangan boyish khas Ranni Hatta menyusul kemudian.
Seperempat jam berlalu. Semua model yang tampil berjajar di panggung itu. Suara musik yang memacu degup jantung pun mulai mereda. Lampu-lampu hias tak lagi menyorotkan sinarnya. Padam. Parade busana itupun kelar.
Tapi kehidupan di lobi utama itu belum mati. Belasan booth yang berjajardi sana masih menyala. Sejumlah pengunjung melihat-lihat koleksi busana hijab yang dijaja. Beberapa lainnya mencoba-coba, mematut diri di depan kaca.
Para penjaga stan merayu para tamu. Calon pembeli pun tak kalah gigih menawar baju yang ditaksir. Mulai busana Muslim hingga perlengkapan sholat, sajadah juga mukena. Bila beruntung, mereka bisa dapat baju kesayangan dengan harga miring.
© Dream.co.id
***
Saat ini, kata Hannie, tren busana hijab ditandai dengan warna-warna vibran dan pop colour, seperti merah, kuning, hijau, dan biru elektrik. Kelir macam itu menggeser warna pastel yang berjaya dalam beberapa Lebaran belakangan. Tren modest wear kini lebih dipengaruhi warna.
Menurut Hannie, model bukan lagi jadi patokan. Sebab, semua tergantung selera individu. Sehingga masih ada yang mempertahankan gaya lama dengan memakai gamis atau abaya. Tapi tak sedikit pula yang memilih busana lebih ringan dengan konsep padu-padan.
“ Tahun lalu masih banyak, tapi sekarang kita jarang lihat yang payet-payet, kaftan yang jahitannya elegan, shifon dan berat. Gaungnya berubah, customer juga berubah dan ada pergeseran generasi jadi lebih muda. Untuk busana mom pun menyesuaikan,” lanjut Hannie.
Bagi Hannie, tren pop art ini tak menyulitkan dalam membuat desain busana Muslimah. Permainan warna berani sudah menjadi signature style, yang sudah melekat pada koleksinya sejak lama.
Meski demikian, Hannie mengaku perlu mengembangkan desain menjadi lebih segar. Mengikuti selera pasar. Inilah tantangan desainer busana Muslim. Harus mampu mengembangkan konsep yang terbatas pada siluet loose menjadi lebih playful, chic, dan shopisticated.
Pendiri Hijabers Mom Community ini biasanya menambahkan aksesoris pendukung pada koleksinya. Seperti menambahkan ornamen pelengkap, berupa emblem kartun di bagian belakang busana atau ujung hijabnya. Padu-padan hijab, tas, hingga sepatu, akan menjadi pembeda styling koleksinya.
Meski demikian, Hannie merasa sedikit kewalahan menyiapkan koleksi Lebaran kali ini. Tren berganti sangat cepat. Sehingga tak bisa disiapkan jauh-jauh hari sebelum Ramadan.
“ Persiapan itu kayak orang berlari-lari sambil kesandung-sandung, selalu begitu. Jadi semenjak selasai Muffest, awal April, sudah mulai produksi kerudung dan khimar. Kenaikan produksi sekitar empat sampai lima kali lipat,” terang Hannie.
Hannie bersyukur banyak pameran selama Ramadan. Sebab, penjualan dalam ajang-ajang seperti ini cukup lumayan. Lebih tinggi daripada hanya menunggu di butik.
“ Saya di Muffest alhamdulillah melampaui target. Baju-baju banyak permintaan. Baju yang diproduksi untuk Lebaran sudah habis di Muffest dan produksi naik sekitar 200 persen dari biasanya,” tutur Hannie, mensyukuri rezekinya.
Menurut Hannie, tren penjualan tahun ini didominasi hijab syari. Ditandai dengan ramainya permintaan khimar, yang bentuknya lebih lebar.
© Dream.co.id
***
Jakarta makin senja. Booth-booth di lobi utama ini mulai sepi. Ditinggalkan para pengunjung. Mereka mulai pindah. Berduyun ke pusat makanan di lantai atas. Aku lihat arloji. Ternyata sudah hampir pukul enam. Waktunya berbuka puasa. Tapi, pesta busana di mal ini belum usai.
Aku naik ke tingkat tiga. Tempat digelarnya pameran busana yang diselenggarakan oleh fashion store terkemuka. Di sana, juga ada deretan booth. Tak kurang dari seratus. Semua memajang busana Muslim. Ada koleksi desainer kelas wahid hingga produk usaha kecil yang lebih ramah kantong.
Ada pula mushola. Di sana aku sholat bareng para hijaber. Tak sedikit pula yang berbuka puasa di lantai tiga ini. Di antara deretan booth itu, kulihat milik desainer dan artis kondang, semacam Dian Pelangi, Ria Miranda, Laudya Cynthia Bella, dan Kami.
“ Brand apa saja yang ada di sini kalau jualan printilannya lebih kenceng,” tutur Nadya Karina, salah satu perancang yang tergabung dalam brand Kami.
Di booth-booth itu, para pengunjung dipersilakan menjajal scarf beraneka warna sambil bergaya di depan kaca. Hampir semua booth menjajakan hijab voal yang jadi tren jelang Lebaran tahun ini. Harganya beragam, mulai Rp100 ribu hingga Rp350 ribu. Tergantung patern dan kualitas bahan.
Karin mengaku, penjualan scarf di pameran ini sangat banyak. Padahal, untuk satu pieces scarf polos dibandrol Rp150 ribu. Sementara yang bermotif berkisar Rp300 ribu hingga Rp375 ribu.
“ Beda dengan baju, karena scarf itu kayak kacang goreng gitu. Mereka mau beli bukan untuk dipakai segera, untuk disimpan dulu bisa. Ada yang satu motif beda warna pun mereka mau. Harganya lebih terjangkau jadi 1 orang bisa beli 3 sekaligus,” tambah Karin.
© Dream.co.id
Para hijaber harus merogoh kocek lebih bila ingin melengkapi scarf itu dengan baju Muslimah. Setidaknya perlu Rp1 juta untuk menebus busana itu dari booth-booth para desainer tersebut. Untuk satu setel, para hijaber harus merogoh kocek Rp500 ribu hingga sejuta rupiah.
“ Kalau koleksi busana premium Kami ada di sekitaran Rp1 juta hingga Rp8 juta, tapi itu untuk purchase order,” tambah Karin.
Harga itu memang terbilang lumayan. Namun Karin percaya diri koleksi ini mampu menarik minat kaum millenial. Kecenderungan anak muda dalam bermedia sosial menguntungkan para desainer. Koleksi baru itu nyatanya tetap diburu.
" Wah, jangan meremehkan millenial, sebenarnya uangnya enggak terlalu banyak tapi karena mereka rela tampil di socmed, itu sebenarnya penyakit masyarakat yang menguntungkan kami,” ujar Karin.
“ Tapi ya enggak gitu juga sih. Kami lihat market-nya seperti itu, demand barang baru tinggi. Enggak bisa anteng-anteng sebulan, lalu bulan berikutnya orang pada nanya koleksi baru,” imbuh dia. Apalagi, mereka juga melakukan kolaborasi dengan online store, brand kecantikan, dan perancang lainnya. Produk-produk mereka semakin laris.
Menurut Karin, mereka mendapat untung lumayan dari pameran-pameran seperti di Kokas ini. Namun demikian, dia mengaku pemasukan mereka paling besar datang dari penjualan online.
“ Tahun ini yang banyak diminta itu koleksi Mara, kebetulan sesuai prediksinya benar. Masuk dalam koleksi Eidscapade tersedia di Pasific Place,” imbuh dia.
Untuk koleksi Lebaran, mereka telah bekerja sejak September tahun lalu. Karin dan kedua rekannya yangtergabung dalam brand Kami tak terlalu ikut arus pergantian tren modest wear. Mereka konsisten dengan signature style yang selalu menghadirkan konsep mix and match.
Selain berani menabrak tren, mereka juga tak hanyut dalam permainan warna yang ngejreng. Berbeda dengan Hannie, mereka tetap menghadirkan warna-warna pastel yang dianggap popularitasnya telah berlalu.
“ Warna secara enggak sengaja lebih banyak warna dingin dibanding warm tone. Tahun ini lebih pastel dibanding tahun lalu, jadi tahun ini koleksi Kami jadi lebih perempuan, lebih girly,” lanjut Karin.
Yang jelas, selama Ramadan dan menjelang Idul Fitri, brand Kami juga merasakan lonjakan penjualan. Setidaknya 80 persen. Peningkatan ini memang tak terlalu drastis, karena di bulan-bulan biasapun permintaan selalu tinggi.
“ Enggak kelihatan karena hari-hari bisa penjualan ita sudah banyak banget. Ya paling dua kali lipat sih,” tutupnya.
***
Kesibukan juga terlihat di booth milik desainer kawakan, Sofie. Rancangan-rancangan dengan ciri khas outwear dan tunik membuat karya Sofie tak pernah sepi pembeli. Petang itu, aku melihat tiga calon pembeli tengah melihat-lihat koleksi Sofie. Mereka memburu koleksi monokrom.
Sofie memang tidak tertarik meluncurkan koleksi Lebaran secara khusus. Meski menyuguhkan dua hingga tiga koleksi, secara garis besar detail koleksinya mengarah pada ready to wear untuk busana sehari-hari.
“ Saya buat khusus, tapi bukan khusus banget. Tetap bisa dipakai setelah hari Lebaran. Jadi bukan untuk silaturahmi, lebih bisa buat banyak aktivitas, lebih nyaman. Jadi pakai bahannya pun yang nyaman kayak katun. Menghindari polyster yang hanya sekitar 30 persen saja,” ungkap Sofie.
Dia masih setia menghadirkan busana berwarna gelap. Namun dibuat lebih menarik dengan menghadirkan styling dan cutting baru. Sofie sengaja menyuguhkan koleksi yang mudah dipadu-padankan dengan outfit lain. Sehingga memudahkan para pelanggan. Satu item bisa digunakan untuk dua hingga tiga gaya.
Sama seperti Hannie, Sofie juga meraup banyak keuntungan dari berbagai pameran yang diikuti selama Ramadan dan Lebaran. Tahun ini dia menarget ikut sepuluh pameran. Sofie memang masih belum merambah penjualan online.
Sofie juga masih berharap pada pemasaran department store, yang kini juga sudah banyak mengalami perubahan. Penjulan melalui department store, kata dia, memang berkurang hingga 30 persen karena maraknya penjualan daring.
“ Kalau dept store masih lumayan itu Centro ya, tapi nggak ramai kayak dulu. Pas mau Lebaran saja ramai, kalau hari-hari biasa cenderung enggak sehat karena pengaruh online,” jelas dia.
Sofie memang belum bisa menotal penjualan selama Ramadan ini. Hasil itu baru terlihat pada pekan ke tiga bulan Puasa. Meski demikian, dia bisa memastikan penjualan meroket. Bisa empat sampai lima kali menjelang Idul Fitri.
Hari merangkak semakin malam. Aku sudahi perjalanan di mal ini. Saat pulang aku bayangkan betapa banyak uang yang berputar di sana. Ramadan dan Lebaran telah menjadi berkah.
Doa-Doa Selama Perjalanan Haji, Mulai Keberangkatan hingga Kepulangan Jemaah
Tampilan Comfy nan Stylish Dara Arafah, Andalkan Kulot Printing
Tak Hanya di Wajah, 4 Area Tubuh yang Juga Butuh Sunscreen
Doa Sapu Jagat Hari Tasyrik yang Sering Dibaca Rasulullah SAW dan Keutamaannya
Mengungkap Sejarah Padang Arafah, Tempat Wukuf Jemaah Haji yang Menyimpan Banyak Kisah