Hidup Mati Dokter Pedalaman

Reporter : Amrikh Palupi
Rabu, 2 Desember 2015 20:15
Hidup Mati Dokter Pedalaman
Konflik bersenjata di Papua sewaktu-waktu bisa meletus. Mengancam jiwa siapa saja, termasuk dokter Sony.

Dream - Muka Sony tegang. Peluh mengucuri badan. Langkah semakin gegas. Menuju rumah warga di tengah hutan. Tujuannya satu: membantu ibu yang tengah berjuang melewati garis antara hidup dan mati. Melahirkan sang buah hati.

Di rumah itu, sang pasien telah menunggu. Ketuban sudah pecah. Jabang bayi harus dilahirkan. Sony segera meraup alat medis dalam tas. Niat merujuk pasien ke rumah sakit telah dipadamkan. Jaraknya terlalu jauh. Medan pun sulit. Tak ada kendaraan pula.

Tak ada pilihan. Dokter muda itu harus bergerak cepat. Menolong persalinan dengan alat seadanya. Dengan hati-hati, Sony membantu proses kelahiran itu dengan normal. Alhamdulillah... berjalan lancar. Tiga anak kembar lahir ke dunia. Dua laki-laki, satu perempuan. Ibu dan ketiga bayi itu sehat. Sony merasa lega.

" Itu pengalaman sangat berharga menurut saya," kata Sony mengenang masa-masa mengabdi sebagai dokter di pedalaman Papua setahun silam.

Kenangan itu tak akan pernah hilang. Pengalaman sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) itu akan selalu dia kenang. Mungkin seumur hidup. Sebab, dari tanah Papua itulah lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, ini memulai karier sebagai dokter.

Dua tahun pria bernama lengkap Sony Fadli menghabiskan waktu di Papua. Sejak September 2013 hingga September 2014, dia mengabdi di Puskesmas Kampung Gesa Baru, Distrik Benuki, Mamberamo Raya. Setahun berikutnya, dia dipindah ke Puskesmas Pembantu Burumeso.

1 dari 2 halaman

Bertaruh Nyawa

Bertaruh Nyawa © Dream

Petualangan di tanah Papua dimulai. Tugas dia benar-benar berat. Kampung tempat mengabdi itu sungguh minim fasilitas. " Pukesmas Gesa Baru berada di pedalaman, terpencil. Tidak ada sinyal dan listrik," kata Sony.

Sony harus siap dengan segala kemungkinan. Bahkan kondisi terburuk. Dia memang dokter. Mahfum tentang kesehatan. Namun di lokasi terpencil itu, segalanya berbeda. Akses sulit. Obat terbatas. Fasilitas kesehatan juga minim. " Bahkan kalau dokternya sakit di sana, susah kalau benar daerah terpencil," ujar dia.

Keamanan Memberamo juga menjadi ancaman. Konflik antara aparat dengan kelompok bersenjata sewaktu-waktu bisa meletus. Mengancam jiwa siapa saja. " Kalau di Papua karena rawan konflik, panah-panahan, tembak-tembakan, jadi harus persiapan mental dan fisik" .

Tapi Sony tak pernah menyesal. Sejak semula dia sadar konsekuensinya. Tak bertemu keluarga. Jauh dari hiruk pikuk kota. Hidup dengan fasilitas terbatas. Bahkan harus bertaruh nyawa. Itu sudah risiko.

" Saya merasa penasaran dengan kehidupan masyarakat yang ada di Papua," tutur Sony.

Di tempat baru itu, Sony mendapat fasilitas rumah dan speedboat. Semua untuk keperluan dinas. Sony dapat speedboat karena transportasi utama daerah itu melalui air, baik laut maupun sungai.

" Kalau motor saya beli sendiri setelah beberapa bulan bertugas. Jadi biar enak kalau ke mana-mana,” katanya.

Selama menjadi dokter PTT, Sony menerima upah Rp7 juta dari pusat. Selain itu masih ada tambahan dari pemerintah setempat. Jumlah itu lumayan besar. Tapi ingat, Sony hidup di pedalaman. Rantai distribusi barang menuju Benuki sangat panjang. Otomatis harganya nauzubilah mahal.

Tapi, Sony bisa menggunakan honor itu dengan bijak. Sehingga cukup untuk keperluan sebulan. Dan bahkan menyisihkan sebagian. " Untungnya honor tak pernah terlambat, kadang-kadang bahkan datang lebih cepat," ucap dia.

2 dari 2 halaman

Lebih Percaya Dukun

Lebih Percaya Dukun © Dream

Saat pertama datang, tantangan Sony sangat berat. Kesadaran masyarakat tentang kesehatan masih minim. Warga di sana masih percaya dukun setempat daripada dokter dan obat yang tersedia di pusat kesehatan.

" Kesadaran masyarakat sangat kurang karena mereka tidak mengerti. Penyuluhan kesehatan hampir tidak ada," tutur Sony.

Sudah begitu, fasilitas medis sangat teratas. Banyak program kesehatan tak jalan. Organisasi kesehatan masyarakat di sana benar-benar buruk. " Belum ada kebiasaan menjalin kerjasama anatara petugas kesehatan di sana," kata Sony.

Tak hanya peralatan. Obat untuk masyarakat pun tak memadai. Tak jarang persediaan obat di pusat kesehatan masyarakat kosong. Kendala distribusi menjadi alasan utama langkanya obat-obatan. “ Obatnya kadang datang saat batas kadaluarsa sudah dekat,” tutur Sony.

Di tengah kekurangan itu, Sony berjuang. Perlahan dia membangun kesehatan warga. Masuk dari kampung ke kampung. Memberi penyuluhan agar warga Benuki sadar akan pentingnya kesehatan.

" Di sana banyak penyakit malaria, HIV, dan anak-anak pada terkena gizi buruk karena tidak ada program-program kesehatan. Selain itu penyuluhan kesehatan ke masyarakat juga kurang,” papar Sony.

Kondisi itu membuat Sony dan sejumlah dokter sangat prihatin. Mereka kemudian berinisiatif menggalang dana untuk membantu warga. Dan mereka berhasil mengumpulkan dana Rp17 juta. " Kami beri arahan ke masyarakat soal gizi buruk," kata dia.

Setelah terjun di Papua, Sony benar-benar tahu. Tak semua program kesehatan bisa berjalan di sana. Tak semudah teori di kelas. Tantangan sangat besar. Dia merasa tekad yang begitu kuat untuk membangun kesehatan masyaralat Papua perlahan luntur.

" Saya ingin melakukan hal seperti itu di Papua tapi susah. Mereka tidak mau menerima perubahan di Papua," ucap Sony.

Itu pula yang membuat Sony mengurungkan niat untuk kembali ke sana. Dulu, dia berniat memperpanjang masa pengabdian di Papua. " Tapi saya berpikir kembali jika perpanjangan di sana apakah saya menjamin akan memberikan perubahan positif di situ?" tanya Sony.

Beri Komentar