Parnaraya, Istana Megah Para Lansia

Reporter : Ahmad Baiquni
Minggu, 5 November 2017 19:10
Parnaraya, Istana Megah Para Lansia
Masa lala diasuh kakek dan nenek membekas di hati Suparno. Hingga sebuah bangunan megah dibangunnya.

Dream – Rumah megah itu berdiri kokoh. Bak sebuah istana. Berkonsep Eropa masa kolonial. Kontras dengan rumah-rumah sekitar.

Kesan kemegahannya begitu meruap. Terasa sejak kaki menginjakkan halaman parkir. Gerbang dari besi tempa hitam berpadu ukiran emas menyambut tamu yang datang. Menuju areal parkir luas yang menampung puluhan kendaraan roda empat.

Di kanan dan kiri, sebuah taman kecil menjadi penghias. Titian tangga di belakang tiang bendera berderet menuju teras bangunan tersebut.

Lima pilar menyangga atap teras. Jendela setinggi 1 meter menyembul dari kedua sisi. Paduan kayu dan kaca. Di tengahnya dua daun pintu menjulang. Semuanya berkelir putih. Sangat besar nan megah.

Jangan bayangkan bangunan seluas 2.500 meter persegi itu berdiri di sebuah kota besar. Istana itu hadir di sebuah dusun. Jauh dari perkotaan. Letaknya di Desa Kebonagung, Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

Sekilas orang Jakarta yang melihatnya akan teringat bangunan di ibukota. Rumah megah itu memang mirip Istana Merdeka. Tempat tinggal presiden. Namun dalam bentuk lebih kecil.

Masuk ke dalam, kemegahan masih terasa. Meja kayu oval panjang melintang saat pintu terbuka. Deretan kursi mengelilingi meja itu. Lukisan-lukisan tokoh penting membuat kesan klasik makin terasa.

Di balik kemegahan itu, para penghuninya tak segagah yang dibayangkan. Hanya ada para pria dan wanita berusia lanjut. Umurnya sudah di atas 70 tahun. Sibuk dengan kegiatannya. Sekadar mengisi waktu di usia senja.

Bangunan megah itu memang dibangun untuk para lansia. Sama dengan julukannya. Istana Negara para Lansia.

***

Tapi Istana Negara Wonogiri itu bukan milik para Lansia. Empunya seorang pria paruh baya. Suparno namanya. Dia warga asli Wonogiri. Bermodal uang Rp1 miliar, pria perantauan yang sukses di Jakarta itu membangun rumah megah di kampung halamannya.

Kala seorang warga di kampungnya ingin menjual tanah, Suparno bergerak cepat. Membeli dan mengubah tanah menjadi bangunan megah. Rumah itu bukan untuk tempatnya menetap. Suparno sudah memiliki tempat tinggal di Jakarta. Istana yang diberi nama Parnaraya itu dibangun untuk rumah bagi para Lansia.

Rasa cinta dan penghormatan Suparno pada Lansia bukan baru muncul belakangan. Teringat utang budi pada Mbah Sakem, nenek yang merawatnya, Suparno ingin membantu lansia di kampungnya. Sebelum rumah berdiri, dia rutin berbagi. Setiap tanggal 22 disisihkan uang untuk dikirim ke desa. Belasan orang direkrut untuk menebar bantuan.

Hingga suatu saat lansia penerima sedekah begitu penasaran. Siapa sosok orang yang saban bulan menderma untuknya.

Keinginan Suparno menguat tatkala pengalaman pilu melintas di depan matanya. Itu terjadi di tahun 2010. Kala Suparno berlibur di desa kelahirannya di Wonogiri.

Di tengah perjalanan, dia melihat seorang ibu yang memakai kain jarit mengendari sepeda motor tua. Menggendong seorang anak, tangan ibu itu menenteng buku sertifikat tanah.

" Ibu itu bilang mau menggadaikan sertifikat tanah untuk biaya pengobatan anaknya," ujar Suparno.

Pemandangan yang menyisakan rasa sedih di hati Suparno. Tebersit rasa penyesalan dalam dirinya. " Saya kok nggak membantu ibu itu," ujarnya.

Bayangan Suparno mengembara ke kampung halamannya. Di sana banyak lansia bernasib serupa. Menggadaikan tanah demi mendapatkan penghasilan. Dari pertemuan itu, Suparno memutuskan membangun sebuah perusahaan batik.

*****

Suparno bukan pria yang kaya sejak lahir. Lahir di Dusun Klampok, Desa Tegalsari, Kecamatan Sidoharjo, Wonogiri, 4 Juni 1970, Suparno kecil hanya anak desa yang sederhana. Getirnya kehidupan telah dirasakan sejak kecil.

Di usia lima tahun, Suparno diminta tinggal oleh kakek neneknya di Dusun Semin, Desa Widoro. Sekitar 5 kilometer dari rumah orangtua di Dusun Klampok. Sempat ditolak sang Ibu, Suparno akhirnya mengingat kakek nenek Suparno tinggal hanya berdua.

Tinggal bersama kakek-nenek membuat Suparno tumbuh jadi anak rajin. Mencangkul sawah, menimba air, dan mencari rumput rutin jadi pekerjaan saban hari. Jika senggang, Suparno kerap membantu membuat tempe serta menjual jajanan keliling kampung. Uang hasil penjualan diberikan ke sang nenek.

Duduk di bangku SMP, kehidupan Suparno tak berubah banyak. Malah makin berat. Dia berjalan 14 km untuk sampai ke SMP Gajah Mungkur setiap hari. Bukan dengan sepeda, melainkan berjalan kaki. Punya sepatu, tapi jarang dipakainya. Alasannya, ingin sepatunya awet. Hanya dipakai saat tiba di sekolah.

Lulus SMP, Suparno melanjutkan sekolah di Ibukota. Orangtuanya mengajak dia merantau demi mendapatkan kerja. Di sela kegiatan sekolahnya, Suparno menyempatkan diri bekerja serabutan.

Keuletan Suparno menular sampai dewasa. Hingga mengantarkannya bekerja di perusahaan minyak asing. Bukan sebagai pegawai kantoran. Suparno hanya menjadi pekerja rendahan.

Dikenal jujur dan ulet, sifat Suparno memikat salah satu petinggi perusahaan minyak pelumas mesin. Suparno ditawari pekerjaan lebih baik. Menjadi tenaga pemasaran. Karena prestasinya yang membanggakan, dalam waktu singkat dia sudah menduduki posisi cukup tinggi sebagai manager.

Sesudah 13 tahun bekerja di perusahaan tersebut, Suparno memutuskan berhenti dan banting setir menjadi pengusaha. Dia pun meniti bisnisnya dari nol hingga sukses seperti saat ini.

***

Kini Istana Negara para Lansia itu sudah berdiri. Tepat jam 7 malam pada 17 Agustus lalu, Parnaraya diresmikan. Bangunan ini akan menjadi pelayanan penghormatan dan santunan terhadap orang tua lansia yang telah berusia 70 tahun, pertemuan dan pembinaan yatim piatu, serta kegiatan rutin veteran se-Wonogiri dan se-Solo raya.

Suparno juga berharap Istana Panaraya dapat menjadi tempat edukasi usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat, pelestarian alam khususnya penangkaran burung, setra sentra penjualan produk asli wonogiri.

Meski hanya digunakan sebagai tempat berkumpul para lansia di waktu-waktu tertentu, Suparno tidak menutup Istana Parnaraya. Warga diizinkan berkunjung ke istana itu. Tetapi, nantinya mereka harus membayar tiket masuk.

Dana itu tak masuk ke kantong Suparno. Hasil penjualan tiket dipakai buat pengelolaan. Sebesar 90 persen akan lari untuk Lansia dan 10 persen untuk pendapatan desa.

Istana tersebut sejatinya dibangun Suparno untuk tempat tinggalnya nanti. Saat ini, dia bersama keluarganya masih harus merantau. Jika masa senja tiba, dia ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan kembali tinggal di desa yang tenang.

Beri Komentar