(Foto: Shutterstock)
Dream - China relatif bisa dikatakan mulai bisa mengendalikan penularan virus corona baru, Covid-19, yang sempat melumpuhkan negaranya. Di saat China lumpuh, banyak negara meremehkan kemampuan virus ini menyebar ke wilayahnya.
Kurangnya persiapan pencegahan membuat banyak negara kini dilanda kepanikan dengan kemunculan kasus virus corona. Beberapa langsung memberlakukan kebijakan lockdown.
Penyebaran virus corona Covid-19 dari China ke seluruh dunia ini menarik perhatian ilmuwan lintas negara. Temuan terbaru diungkapkan sebuah studi bersama oleh para ahli dari China, Amerika Serikat, Inggris dan Hong Kong melalui sebuah riset pemodelan yang dipublikasikan pada hari Senin, 16 Maret 2020, di majalah Science.
Infeksi Covid-19 yang tidak tercatat, yaitu mereka yang tidak menampakkan gejala parah, diduga menjadi penyebab terbesar penyebaran virus di seluruh China pada Januari tak bisa dikendalikan.
Para pakar dari beberapa perguruan tinggi seperti Columbia University, University of Hong Kong, Imperial College London, Tsinghua University, dan University of California, bekerja sama dalam melakukan riset pemodelan itu.
Pemodelan tersebut menyebutkan bahwa diperkirakan sebanyak 86 persen penularan tidak tercatat di daratan China terjadi dua minggu sebelum kota Wuhan yang menjadi pusat penyebaran Covid-19 ditutup secara total pada 31 Januari 2020.
Meski tingkat penularan kasus yang tidak tercatat tidak sehebat yang terkonfirmasi, tapi menjadi agen penyebar bagi 79 persen kasus yang tercatat.
" Agen penyebar yang tidak tercatat ini sering mengalami gejala ringan, sedang, atau tanpa gejala sama sekali sehingga tidak diketahui jika mereka sebenarnya sudah terinfeksi," ungkap studi tersebut.
" Banyaknya jumlah kasus yang tidak tercatat ini, yang sebagian besar tidak menunjukkan gejala parah, telah memfasilitasi penyebaran virus secara cepat ke seluruh China," tambah para pakar di studi itu.
Wabah Covid-19 yang dimulai di Wuhan pada bulan Desember 2019 telah menjadi pandemi global, dengan lebih dari 183.000 orang terinfeksi dan lebih dari 7.100 tewas di seluruh dunia.
Studi tersebut juga membandingkan penyebaran virus Covid-19 di China dalam dua minggu sebelum dan setelah Wuhan ditutup. Disebutkan bahwa tingkat penularan kasus yang tidak tercatat 'jauh berkurang' setelah pembatasan perjalanan diberlakukan.
Selain itu, dengan model pemutusan 98 persen perjalanan masuk dan keluar dari Wuhan, serta pembatasan 80 persen perjalanan antar kota di China, para peneliti menemukan bahwa waktu yang dibutuhkan pasien dari terinfeksi dan kemudian menunjukkan gejala pertama telah berkurang dari 10 hari menjadi 6 hari.
" Individu yang menunjukkan gejala biasanya tidak berpindah antar kota. Sedangkan individu yang tidak menunjukkan gejala umumnya melakukan perjalanan seperti biasa karena mereka tidak menyadarinya. Mereka dapat menyebarkan virus selama melakukan perjalanan," kata Li Ruiyun, peneliti di Imperial College London yang menjadi penulis utama studi ini.
" Karena itu pembatasan perjalanan sangat berguna untuk mengurangi atau bahkan mencegah penyebaran lebih lanjut," tambah Ruiyun.
Sumber: SCMP
Dream - Studi baru menyebutkan virus Covid-19 yang menyebabkan penyakit corona baru mungkin memiliki satu kelemahan. Kecepatan penularan virus yang telah jadi pandemik global ini diyakini melemah pada suhu tinggi.
Keyakinan itu juga diyakini sejumlah negara yang memperkirakan Covid-19 akan hilang jika cuaca mulai menghangat. Seperti umumnya yang terjadi pada virus yang menyebabkan flu biasa dan influenza.
Tetapi para ahli di China memperingatkan agar tidak terjebak pada pikiran bahwa Covid-19 akan hilang mengikuti perubahan musim.
Studi yang dilakukan peneliti dari Universitas Sun Yat-sen di Guangzhou, Provinsi Guangdong, itu bertujuan untuk mengetahui apakah penyebaran Covid-19 bisa dipengaruhi oleh perubahan musim dan suhu.
Menurut studi yang dipublikasikan pada bulan lalu itu, virus yang menyebabkan Covid-19 sangat sensitif terhadap suhu tinggi. Sehingga penyebarannya sedikit lambat di negara-negara yang lebih hangat. Namun, di negara-negara dengan iklim yang lebih dingin terjadi hal yang sebaliknya.
" Sebagai hasilnya, negara dan wilayah dengan suhu yang lebih rendah disarankan untuk mengadopsi langkah-langkah pencegahan dan penanganan yang lebih ketat," kata sudi tersebut.
Sementara itu, studi terpisah yang dilakukan ahli epidemiologi, Marc Lipsitch dari T.H. Harvard Chan School of Public Health, menemukan bahwa penularan virus corona dan pertumbuhan infeksinya yang cepat bisa terjadi dalam berbagai kondisi cuaca.
" Cuaca saja, [seperti] peningkatan suhu dan kelembaban saat musim semi dan musim panas di Belahan Bumi Utara, tidak akan serta merta menyebabkan penurunan jumlah kasus corona tanpa melakukan intervensi terhadap kesehatan masyarakat secara luas," tulis studi yang dipublikasikan pada Februari lalu.
Studi dari Universitas Sun Yat-sen mengungkapkan analisis yang mengindikasikan bahwa jumlah kasus virus corona naik sejalan dengan suhu rata-rata hingga maksimal 8,72 derajat Celcius dan kemudian menurun.
" Temperatur sangat berpengaruh pada lingkungan hidup seseorang dan memainkan peran penting terhadap kesehatan masyarakat dalam hal penanganan dan pengendalian epidemi," tulis studi itu.
Sementara pakar lainnya, Hassan Zaraket, Asisten direktur di Center for Infectious Diseases Research di American University of Beirut, mengatakan ada kemungkinan bahwa cuaca yang lebih hangat dan lebih lembap akan membuat virus corona kurang stabil sehingga penularannya lambat.
" Kami masih mempelajari tentang virus ini. Tetapi berdasarkan apa yang kami ketahui tentang virus corona lain, kami bisa berharap. Ketika suhu memanas, stabilitas virus akan menurun," katanya.
Hassan menambahkan jika cuaca bisa membantu mengurangi transmisi dan stabilitas lingkungan dari virus, maka kemungkinan bisa memutus rantai penularan Covid-19.
Mike Ryan, direktur eksekutif program kedaruratan kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), juga memperingatkan agar tidak menganggap epidemi akan mereda secara otomatis di musim panas.
" Kita harus mengasumsikan bahwa virus ini akan terus memiliki kapasitas untuk menyebar. Adalah harapan palsu untuk mengatakan Covid-19 akan hilang seperti flu biasa. Kita tidak bisa membuat asumsi itu. Tidak ada buktinya," katanya.
(Sah, Sumber: SCMP)