Ilustrasi Kebotakan (Shutterstuck)
Dream - Penelitian yang dijalankan pakar universitas terkemuka di Spanyol mendapat temuan terkait potensi penyebaran Covid-19 pada kaum adam. Penelitian tersebut menyatakan pria botak berisiko serius tertular virus corona dibandingkan laki-laki berambut.
Korelasi keduanya cukup kuat sehingga para peneliti menyarankan kebotakan harus dianggap sebagai faktor risiko serius yang disebut " tanda Gabrin" . Diberi nama tersebut lantaran merujuk pada Fran Gabrin, seorang dokter di Amerika Serikat pertama yang meninggal karena virus corona dan berkepala botak.
Dilansir dari Metro, Profesor Carlos Wambier dari Brown University melakukan dua penelitian di Spanyol dan menemukan jumlah pria dengan kebotakan tidak proposional lebih rentan terkena virus corona.
Studi pertama tersebut menemukan 71 persen dari 41 pasien yang dirawat akibat Covid-19 di rumah sakit rujukan di Spanyol memiliki kebotakan. Adapun studi kedua menyebutkan 79 persen dari 122 pasien yang dirawat di rumah sakit Madrid memiliki kebotakan.
" Kami benar-benar berpikir bahwa kebotakan adalah prediktor sempurna dari tingkat keparahan,” kata Wambier, yang menjadi penulis utama di dua studi tersebut.
Pasien berjenis kelamin pria memang diketahui lebih rentan mengalami gejala Covid-19 ketimbang pasien wanita. Sampai sekarang, para ilmuwan tidak mengetahui secara pasti mengapa hal tersebut terjadi.
Ada beberapa faktor yang dicurigai mengapa pria lebih rentan ketimbang wanita. Faktor-faktor tersebut antara lain gaya hidup, merokok, dan perbedaan sistem kekebalan tubuh.
Para ilmuwan percaya pria lebih rentan karena memiliki androgen. Hormon seks pria seperti testosteron, yang dapat berperan tidak hanya dalam kerontokan rambut, tetapi juga dalam meningkatkan kemampuan virus corona untuk menyerang sel.
" Kami pikir androgen atau hormon pria jelas merupakan pintu gerbang bagi virus untuk memasuki sel kita," kata Wambier.
Para peneliti saat ini sedang menguji obat-obatan guna memblokir efek androgen. Tujuannya untuk memperlambat virus corona agar sistem kekebalan punya cukup waktu mengalahkannya.
Sebuah studi dari Italia, misalnya, mendapat temuan dari 9.280 pasien pria dengan kanker prostat yang menggunakan terapi androgen-deprivation atau obat-obatan yang mengurangi kadar testosteron, punya risiko infeksi corona yang lebih rendah dibandingkan pria dengan penyakit yang sama yang menggunakan obat lain.
" Namun, sebagian besar penelitian sejauh ini berada di laboratorium, dan ada bukti yang bertentangan tentang apakah terapi hormon memiliki dampak yang sama di paru-paru seperti pada sel-sel prostat," kata Kepala Kebijakan di Prostate Cancer Inggris, Karen Stalbow.
" Sekarang ada beberapa studi klinis mulai yang berharap untuk mengatasi masalah ini, tetapi lebih banyak bukti diperlukan sebelum kita dapat mengetahui apakah terapi hormon ini akan menjadi pengobatan yang efektif untuk Covid-19," pungkasnya.
Sumber: Metro.co.uk
Dream - Sebuah studi bersama yang dilakukan oleh para peneliti dari China dan Amerika Serikat menemukan bahwa virus corona baru dari jenis SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19 bisa menyebabkan kerusakan pada testis tanpa perlu masuk ke dalam selnya.
Para peneliti menemukan bahwa virus corona dapat menyerang sel-sel yang menghasilkan sperma di dalam testis, mungkin dengan cara mengikat enzim pada permukaan selnya.
Tetapi para peneliti mengatakan mereka tidak menemukan gen virus di dalam sampel air mani dan jaringan testis pasien Covid-19.
Ini menguatkan bukti bahwa virus corona penyebab Covid-19 tersebut tidak menular melalui transmisi seksual.
" Dengan demikian, aktivitas donor sperma atau rencana kehamilan masih bisa terus berjalan di tengah proses pemulihan pasien Covid-19," kata para peneliti.
Studi ini telah telah mendapat peninjauan dan dipublikasikan di European Urology Focus pada hari Minggu, 31 Mei 2020.
Dalam studi terbaru ini, sampel dari 11 pasien yang meninggal akibat Covid-19 di Wuhan dianalisis oleh tim dari China dan AS.
Dari China dipimpin Dr Nie Xiu dari Universitas Sains dan Teknologi Huazhong, Wuhan. Sementara tim dari AS dipimpin oleh Ming Zhou, seorang profesor di Pusat Medis Tufts di Boston.
Mereka menguji gen virus dalam jaringan yang terlibat dalam produksi sperma dan testosteron. Mereka juga menguji kerusakan yang disebabkan oleh virus terhadap alat reproduksi pria.
Dari hasil penelitian, hanya satu sampel yang menunjukkan jejak virus. Sampel itu dari pasien dengan viral load yang tinggi.
" Hasil tersebut bisa jadi karena virus hadir dalam darah daripada di jaringan testis," kata studi itu.
Namun, lebih dari 80 persen sampel menunjukkan adanya kerusakan signifikan pada tubulus seminiferus - bagian testis di mana sperma diproduksi.
Sel-sel yang membentuk tabung kecil ini mengalami 'perubahan mirip balon'. Mereka menjadi jauh lebih besar dari sel yang sehat. Beberapa juga rusak sampai-sampai produksi sperma bisa terpengaruh.
Advertisement
Psikolog Ungkap Pentingnya Pengawasan Orangtua Saat Anak Main Game
Penampilan Alya Zurayya di Acara Dream Day Ramadan Fest 2023 Day 6
Potret Beda Pesta Pora 2025, Ada Jumatan Bareng Dipimpin Rhoma Irama
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR
Tak Hanya di Indonesia, 7 Mitos Aneh di Berbagai Belahan Dunia
Kebiasaan Pakai Bra saat Tidur Berbahaya? Cari Tahu Faktanya