Saat Insinyur Minyak Negara Muslim Jadi Desainer Hijab

Reporter : Sandy Mahaputra
Rabu, 16 Juli 2014 08:45
Saat Insinyur Minyak Negara Muslim Jadi Desainer Hijab
Mantan insinyur perminyakan yang kini menjadi desainer ini, merupakan salah satu perancang busana yang berhasil mencuri pasar busana muslim dengan karya-karyanya.

Dream - Teknik perminyakan ternyata memiliki kemiripan dengan teknik merancang busana. Setidaknya itu pendapat perancang busana Libya, Fadwa Baruni, yang baru saja meluncurkan busana kaftan Ramadan.

Mantan insinyur perminyakan yang kini menjadi desainer ini, merupakan salah satu perancang busana yang berhasil mencuri pasar busana muslim dengan karya-karyanya.

Pada tahun 2010, Bloomberg memperkirakan industri fashion Muslim global mencapai US$96 miliar, jika setengah dari Muslim dunia menghabiskan US$120 setahun untuk belanja pakaian. Baruni percaya bahwa sejak 2010 pasar busana Islam telah berkembang secara pasti.

Desain Baruni dapat ditemukan di seluruh wilayah Teluk karena kaftan sangat populer di antara wanita Teluk. " Mereka pasti menyukai kaftan dan mereka sering memakainya," kata Baruni kepada Al Arabiya News.

Tapi, bisakah daya jual kaftan terpengaruh oleh tren yang sedang berlangsung saat ini, yakni haute couture alias busana yang hanya dibuat berdasarkan pesanan? Pasalnya, bisnis busana haute couture senilai US$930 juta pada 2011 merupakan segmen terbesar dari industri barang mewah. Itu juga mewakili 42 persen dari keseluruhan penjualan barang mewah di Uni Emirat Arab (UEA).

Pembeli terbesar haute couture adalah negara-negara Teluk, terutama jenis gaun perempuan dan rok, kata Euromonitor International dalam sebuah laporan tahun itu. Namun, perancang busana kawakan ini yakin waktu akan berubah.

" Selama beberapa tahun terakhir, saya mulai melihat wanita-wanita kaya Teluk sudah bisa menerima desainer lokal dan itu terus meningkat. Sebelumnya, wanita kaya di Teluk hanya ingin memakai merek internasional yang sudah punya nama," katanya.

Kreasi rancangan Baruni makin populer karena selalu memprioritaskan warisan dan budaya lokal. Dikatakannya, wanita di kawasan Teluk masih suka mengenakan gaun panjang dengan lengan panjang.

" Kaftan adalah bagian dari warisan dan budaya kita. Itu bagus dengan menjadi bangga dengan budaya kita dan memamerkannya dengan cara yang gaya," tambahnya.

Tapi, apakah merancang busana sopan menghambat kreasi Baruni? " Merancang pakaian sopan bukan pembatasan, itu gaya," ujar Baruni. Menurut Baruni, merancang gaun pendek tanpa lengan justru jauh lebih sulit daripada merancang sebuah gaun panjang berlengan.

" Tapi saya menyukai tantangan. Jadi saya selalu berusaha menyesuaikan dengan budaya kita," katanya.

Kesulitan perancang busana di UEA, lanjut Baruni, adalah kurangnya ketersediaan bahan baku kain dan memenuhi tenggat waktu yang ketat. Untuk mengatasi kekurangan bahan kain, Baruni mengambil dari negara-negara seperti Jepang, Prancis dan favoritnya, India.

" Ini tentang brand. Nama dan label saya. Saya harus menjaga reputasi," tambah Baruni. Dia terlibat dalam setiap aspek proses pembuatan busana, termasuk urusan membeli jarum. Agar desain uniknya bisa maju, Baruni berencana untuk meluncurkan kreasinya ke luar wilayah Teluk. (Ism)

Beri Komentar