`Pengantin Dijual`

Reporter : Eko Huda S
Jumat, 15 April 2016 13:30
`Pengantin Dijual`
Sonita nyaris dijual oleh orang tuanya, untuk jadi pengantin. Kala itu, usianya baru 10 tahun.

Dream - Sonita Alizadeh. Dialah wanita yang gigih memerangi pernikahan anak melalui lagu rap. Melalui lirik-lirik yang diucapkan cengan cepat itu, dia menyampaikan jerit hati para gadis Afghanistan yang dipaksa menikah di usia anak-anak.

Syair lagu Sonita bukan sekadar bualan. Untaian kata itu merupakan kumpulan pengalaman nyata dalam hidupannya –dan juga ratusan bahkan ribuan gadis lain di negaranya. Memang, saat usia 10, Sonita nyaris dijual oleh orangtuanya, untuk menikah.

“ Itu masa menyakitkan,” kata Sonita, sebagaimana dikutip Dream dari Huffington Post, Jumat 15 April 2016. “ Aku tak bisa memahami bahwa aku harus melupakan mimpiku.”

Sonita tak hanya sekali mengalami masa pahit. Dia kembali nyaris dijual saat usia 16 tahun. Dia dihargai US$ 9 ribu atau sekitar Rp 118 juta. Kala itu, orangtuanya akan menggunakan uang itu untuk biaya pernikahan saudara lelaki Sonita.

Fenomena pernikahan anak-anak memang marak di Afghanistan. Pengalaman Sonita itu hanya satu di antara ratusan, bahkan ratusan ribu, kisah pernikahan anak-anak di sana.

Dan pernikahan usia anak-anak di dunia memang mengkhawatirkan. Tengok saja data International Center for Research on Woman (ICRW). Sepertiga remaja wanita di negara-negara berkembang menikah sebelum usia 18 tahun.

Data itu juga menunjukkan satu dari sembilan anak-anak perempuan menikah sebelum usia 15 tahun. Pada 2012 –masih menurut data itu, sekitar 70 juta wanita berusia 20 hingga 24 tahun di dunia menikah sebelum usia 18.

Wilayah dengan angka paling tinggi pernikahan anak-anak adalah Afrika Barat dan Sub-Sahara. Sementara, Asia Selatan menjadi kawasan dengan angka pernikahan perempuan di bawah umur paling tinggi.

Kemiskinan dan tingkat pendidikan rendah menjadi pendorong utama fenomena ini. Pernikahan dini sudah dianggap lumrah. Bukan hal tabu lagi.

Padahal, wanita selalu dalam posisi yang lemah. Data ICRW menyebut wanita yang menikah di bawah usia 18 tahun rawan mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Selain itu mengganggu perkembangan wanita. Data ICRW juga mencatat bahwa kehamilan mernjadi salah satu faktor penyebab kematian wanita berusia 15 hingga 19 tahun, yang tidak bisa disepelekan.

Dan di Afghanistan itu, pernikahan perempuan di bawah umur jamak terjadi. Semula, undang-undang pernikahan negara itu mengatur usia minimal perempuan untuk menikah adalah 16 tahun. Baru pada 2014 dinaikkan menjadi usia 18.

Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 40 persen perempuan di Afghanistan menikah di bawah usia 18. Sementara, data UNICEF menyebut satu dari enam perempuan Afghanistan menikah dengan usia di bawah 15 tahun.

Meskipun pernikahan anak di Afghanistan ilegal, fenomena itu masih terjadi secara luas di daerah pedesaan. Banyak keluarga miskin menjual anak perempuan mereka untuk melunasi hutang atau mas kawin.

Di tengah pusaran ‘tradisi’ itulah, Sonita berupaya melawan. Bukan turun ke jalan, menggalang kaum perempuan untuk berunjuk rasa. Bukan pula dengan aksi mogok makan.

Sonita melawan dengan lirik-lirik lagu. Perempuan itu membuat video, menyanyi rap, dengan judul “ Brides for Sale”. Lagu ini berisi tentang pengalaman pahitnya menjadi wanita di negaranya.

“ Aku bingung dengan tradisi masyarakatku. Mereka menjual gadis-gadis untuk uang, tidak ada hak untuk memilih,” demikian lirik lagu Sonita. “ Katakan apa yang bisa aku lakukan untuk membuktikan kepribadianku.”

Video itu kemudian menjadi viral. Sudah hampir dilihat setengah juta orang. Dan tumpahan perasaan Sonita, yang mungkin juga mewakili jerit hati perempuan Afghanistan itu, didengar dunia.

“ Orangtuaku mencoba menjualku,” kata Sonita. “ Aku mencari cara untuk menyebarkan perasaanku, sehingga aku mulai ngerap untuk menyampaikan pengalaman menyakitkan menjadi perempuan.”

Setelah melihat video itu, ibu Sonita akhirnya setuju untuk tidak menjual anaknya untuk menjadi pengantin perempuan. Harapan untuk mendapat pendidikan semakin cerah saat salah satu SMA di Utah, Amerika Serikat, melihat video itu dan menawarinya beasiswa.

“ Ini saat pertamaku di sekolah betulan,” kata dia. “ Pertama kali ini sangat sulit, sebab aku tidak bisa berbahasa Inggris. Aku tahu dua kata: “ hi” an “ bye”. Tapi sekarang mendapat A, dan aku ingin bersekolah ke Harvard.”

Sonita benar-benar prihatin dengan ‘tradisi’ pernikahan anak di negaranya. Dia lebih beruntung dibanding teman-temannya. Dan juga puluhan ribu anak perempuan lain di Afghanistan. “ Teman-temanku, mereka menikah usia 15 tahun,” kata dia.

“ Saya melihat wajah mereka memar. Saya menyadari: ini adalah wajah asli pernikahan anak.”

Sekarang, Sonita mengabdikan hidupnya untuk bersuara, menentang pernikahan anak-anak. “ Pernikahan anak-anak tidak hanya terjadi di Afghanistan. Ini terjadi di dunia.”

“ Aku di sini untuk menyampaikan perasaan yang tidak bisa dibagi oleh gadis-gais itu,” tambah dia.

Menurut Sonita, harus dilakukan banyak pendekatan untuk menghentikan pernikahan anak-anak. Pertama, keluarga harus tahu nasib yang dialami putri-putri mereka jika menikah di usia anak-anak.

Ke dua, komunitas dan pemimpin agama harus mengubah tradisi. Terakhir, pemerintah harus mendukung program untuk menghapus pernikahan anak-anak.

Dan Sonita ingin menjadi pengacara untuk membantu membela hak-hak wanita korban pernikahan anak-anak. “ Aku ingin kembali ke negaraku untuk membantu gadis-gadis lain,” kata dia.

“ Kita harus mendukung gadis-gadis untuk melihat nasib mereka sendiri, untuk memiliki pandangan terhadap masa depam mereka sendiri,” pungkas Sonita. (Ism)

Beri Komentar