Kisah Samsul, Bocah Pedagang Bakso Cilok Keliling

Reporter : Eko Huda S
Selasa, 15 Desember 2015 08:03
Kisah Samsul, Bocah Pedagang Bakso Cilok Keliling
Tak ada waktu bermain untuk Samsul. Sehari-hari, dia harus memikul gerobak berkeliling kampung untukmenjajakan bakso cilok.

Dream - Bocah dalam foto ini bernama Samsul. Setahun lalu, dia masih duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar. Namun dia sudah harus bekerja untuk membantu ekonomi keluarga.

Samsul memang masih kanak-kanak. Saat ini baru menginjak 11 tahun. Tapi tak seperti kebanyakan anak-anak. Dia harus merelakan masa anak-anaknya diisi dengan kerja keras.

Hampir tak ada waktu bermain untuk bocah asal Desa Bumijawa, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. “ Mainan” sehari-harinya adalah gerobak pikul tempat bakso cilok dagangan.

Dengan beban di pundak itulah Samsul berjalan bersama sang adik Zidan. Dia menjajakan bakso cilok keluar masuk kampung.

Jika beruntung, dia bisa membawa pulang Rp12 ribu. Uang itu dia gunakan untuk membantu nafkah orangtua dan tiga adiknya. Baca juga kisah ini pada tautan ini. (Ism) 

1 dari 4 halaman

Perjuangan Siti, Bocah 7 Tahun Penjual Bakso Keliling

Perjuangan Siti, Bocah 7 Tahun Penjual Bakso Keliling © Dream

Dream - Bocah itu terlihat payah. Tangan mungilnya harus menenteng beban berat. Termos nasi di sebelah kanan, ember berisi air di sebelah kiri. Kaki ringkihnya harus melangkah menyusuri jalanan kampung. Dari siang hingga petang. Menjajakan bakso dalam termos yang dia bawa dengan susah payah itu.

Dialah Siti. Bocah asal Desa Karangkamulyan, Kecamatan Cihara, Kabupaten Lebak, Banten Selatan. Dua tahun silam, usianya baru tujuh tahun. Namun dia harus keluar masuk kampung menjual bakso untuk menopang ekonomi keluarga. Dan rutinitas itu dia lakukan saban hari, sepulang sekolah.

Siti harus turut bekerja keras menopang ekonomi keluarga. Sang ayah telah wafat saat usia Siti baru dua tahun. Sementara sang ibu hanya buruh cangkul dengan upah ala kadarnya. Untungnya Siti bukan model bocah cengeng. Kondisi itu telah menempanya menjadi sosok anak perkasa. Siti juga merupakan bocah yang tabah menghadapi kondisi ini.

Usaha bakso itu bukan milik keluarga Siti. Dia hanya membantu menjualnya dengan sistim upah. Biasanya Siti berkeliling menjual bakso selama empat jam sehari. Dua tahun silam, upahnya hanya Rp 2.000 saja. Itu kalau semua bakso yang dibawa habis. Jika masih tersisa, maka dia hanya mendapat upah separuhnya saja.

Di sepanjang jalan, Siti harus berteriak-teriak menjajakan bakso. Jika ada yang membeli, dia akan meracik bakso itu pada sebuah mangkok yang diletakkan di lantai. Sebab dia tak membawa gerobak, meja, ataupun kursi.

Terkadang, jika ada orang yang membeli baksonya, Siti ingin ikut mencicipi. Namun sayang, dia hanya bisa menelan ludah. Sebab, dia sadar tak akan mampu menebus setiap bakso yang dia makan. Sehingga, dia harus puas dengan aroma bakso yang begitu menggoda. Miris.

2 dari 4 halaman

Kegigihan Nenek Penjual Sapu Ijuk

Kegigihan Nenek Penjual Sapu Ijuk © Dream

Dream - Siang itu di Pasar Godean, Sleman, Yogyakarta terlihat sosok wanita paruh baya tengah duduk di sisi pojok rumah makan yang menyajikan ayam goreng. Usianya yang tak muda lagi masih terus mengais pund-pundi rupiah demi kelangsungan hidup.

Dibawanya 3 ikat sapu ijuk dengan tampilan usang tanpa alas kaki bak pengemis. Kondisi tubuhnya yang lemah tak berdaya sontak membuat orang lain iba melihatnya.

Seorang ibu bersama puterinya usai menyantap ayam goreng lezat di warung makan itu, memberikan uang recehan Rp 1000 pada Nenek itu. Wajah kecewa serta gelengan kepala seakan memberitahu bahwa dia bukanlah seorang pengemis.

Penasaran dengan kisah Nenek penjual sapu ijuk? yuk simak kisahnya di sinihttp://bit.ly/1utaVTS 

3 dari 4 halaman

© Dream

Dream - Liu Yiting masih anak-anak. Usianya baru enam tahun. Namun Liu harus menghabiskan hari-harinya dengan menyapu jalanan. Membantu sang nenek bekerja. Padahal anak-anak seusianya bersekolah.

Dikutip Dream dari Shanghaiist, Jumat 5 Desember 2014, sebenarnya sang kakek telah mendaftarkan Liu ke sebuah sekolah. Namun sayang, sekolah menolak bocah asal Jining, Shandong, China, ini. Sebab, sang kakek tak punya hak asuh dan tak bisa menunjukkan dokumen jaminan sosial orangtua Liu.

Di kota itu, Liu memang tinggal dengan kakek dan neneknya. Orangtuanya telah bercerai empat tahun silam. Sang ayah bekerja di Shenzhen setahun lalu. Sementara sang ibu telah hilang kontak empat tahun silam, sesaat setelah bercerai dengan ayah Liu.

Setelah ditolak oleh sekolah, Liu ikut membantu kakek dan neneknya menyapu jalanan dan tempat umum lainnya. Dia rela membantu sang nenek melakukan pekerjaan ini. Mereka bisa mengumpulkan upah sebesar 3 ribu RMB atau sekitar Rp 6 juta.

Liu merupakan contoh kecil saja masalah anak di China. Menurut laman Shanghaiist, masalah ini sudah jamak terjadi karena proses modernisasi di China. Banyak orangtua yang meninggalkan anak mereka untuk bekerja di kota.

Anak-anak yang ditinggal bekerja itu rata-rata tinggal bersama sang kakek atau nenek. Sementara, kakek dan nenek mereka hanya memiliki pendidikan yang rendah. Sehingga perkembangan mental anak-anak ini mengkhawatirkan. Kasus ini banyak disorot oleh media setempat.

4 dari 4 halaman

Aki Penjual Telur, Meski Renta Tak Pernah Meminta-minta

Aki Penjual Telur, Meski Renta Tak Pernah Meminta-minta © Dream

Dream - Ini sebuah pengorbanan hidup seorang kakek penjual telur ayam keliling di daerah Pasir Kuda, Bogor. Usianya kisaran 80 tahun. Karena umur yang sudah terbilang tua itu dia dipanggil Aki, bahasa sunda yang artinya Kakek.

Sekujur tubuhnya berkerut alias keriput. Rambut berselimut uban. Langkahnya lambat. Bungkuk dan harus berpegang pada pagar-pagar rumah orang. Ya, kakek tua itu masih bekerja.

“ Endhog ayam …. ayam endhog ….” teriak Aki menjajakan dagangannya. Suaranya juga pelan tidak terlalu keras. Baju dan pakaian Aki sudah lusuh. Aki juga hanya beralaskan sandal jepit yang lusuh dan kotor.

Aki punya beberapa anak. Tapi dia tidak mau menggantungkan hidupnya pada orang lain. Dia mencari uang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Telur ayam dijual dengan harga Rp. 1000 per butir. Dan dia dapatkan telur itu dari orang-orang di kampungnya. Untung yang didapat tidak seberapa dibandingkan perjuangannya keliling kampung dengan jalan kaki hampir seharian.

Meski hidup pas-pasan dan sudah tua, dia tidak ingin meminta-minta. Aki masih berjualan. Kalau tidak ada telur ayam yang dijual, dia jajakan sapu lidi. Seperti apa perjuangan Aki?  klik di sini (Ism)

Beri Komentar