Saksi Bisu Perjuangan Umat Islam di Cikini

Reporter : Muhammad Ilman Nafi'an
Sabtu, 18 Juni 2016 07:02
Saksi Bisu Perjuangan Umat Islam di Cikini
Masjid ini sempat menjadi basis perjuangan umat Islam Cikini melawan pemerintah Hindia Belanda.

Dream - Wajah Masjid Al Makmur di Jalan Raden Saleh, Cikini cukup uzur, namun begitu kokoh. Kaligrafi syahadat membentuk lambang bulan bintang semakin menguatkan citra kewibawaan masjid tersebut. Setiap mata memandang akan merasa takjub dengan kekokohan bangunan peninggalan Raden Saleh Sjarif Boestaman.

Raden Saleh merupakan seniman Jawa yang menguasai sebagian besar tanah di kawasan Cikini. Dia mendirikan masjid tersebut bagi kaum Muslim di sekitar rumahnya pada 1840, tepat di sisi Kali Ciliwung.

Saksi Bisu Perjuangan Umat Islam di Cikini

Mantan Ketua Pengurus Masjid Cikini Al Makmur, HM Husni menceritakan, Raden Saleh tidak mendirikan masjid itu sendirian. Dia melibatkan sejumlah tokoh Islam dalam prosesi pembangunannya.

Saksi Bisu Perjuangan Umat Islam di Cikini

Ketika Raden Saleh wafat pada 1906, masjid ini sempat dimiliki oleh seorang saudagar keturunan Arab Sayed Abdullah bin Alwi Alatas. Hal itu diperkuat dengan putusan pengadilan Nomor 694 tertanggal 25 Juni 1906.

Pada 1923, Sayed Abdullah bin Alwi Alatas menjual tanah beserta bangunan peninggalan Raden Saleh kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Hal itu ternyata justru memicu gesekan antara umat Islam dan Kristen.

" Sempat ada gejolak saat itu, karena warga sekitar Cikini kala itu sudah merasa memiliki masjid kemudian harus dipindahkan (digusur), karena tempat itu mau dijadikan gereja," kata Husni saat berbincang dengan Dream, Jumat, 17 Juni 2016.

Rencana itu memicu perlawanan umat Islam di Jawa. Sejumlah tokoh nasional seperti HOS Tjokroaminoto, KH Mas Mansyur, H Agus Salim, Abikoesro Tjokrosoeyono berjuang mempertahankan status masjid tersebut.

Saksi Bisu Perjuangan Umat Islam di Cikini

Sayangnya, perlawanan kandas dan masjid terpaksa harus dipindah. Saat itu, proses pemindahan digotong oleh warga Cikini lantaran bangunan masjid masih terbuat dari kayu.

" Masjid ini dulunya bukan di sini, kurang lebih 80 meter dari sini, dipindahin sama warga, katanya yang mindahin hampir sekampung. Dulu kan masjid masjid terbuat dari kayu, jadi masih bisa buat dipindahin," ujar Husni.

Gejolak itu sempat redam. Beberapa tahun kemudian, perhatian umat Islam tertuju pada pergerakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kala itu suasana begitu genting.

Di tengah konsentrasi menghadapi PKI, umat Islam Cikini tersentak. Penyebabnya, masjid diambil alih oleh Dewan Gereja Indonesia pada 1964 dengan cara mensertifikatkan tanah itu tanpa sepengetahuan pengurus.

Tidak terima dengan langkah Dewan Gereja Indonesia, umat Islam melakukan perlawanan dengan pelbagai cara. Salah satunya dengan menempuh jalur hukum.

Setelah berjuang hingga puluhan tahun, pada 1991, tanah Masjid Cikini Al Makmur dikembalikan kepada umat Islam melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta tertanggal 24 Mei 1991. Gubernur DKI saat itu, Wiyogo Atmodarminto mewakili Pemerintah Republik Indonesia menyerahkan sertifikat tanah di hadapan jemaah Masjid Cikini Al Makmur.

Saksi Bisu Perjuangan Umat Islam di Cikini

Kini, Masjid Cikini Al Makmur telah mengalami perluasan tanah, tetapi bangunan aslinya tetap dipertahankan. Pemerintah kemudian menetapkan masjid ini sebagai salah satu benda cagar budaya.

(Ism, Laporan: Ilman Nafian)

Beri Komentar