Mbah Saleh (Instagram @cakmoko)
Dream - Tubuh Mbah Saleh terlihat ringkih. Kulit yang membungkus sekujur badan sudah kisut. Seluruh rambut sudah memutih pula. Tapi Anda layak kagum pada pria ini. Mengapa?
Lihatlah foto yang terpajang di akun Instagram @ketimbang.ngemis.jakarta. Di usia serenta itu, kakek ini masih berjuang untuk mencari nafkah. Dia berdagang buah-buahan.
Pisang dan nangka. Itulah buah-buahan yang dia dagang saban hari. Tentu tak mudah bagi orang seuzur itu. Dia harus memikul beban dua keranjang buah dari rumah ke lokasi jualan.
“ Saya bertemu saat dia sedang jualan di daerah Cinere, Depok, di Jalan Bandung pas turunan. Katanya dia tinggal di daerah Jalan Bayem,” tulis akun @cakmoko, yang mengunggah foto Mbah Saleh, sebagaimana dikutip Dream, Minggu 27 Desember 2015.
Menurut @cakmoko, pendengaran Mbah Saleh sudah berkurang. “ Jadi kalau saya bicara harus sangat dekat, baru dia bisa mendengarnya. Suaranya juga sudah tidak jelas dan katanya juga penglihatannya sudah terasa gelap.”
Mbah Saleh menjajakan buah yang dia ambil dari pedagang lain. Pada rezeki berdagang itulah dia bergantung. Jika tak berjualan, dia pasti tak bisa makan.
“ Dia bilang kalau nggak dagang dia tidak bisa membeli makanan karena kakek ini tinggal sendirian, ketika saya bertanya ke mana anak dan istrinya, dia mengtakan istrinya dan anak satu satunya sudah meninggal.”
Mungkin, sebagian orang yang berada dalam posisi seperti Mbah Saleh akan menyerah. Dengan gampang tangan menengadah. Tapi kakek yang satu ini.... Lihatlah... dengan sabar dia tunggui keranjang berisi buah itu. Sepanjang hari, menunggu pembeli...
Dan di samping foto itu, doa netizen mengalir untuk Mbah Saleh...
Dream - Perempuan tua itu sibuk di pinggiran pagar Apartemen Latumeten, Jakarta Barat. Mengurus lapak kecil. Tangan yang sudah keriput itu masih sigap bergerak. Membuka ikatan karung berisi sayur mayur.
Dalam sekejap, aneka sayur itu berpindah tempat. Sudah tertata rapi di lapak beralaskan plastik hitam. Suara serak terus berteriak. Menawarkan dagangan. Seolah tak mau tertinggal roda kehidupan.
Dialah Sunari. Pedagang sayur yang biasa mangkal di situ. Di tempat hunian kelas menengah itu, dia mengadu nasib. Berjibaku semenjak matahari baru menyembul. Bergumul dengan debu dan aroma asap kendaraan bermotor.
Dan hari itu, Senin 21 Desember 2015, dagangan Sunari laris manis. Perempuan separuh abad ini bak kekurangan waktu. Jangankan berleha-leha. Napas panjang pun tak sempat dia hela. Begitu satu pemesan dilayani, pelanggan lain sudah menanti.
Di bawah terik mentari dan guyuran hujan, Sunari memeras keringat. Penat, peluh serta dingin menjadi kawan setia. " Kemarin karena hujan yang beli sepi. Alhamdulillah hari ini dagangan lumayan laku," kata Sunari sambil mengambil obat puyer sakit kepala dari sakunya.
Perempuan dengan kepala ditaburi uban ini memang tengah kurang enak badan. Kemarin, ia tetap berdagang di tengah guyuran hujan lebat. Hanya mengenakan kantong plastik sebagai penutup kepala.
Tubuh rentannya sesekali bergetar menahan dingin. Bibir keriputnya pun bergetar. Matanya nanar. Menunggu satu dua orang membeli dagangannya. Tetap saja sepi pembeli.
" Kemarin karena hujan jadi banyak yang malas keluar. Tapi saya tetap jualan, kalau enggamakan dari mana. Makanya kepala lumayan pusing karena kena hujan," kata Sunari yang berasal dari Indramayu.
Wanita yang hidup sebatang kara ini pertama kali menginjakkan kaki di ibukota saat berusia 12 tahun, bersama suaminya, Aswan. Pasangan muda itu membanting tulang demi mencukupi kehidupan sehari-harinya. Sunari berkerja sebagai pelayan restoran, sedangkan Aswan menarik becak.
" Suaminya paling banyak dapat uang narik Rp 100 ribu. Kalau saya diupah Rp 100 per bulan. Buat bayar kontrakan saja susah, apalagi buat makan," kata Sunari dengan mata berkaca-kaca mengenang.
Hidupnya makin berat setelah sang suami lebih dulu dipanggil sang khalik, setahun lalu. Sulit, tapi Sunari tak menyerah. Ia pantang menerima belas kasihan orang lain, apalagi ngemis. Selama masih punya tenaga dan kesehatan, lebih baik seperti ini, walaupun pendapatan tidak seberapa, begitulah prinsip hidupnya.
Jalan Sunari menyambung hidup tanpa mengemis akhirnya datang dari sebuah komunitas yang eksis di sosial media Instagram, @Ketimbang.Ngemis.Jakarta.
Komunitas itu banyak mengangkat kisah mengharukan dari para manula dan penyandang cacat yang tetap berjuang untuk hidupnya dengan jualan ketimbang mengemis.
Di zaman serba gegas, komunitas ini memanfaatkan sosial media. Biasanya mereka mendapatkan kiriman gambar dari followers via instagram. Dari situ KNJ mulai bergerak terjun ke lapangan untuk memberikan bantuan berupa modal usaha.
Sunari salah satunya. Ia mendapatkan bantuan sebesar Rp500 ribu.
Jakarta sudah temaram. Matahari sudah rebah. Dan Sunari mulai membersihkan lapaknya. Sembari berbenah, wanita yang tak memiliki anak itu mengaku kaget ketika diberikan uang 'cuma-cuma' oleh sekelompok anak muda.
" Mereka datang terus ngasih duit. Saya ga tau siapa, ya saya terima buat modal jualan," kata Sunari yang sedikit lupa peristiwa itu.
Uang itu digunakan Sunari untuk modal jualan sayur, sisanya buat membayar utang. Biasanya, dalam sehari ia membeli Rp 100 ribu hingga Rp 120 ribu di Pasar Jembatan Lima. Untungnya paling banyak Rp 20 ribu.
Baginya, keuntungan itu sangat berarti. Dia dapat membeli makanan dan menyimpan sisanya untuk membayar kontrakan Rp 300 ribu per bulan. Sunari mengaku ikhlas bersyukur dengan apa yang ia miliki sekarang.
Tak lama, Sunari meminta izin untuk pamit pulang. Kepalanya makin sakit, ia ingin segera rebahan di kontrakannya yang berjarak sekitar satu kilo dari tempat ia berdagang.
Dengan badan terhuyung membawa karung sisa sayuran, ia menyusuri
gang sempit bercetak semen. Perlahan Sunari pun menghilang dari pandangan.
Menurut Yona Luverin, juru bicara Komunitas Ketimbang.Ngemis.Jakarta, Sunari adalah sosok perempuan yang bertarung dengan kerasnya kehidupan Jakarta. Hidup jualan sayur tak membuatnya menyerah. Apalagi membuat tangan menengadah. Selama tenaga masih ada, tekad bekerja terus menyala.
" Dia itu hidup sendirian. Kita dapat informasi dari followers. Kita cek ternyata hidupnya sangat menyedihkan. Keuntungan berjualannya kadang cuma Rp 7 ribu sehari. Buat makan saja udah susah. Bahkan sudah sakit-sakitan," cerita mojang Bandung itu kepada Dream.
Kata Yona, Sunari tak mau mengemis yang kemungkinan jauh lebih mudah tanpa harus bersusah payah menawarkan dagangannya. Meski punggungnya sudah membungkuk lantaran tak kuat menahan usia, ia tetap berusaha sekuat tenaga.
Banyak pengalaman luar biasa yang didapat anggota komunitas Ketimbang.Ngemis.Jakarta. Mulai dari diikuti preman saat ingin memberikan bantuan hingga kesulitan mendapatkan alamat rumah target.
Nah bagi kamu yang memiliki jiwa sosial berminat untuk jadi relawan Komunitas Ketimbang.Ngemis.Jakarta, bisa banget! Pendaftaraan akan dibuka dua bulan sekali.
Bagi kamu yang mau jadi donatur atau menyalurkan donasi juga bisa. Caranya Pantengin terus akun @Ketimbang.Ngemis.Jakarta. Siapa lagi yang peduli kalau bukan kita?
Dream – “ Saya nggak mau merepotkan orang. Kalau masih bisa cari makan sendiri lebih baik berusaha.” Kalimat itu tertulis tepat di samping foto nenek renta. Perempuan uzur itu terkulai lemas. Bersandar motor. Di depannya, teronggok keranjang berisi kacang.
Wanita dalam foto itu adalah Mbah Tumirah. Foto itu dibincangkan banyak orang setelah akun@ketimbang.ngemis mengunggahnya ke Instagram. Foto dan kisah hidup wanita berusia lebih dari seabad ini didapat dari media nasional.
Foto nenek asal Sosrowijayan, Yogyakarta, ini menggetarkan. Di usia serenta itu, dia tak mau menyerah. Dia tetap berjuang untuk hidup. Dengan berdagang kacang kering di pasar. Semua pengunjung akun @ketimbang.ngemis pun trenyuh. Hati mereka takjub atas kegigihan Mbah Tumirah.
“ Itu kisah luar biasa,” kata Yona Luverine, yang berkunjung ke akun @ketimbang.ngemis, pada awal Juni yang lalu.
Foto-foto di akun itu rupanya membetot perhatian dara kelahiran Bandung ini. Jemari lentik gadis kelahiran 8 November 1995 ini terus menari di layar ponsel. Menelusur foto-foto lain yang diunggah akun @ketimbang.ngemis.
Rasa penasaran Yona membuncah saat matanya terkunci pada tulisan lain di akun ini. Mata terus dipaku ke layar. Mulut komat-kamit. Melafal kalimat, “ Say no to mengemis.” Kalimat itu berada di bagian atas halaman @ketimbang.ngemis.
Penasaran, Yona menulis komentar di samping foto Mbah Tumirah yang tadi dia lihat. Dia bertanya kepada sang pemilik akun tentang foto-foto yang memenuhi Instagram itu. “ Itulah awal perkenalan saya dengan Rizky Pratama Wijaya, pembuat akun itu,” kenang Yona saat ditemuiDream, Jumat pekan lalu.
Gadis berhijab ini kemudian berkomunikasi dengan Rizky melalui Instagram. Dia bertanya, apa tujuan Rizky membuat akun @ketimbang.ngemis? Mengapa foto yang diunggah kebanyakan pedagang tua? Dan kenapa pula Rizky menulis tagline “ Say no to ngemis” di akun itu?
Melalui percakapan online itu, Yona mendapat jawaban. Akun itu sengaja dibuat untuk mengunggah foto para pedagang kecil yang inspiratif. Melalui foto-foto itu, Rizky mengajak penguna media sosial untuk membeli barang dagangan mereka. Sebagai bentuk apresiasi atas semangat para pedagang yang memilih berjualan ketimbang mengemis.
Dan Yona merasa tertarik dengan konsep Rizky ini. “ Dia ingin ngasih semangat ke anak muda untuk membantu, makanya saya gabung,” ujar mahasiswi yang tinggal di Jakarta ini. Diskusi Yona dengan pemuda Yogyakarta ini terus berlanjut. Melalui Instagram dan juga Line.
***
Seminggu usai perkenalan dengan Rizky, Yona membentuk komunitas Ketimbang Ngemis Jakarta (KNJ). Hari itu, Kamis 18 Juni 2015. “ Mas Rizky mendukung siapa saja yang mau bikin Ketimbang Ngemis regional. Yang penting lapor dulu ke dia agar terkoordinir saja.”
Saat itu pula Yona membuat akun @ketimbang.ngemis.jakarta di Instagram. Semula Yona hanya sendiri. Memfoto pedagang kecil inspiratif yang ditemui dan mengunggahnya ke Instagram. Di samping foto, Yona membubuhkan ajakan untuk membeli dagangan para penjual itu. Sama persis dengan yang dilakukan Rizky pada akun @ketimbang.ngemis.
Semula, hanya itu yang bisa dilakukan oleh Yona. Namun kemudian dia mengajak pengguna media sosial di Jakarta untuk bergabung. Dan rupanya, ajakan itu bersambut. Sejumlah netizenantusias menerima ajakan Yona. “ Sekarang volunter kami yang aktif 60 orang. Banyak yang tanya kapan kami merekrut anggota lagi,” ucap Yona.
Tak ada kantor. Tak ada anggaran pula. Semua dilakukan secara suka rela. Koordinasi melalui media sosial. Pertemuan pun digelar di taman-taman ibukota. Dengan personel itu, akun@ketimbang.ngemis.jakarta semakin dibanjiri foto pedagang-pedagang kecil yang inspiratif.
Lambat laun, keberadaan komunitas ini bergaung di ibukota. Banyak netizen yang berkunjung ke Instagram mereka. Sebagian besar memberi dukungan. Melalui komentar pada setiap foto yang diunggah, para netizen menyatakan siap membantu para pedagang itu melalui komunitas yang dibesut Yona ini.
Dari berbagai saran di Instagram, KNJ membuka rekening. Mereka menampung donasi untuk disalurkan kepada para pedagang yang menjadi target mereka. “ Kami buat rekening atas nama bendahara. Kemudian kami share, yang mau donasi bisa kirim ke rekening itu,” ujar Yona.
Yona dan kawan-kawan juga membagi 60 personel ke dalam lima divisi. Ada tim eksekutor lapangan, humas, perekrut anggota, pencari dana, dan juga dokumentasi. Kelima tim ini bahu membahu. Dari jagat maya, mereka bergerak menggalang bantuan untuk para pedagang kecil di jalanan.
Pembagian tim itu membuat komunitas KNJ makin tertata. Mereka berkumpul saban awal bulan. Membahas rencana untuk 30 hari ke depan. Dalam pertemuan itu, mereka juga membahas para pedagang yang akan menerima bantuan. “ Kami pilih 10 target prioritas. Minggu ke empat kami salurkan donasi.”
KNJ punya kriteria khusus untuk pedagang yang akan menerima bantuan. Mereka memilih pedagang tua. Berusia lebih dari 60 tahun. Pedagang di bawah usia itu bisa mendapat bantuan, tapi yang punya kekurangan fisik. “ Ada pula anak kecil, tapi yang tidak mempunyai tempat tinggal dan dari keluarga tidak mampu,” ujar Yona.
Tak mudah menemukan pedagang sesuai kriteria. Mereka harus berselancar di dunia maya. Mencari-cari info tentang pedagang inspiratif di seputaran Jakarta. Tak jarang mereka menyusuri jalanan, mencari sasaran yang pas. “ Kami pernah menungu tiga jam, tapi ternyata pedagang yang akan kami bantu tak muncul,” kata Yona.
Hampir saban hari anggota komunitas ini bergerak. Baik di media sosial maupun di jalanan ibukota. Tak hanya mencari pedagang yang masuk kriteria, mereka juga giat menghubungi beberapa kalangan. Menggalang dana. “ Sekarang ada tiga donatur tetap. Tiap minggu memberi sumbangan.”
***
Hingga saat ini, kata Yona, KNJ telah beberapa kali menyalurkan bantuan. Jumlahnya berbeda-beda. “ Sampai saat ini sudah proyek ke-4. Sudah 35 orang yang kami bantu,” tutur dia.
KNJ, tambah dia, terus menata komunitas ini. Termasuk merumuskan bagaimana sistim bantuan yang akan diberikan agar lebih tepat sasaran. “ Kami baru menerapkan teknis gimana kita ngasih sesuatu tapi buat umpannya saja, misalnya buat modal usaha. Tapi itu baru akan dilakukan di 2016,” imbuh Yona.
Lebih baik memberi kail daripada ikannya. Pepatah itulah yang dipegang KNJ. “ Misalnya ada ibu-ibu yang jualan di emperan toko gitu, kami bisa bantu bikinin grobak. Tahun 2016 mau menerapkan seperti itu, mudah-mudahan saja,” tambah Yona.
Ya, Jakarta hanya satu contoh saja. Selain Jakarta, komunitas ini juga tumbuh di daerah lain. Terutama kota-kota besar Tanah Air. Setelah Jakarta, kelompok ini muncul di Bandung, Semarang, Surabaya, dan daerah lainnya. “ Kami bikin grup Line di tiap daerah. Siapa yang dari daerah mana, mari kita gabung di situ.”
Dream - Mbah Satinah. Usianya boleh saja senja. Sudah 90 tahun, atau bahkan lebih. Tapi lihatlah semangatnya. Tak kalah dengan anak muda yang masih bertubuh kokoh. Nenek asal Kulonprogo ini masih giat bekerja untuk menyambung hidup.
Sehai-hari, Mbah Satinah bekerja sebagai pemotong batang cabai di Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Dulu, saat masih muda, dia bekerja sebagai kuli panggul di pasar ini. Namun, kini fisiknya tak mampu lagi untuk mengangkat barang berat. Jadi, “ Aku milih yang ringan saja,” tutur dia.
Jarak antara Kulonprogo dan Beringharjo cukup jauh. Oleh karena itu, Mbah Satinah pulang hanya dua minggu sekali saja dalam seminggu.
Sehari-hari, dia menginap di emperan toko bersama beberapa orang yang senasib dengannya. Di sanalah mereka bercengkerama. Mbah Satinah juga menjalankan salat di emperan itu.
Soal penghasilan, tidak menentu. Tapi yang jelas, jauh di bawah upah minimum kota (UMK) Yogyakarta. Namun dia tetap semangat. Tak mau menyerah.
Di pasar inilah keringatnya selalu menetes, sejak usianya masih 10 tahun. Dan dia akan terus bekerja. “ Sampai saya nggak mampu kerja.” Selengkapnya baca di sini. (Ism)
Dream - Siang itu di Pasar Godean, Sleman, Yogyakarta terlihat sosok wanita paruh baya tengah duduk di sisi pojok rumah makan yang menyajikan ayam goreng. Usianya yang tak muda lagi masih terus mengais pund-pundi rupiah demi kelangsungan hidup.
Dibawanya 3 ikat sapu ijuk dengan tampilan usang tanpa alas kaki bak pengemis. Kondisi tubuhnya yang lemah tak berdaya sontak membuat orang lain iba melihatnya.
Seorang ibu bersama puterinya usai menyantap ayam goreng lezat di warung makan itu, memberikan uang recehan Rp 1000 pada Nenek itu. Wajah kecewa serta gelengan kepala seakan memberitahu bahwa dia bukanlah seorang pengemis.
Penasaran dengan kisah Nenek penjual sapu ijuk? yuk simak kisahnya di sinihttp://bit.ly/1utaVTS (Ism)
Dream - Saefullah. Demikian nama bocah ini. Usia baru sembilan. Tapi anak sekecil asal Bandung ini sudah harus merantau, melawan kerasnya ibukota, bersama sang ayah.
Saban hari, Saeful berjualan cobek di sekitar Pangkalan Jati, Pondok Labu, Jakarta Selatan. Sejak mentari muncul, tubuh mungil itu harus memikul tumpukan cobek batu keliling ibukota hingga pukul 22.00 WIB.
Harga cobek yang dijual Saeful adalah rata-rata Rp50 ribu, sedangkan ulekannya dia jual dengan harga Rp10 ribu. Dalam sehari, dia bisa menjual dua cobek. Meski demikian, dia selalu bersyukur dengan apa yang dia dapat itu.
Meski lelah, Saeful selalu menebar tersenyum. Semoga Saeful bisa bersekolah sebagaimana anak-anak lain. Selalu diberi kekuatan untuk menjalani harinya dan kelak dapat meraih masa depan yang gemilang. (Sumber: Komunitas Ketimbang Ngemis)
Advertisement
Keren! Geng Pandawara Punya Perahu Ratusan Juta Pengangkut Sampah
Pakai AI Agar Tak Khawatir Lagi Salah Pilih Warna Foundation
Video Sri Mulyani Menangis di Pundak Suami Saat Pegawai Kemenkeu Nyanyikan `Bahasa Kalbu`
4 Komunitas Jalan Kaki di Indonesia, Perjalanan Jadi Pengalaman Menyenangkan
Mau Liburan? KAI Wisata Tebar Promo HUT ke-16, Ada Diskon Bagi yang Ultah Bulan September
Throwback Serunya Dream Day Ramadan Fest bersama Royale Parfume Series by SoKlin Hijab
Halte TJ Senen Sentral yang Terbakar, Berubah Jadi Halte Jaga Jakarta
Nyaman, Tangguh, dan Stylish: Alas Kaki yang Jadi Sahabat Profesional Modern
Pakai AI Agar Tak Khawatir Lagi Salah Pilih Warna Foundation
Video Sri Mulyani Menangis di Pundak Suami Saat Pegawai Kemenkeu Nyanyikan `Bahasa Kalbu`
4 Komunitas Jalan Kaki di Indonesia, Perjalanan Jadi Pengalaman Menyenangkan