Dream - Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memindahkan Kedutaan Besar AS untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem memicu kemarahan dunia internasional. Trump dituduh menyalahi ketetapan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan Yerusalem berada pada status quo.
Banyak yang menilai Trump berusaha mewujudkan janji kampanyenya ketika maju dalam ajang perebutan kursi AS 1. Saat kampanye, Trump melontarkan janji memindahkan Kedubes AS ke Yerusalem.
Ternyata, janji tersebut bukanlah inisiatif Trump. Sejatinya, presiden AS yang punya kerajaan bisnis menggurita itu hanya melaksanakan rencana yang telah disetujui oleh Kongres AS pimpinan Senator Bob Dole, yang tertuang dalam dokumen berjudul Jerusalem Embassy Act pada 1995.
Undang-undang yang disahkan pada 23 Oktober 2017 tersebut mewajibkan Pemerintah AS untuk menginisiasi dan membiayai pemindahan Kedubes AS untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. UU tersebut memberikan batas waktu sampai 31 Mei 1999.
Majalah TIME melaporkan Presiden AS selalu melakukan peninjauan ulang terhadap rencana itu setiap enam bulan sekali. Langkah tersebut dijalankan oleh presiden mulai Bill Clinton, George W Bush, dan Barrack Obama, namun rencana tersebut selalu ditangguhkan.
Pertimbangannya, jika rencana itu dijalankan dikhawatirkan dapat mengganggu kepentingan keamanan nasional AS. Meski sebenarnya rezim Clinton sepakat jika UU ini diterapkan.
Penangguhan pelaksanaan UU tersebut dilakukan dengan pertimbangan agar kondisi keamanan di Israel diharapkan bisa lebih stabil. Ini mengingat adanya Perjanjian Taba yang berhasil mendorong Israel dan Palestina menyetujui pengaturan tata pemerintahan untuk kawasan Tepi Barat dan Gaza.
Sejak saat itu, UU tersebut selalu menjadi perdebatan di internal AS. Sedangkan keputusan yang diambil Trump dinilai justru mengarahkan AS pada posisi yang membahayakan.
Editor dan Writer New York Times Max Fisher melaporkan selama bertahun-tahun, baik Israel dan Palestina sama-sama mengklaim Yerusalem sebagai ibukota politik masing-masing. Perselisihan ini juga coba diselesaikan melalui perjanjian damai bertahun-tahun lamanya, namun tidak juga menimbulkan kepastian.
Setelah perang Arab-Israel pada 1948, Israel menguasai bagian barat Yerusalem. Tetapi, Israel juga terus melakukan pendudukan di kawasan timur Yerusalem.
Padahal, dalam kesepakatan damai usai perang tersebut disepakati kawasan Yerusalem dibagi menjadi dua. Barat untuk Israel dan timur untuk Palestina.
Sementara Trump hadir melanggar kesepakatan damai tersebut. Banyak pihak menilai Trump menyatakan persetujuannya atas Yerusalem menjadi Ibukota hanya untuk kawasan barat kota itu. Tetapi, melihat langkah Israel yang terus menerus melakukan pendudukan, maka pernyataan tersebut diklaim sebagai persetujuan atas apa yang sudah terjadi.
Sikap Trump terkait status Yerusalem sebagai Ibukota Israel terlihat mendua. Dia tidak benar-benar mendukung pernyataan itu, namun juga tidak menunjukkan keberpihakan pada Palestina.
Sehingga, New York Times memprediksi pemindahan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem tampaknya tidak akan terlaksana dalam waktu dekat.
(Sah)
Advertisement
Lebih dari Sekadar Kulit Sehat: Cerita Enam Selebriti Merawat Kepercayaan Diri yang Autentik
Kebiasaan Pakai Bra saat Tidur Berbahaya? Cari Tahu Faktanya
Seru Abis! Komunitas Ini Sampaikan Kritikan dengan Main Karet Depan Gedung DPR
Potret Beda Pesta Pora 2025, Ada Jumatan Bareng Dipimpin Rhoma Irama
Peneliti Ungkap Pemicu Perempuan Sanggup Bicara 20 Ribu Kata Sehari?
Bentuk Roti Cokelat Picu Komentar Pedas di Medsos, Chef Sampai Revisi Bentuknya
Mahasiswa Sempat Touch Up di Tengah Demo, Tampilannya Slay Maksimal
Lebih dari Sekadar Kulit Sehat: Cerita Enam Selebriti Merawat Kepercayaan Diri yang Autentik