Ilustrasi/ Foto: Shutterstock
Dream - Sebaik-baiknya teladan bagi umat muslim adalah junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Membuat Rasulullah terasa dekat dan sebagai panutan bagi anak-anak, penting dilakukan sejak dini.
Banyak cara untuk membuat anak mengenal dan mencintai Nabi Muhammad SAW, salah satunya dengan menceritakan kehidupan beliau saat kecil. Dikutip dari BincangMuslimah.com, ketika masih kecil Rasul juga bermain dengan anak-anak sebayanya.
Menurut Dr. Nurul Huda Maarif dalam bukunya " Samudra Keteladanan Muhammad" ada dua teman kecil Rasulullah yang suka bermain dengannya. Pertama, Abu Sufyan bin Harits.
Abu Sufyan dan Rasulullah SAW lahir di waktu yang hampir bersamaan. Keduanya juga dibesarkan dalam keluarga yang sama. Hal ini karena Abu Sufyan adalah sepupu Rasulullah SAW. Ayah Abu Sofyan, Harits bin Abdul Muthalib merupakan saudara kandung Abdullah, ayah Rasulullah SAW.
Abu Sufyan dan Rasulullah SAW juga sama-sama disusui oleh Halimatus Sa’diyah. Ini sebabnya, keduanya begitu dekat dan akra. Sayangnya, saat Rasulullah SAW diangkat menjadi Nabu muncul ketidaksukaan dan kebencian pada diri Abu Sufyan. Keakrabannya memudar.
Kebencian Abu Sufyan kepada Rasulullah SAW berlangsung hingga dua puluh tahun lamanya. Setelah itu, Allah SWT membukakan pintu hatinya untuk menerima dakwah saudara serta teman kecilnya itu. Abu Sufyan bersama anaknya, Ja’far bin abu Sufyan berangkat ke Madinah menyusul Rasulullah SAW untuk mengikrarkan dua kalimat syahadat.
Teman kecil kedua Rasulullah adalah Abdullah Putra Halimatus Sa’diyah. Rasulullah berteman baik dengan putra Halimatus Sa’diyah yang bernama Abdullah. Keduanya sering bersama-sama menggembala kambing. Halimah tak pernah merasa khawatir dengan kebiasaan ini.
Hingga suatu saat, ketika Rasulullah SAW kecil menggembala kambing bersama Abdullah, tiba-tiba datang dua lelaki berpakaian putih bersih menangkap Rasulullah SAW. Sementara itu, Abdullah sedang mengambil makanan di rumah untuk mereka makan berdua sambil menggembala kambing.
Sekembalinya ke tempat menggembala kambing, Abdullah tidak menemukan Rasulullah SAW. Ia menangis dan mengadu kepada ibunya, “ Saudaraku, laki-laki Bani Quraisy telah ditangkap dua orang lelaki berpakaian serba putih. Keduanya membaringkannya, lalu membelah perutnya, dan membolak-balikkan atasnya" .
Setelah mendengar berita yang mengkhawatirkan itu, Halimah dan suaminya segera keluar rumah untuk mencari Rasulullah SAW. Mereka menemukan Rasulullah SAW sedang duduk termenung.
“ Mengapa engkau duduk di sini sendirian?” tanya Halimah. “ Ada dua orang lelaki datang tanpa disangka-sangka. Keduanya berpakaian serba putih. Mereka mendekatiku dan membawaku ke sini" .
Rasulullah SAW mulai mengisahkan pengalamannya tadi. “ Mereka lalu membaringkanku, memegang perutku, dan salah satu dari mereka membelah perutku. Mereka mengambil sesuatu yang hitam dari dalamnya, lalu membuangnya. Aku tidak tahu benda apakah yang diambilnya dan ke mana membuangnya. Mereka lalu pergi dan entah ke mana aku tak tahu" .
Abdullah merupakan teman kecilnya yang melihat dan menyaksikan kejadian-kejadian aneh sebelum Rasulullah SAW diangkat menjadi nabi. Selengkapnya baca di sini.
Dream - Menceritakan kisah-kisah Nabi pada buah hati bisa membuat mereka lebih mengenal utusan Allah SWT di muka bumi. Banyak hikmah yang bisa dipelajari dari kisah Nabi, terutama Nabi kita, Muhammad SAW.
Salah satunya saat beliau sangat sedih tapi cukup tegar, ditinggal anak lelakinya yang meninggal dunia. Dikutip dari NU Online, Nabi Muhammad SAW memiliki tiga orang anak laki-laki.
Dua anak laki-laki merupakan hasil pernikahannya dengan Sayyidah Khadijah, yaitu Sayyidina Al-Qasim dan Sayyidina Abdullah. Riwayat lain menyebut empat, dua orang lainnya adalah at-Thayyib dan at-Thahir. Ada juga yang berpendapat kalau at-Thayyib dan at-Thahir adalah julukan (kunyah) dari Abdullah.
Al-Qasim lahir di Makkah sebelum ayahnya diutus menjadi seorang Rasul. Ia merupakan putra pertama Nabi Muhammad. Oleh karenanya, Nabi dijuluki Abul Qasim (ayahnya Qasim). Namun kebersamaan Nabi Muhammad dengan Al-Qasim tidak berlangsung lama. Ketika usia Al-Qasim dua tahun, Allah memanggilnya pulang. Beberapa tahun setelahnya, Nabi Muhammad baru dikaruniai lagi anak laki-laki lagi yaitu Sayyidina Abdullah.
Dia adalah anak keenam atau terakhir Nabi Muhammad dengan Sayyidah Khadijah, setelah Sayyidah Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah. Sayyidina Abdullah lahir di Makkah setelah era kenabian. Sama seperti Al-Qasim, Abdullah juga wafat selagi masih kecil.
Wafatnya Al-Qasim dan Abdullah meninggalkan luka yang mendalam di hati Nabi Muhammad dan Sayyidah Khadijah. Tidak ada yang bisa menghapus kesedihan Nabi kecuali wahyu yang turun kepadanya sehingga dia sibuk menjalankan tugasnya sebagai seorang Rasulullah. Tidak ada informasi detail mengenai kehidupan Nabi Muhammad dengan dua anaknya tersebut.
Beberapa saat setelahnya, Nabi Muhammad mengarungi bahtera rumah tangga bersama dengan Mariyah Al-Qibtiyyah. Dari situ, kemudian lahirlah Sayyidina Ibrahim pada 8 Hijriyah di Madinah. Kelahiran Ibrahim membawa angin kebahagiaan dan harapan besar bagi Nabi Muhammad.
Beliau berharap, kelak Ibrahim akan tumbuh dewasa dan menjadi putra kebanggaannya. Sebagaimana tradisi Arab pada saat itu, Nabi Muhammad kemudian mencari ibu susuan untuk anaknya itu. Merujuk Bilik-bilik Cinta Muhammad (Nizar Abazhah, 2018), Nabi akhirnya memilih Khualah binti Mundzir bin Zaid dari Najjar, istri Barra’ bin Aus dan ibu Bardah, untuk menyusui Ibrahim. Sebelumnya, wanita-wanita Anshar saling bersaing untuk menjadi pilihan Nabi untuk menyusui Ibrahim.
Sejak itu, Nabi Muhammad dan Ibrahim tinggal terpisah. Nabi Muhammad di samping Masjid Nabawi, di tengah-tengah Kota Madinah, sementara Ibrahim bersama ibu susuannya di dataran tinggi Madinah. Setiap hari Nabi mengunjungi putranya itu. Beliau singgah beberapa saat di rumah Khaulah, mengajak Ibrahim bercanda dan berbicara lembut.
Pada suatu ketika, Nabi Muhammad mengajak Ibrahim turun ke Kota Madinah. Beliau memperlihatkan anak laki-lakinya itu kepada para istri dan sahabatnya. Selama satu setengah tahun, Ibrahim tumbuh sehat dan kuat. Sama seperti Al-Qasim dan Abdullah, Ibrahim wafat selagi usianya masih kecil, tahun ke-10 Hijriyah. Padahal, tidak ada tanda-tanda kalau si buah hati akan pergi secepat itu.
Air mata Nabi tumpah di pipinya. Tidak kuasa menahan sedih setelah yang dikasihinya pergi meninggalkannya. Perasaan Nabi sebagai seorang ayah terguncang karena kematian anaknya. Hal ini membuat Sahabat Abdurrahman bin Auf bertanya-tanya mengenai tangisan Nabi. Dia khawatir, duka yang mendalam akan terus mengguncang hati Nabi. Oleh sebab itu, dia terus menghibur Nabi.
“ Mata boleh berlinang, tetapi hati tetap khusu'. Memang kami bersedih atas dirimu, Ibrahim, tetapi kami tidak mengucapkan kata-kata selain yang diridhai,” kata Nabi kepada Abdurrahman bin Auf.
“ Bukan rasa berkabung yang aku larang, tetapi menangis dan meraung-raung,” tambahnya.
Nabi menghampiri jenazah Ibrahim sambil menangis. Beliau bahkan melarang sahabatnya untuk mengafani Ibrahim sehingga Nabi melihat jenazahnya. Nabi kemudian memakamkannya di Baqi dengan hati yang hancur. Beliau meratakan tanah, memercikkan air, dan memberi tanda kuburan Ibrahim. Kata Nabi, tanda kuburan memang tidak memberi manfaat atau pun mudarat, namun ia cukup menghibur orang yang masih hidup.
Cerita selengkapnya baca di sini.