Menteri Pendidikan Nadiem Makarim/ Foto: Instagram @nadiemmakarim
Dream - Tahun ajaran 2022/2023 baru saja berakhir. Sejumlah sekolah biasanya mengadakan acara perpisahan dan wisuda. Bukan hanya di tingkat SMA, SMP dan SD, tapi juga TK. Untuk penyelenggaraannya tentu membutuhkan biaya yang cukup besar.
Mulai dari penyewaan kostum, makeup, busana, hingga keperluan lainnya. Hal tersebut bagi banyak orangtua dirasa sangat memberatkan. Biaya yang dikeluarkannya pasalnya sangat mahal, mencapai ratusan ribu hingga jutaan.
Gelombang protes pun bermunculan di berbagai media sosial. Terutama di kolom komentar akun Instagram Nadiem Makarim @nadiemmakarim.
" Pak saya minta tolong banget bikin peraturan tentang wisuda, karena wisuda untuk anak TK,SD, SMP kurang tepat. Saya mewakili emak" yang mana biaya sewa gedungnya untuk anak SD 700rb anak SMA 1jt. Belum lagi harus beli buket yang harganya 80-100rb, belum lagi sewa kebaya atau beli kebaya yang seharga 150rb, " komentar @hilal1260
" Hapus wisuda tk, sd, smp, dn sma pak... Hanya memberatkan orang tua.. Belum biaya sekolah untuk k jenjang berikutnya, " tulis @duwiana_
" hapus wisuda disekolah pak buat daftar sekolah aja pusing. hapus korlas2 sekolah yang sering minta sumbangan ini itu," ungkap @rubainur.
Hingga saat ini Kementerian Pendidikan memang belum melakukan pelarangan. Hanya mengimbau agar acara perpisahan/ wisuda tidak dilakukan secara berlebihan/ mewah.
Dream - Pekan ini sekolah tatap muka dimulai kembali setelah 2 tahun online karena kasus Covid-19 yang tinggi. Para murid harus kembali melakukan adaptasi dengan teman sekelas yang baru, juga suasana sekolah yang begitu berbeda.
Terutama pada anak-anak yang sebelumnya selalu sekolah online di rumah dan baru pertama kali belajar di sekolah tanpa didampingi orangtua. Hal tersebut sebenarnya bukan hal mudah. Penting bagi orangtua memahami kondisi anak-anaknya dan melihat respons mereka.
Farraas A. Muhdiar, seorang psikolog keluarga, mengungkap kalau dalam situasi pandemi seperti sekarang sangat wajar anak mengalami kecemasan ketika kembali ke sekolah. Di satu sisi mereka senang, tapi juga cemas dengan kondisi yang sangat berbeda.
Bagi anak usia TK dan SD, mungkin ada yang selalu menangis di kelas saat ditinggal. Bisa juga hanya diam saja tak mau bicara sama sekali.
" Kondisi pandemi meningkatkan kecemasan anak untuk bertemu orang baru / masuk ke situasi baru, jadi makin wajar kalau anak cemas saat tiba-tiba harus dateng ke situasi baru dengan kebiasaan dan orang-orang yang serba baru," tulis Farraas di akun Instagramnya @farraas.
Lalu apa yang harus dilakukan orangtua untuk membantu anak meredakan level kecemasannya? Menurut Farraas, berikan label pada emosi anak, apakah ia takut, khawatir sedih atau bersemangat. Hal ini membuat anak mengenali hal yang dirasakan dan mengungkapkannya dengan baik.
Setelah itu, validasi atau akui perasaan anak. Bila anak bilang takut, katakan kalau hal itu bisa dirasakannya dan wajar. Jangan mengecilkannya dengan bilang " ah gitu aja takut" .
Coba berikan beberapa opsi untuk bisa membuat anak nyaman. Misalnya dengan pegangan tangan, berpelukan, menarik napas, bernyanyi atau mungkin minum teh hangat.
" Percaya pada prosesnya. Anak pasti akan bisa melakukannya saat mereka sudah siap," pesan Farraas.
Dream - Pekan ini, anak-anak yang usia 6 tahun ke atas mulai memasuki Sekolah Dasar (SD). Jenjang sekolah yang lebih tinggi, tentunya merupakan tantangan baru bagi anak-anak.
Lingkungan yang mereka hadapi, jadi sangat berbeda. Kondisi tersebut tentunya membutuhkan penyesuaian yang besar dan tak semua anak merasa bisa menghadapinya dengan baik. Tak heran kalau beberapa anak mengeluh dengan suasana sekolahnya yang baru, terutama tugas dan pelajaran yang rumit.
Samantha Elsener, seorang psikolog anak, mengungkap kalau sangat wajar anak di usia SD mengalami kondisi inferior. Yaitu memiliki kecenderungan mengecilkan kemampuan diri sendiri, akibatnya jadi minder atau kurang percaya diri.
" Padahal anak perlu mengembangkan keyakinan diri bahwa dirinya mampu mengembangkan keterampilan yang sedang dilatih. Dalam hal ini termasuk tugas-tugas sekolah," tulis Samantha di akun Instagramnya @samantha.elsener.
Ia juga mencontohkan beberapa kondisi di mana anak kerap mengeluh atas kemampuan dirinya. Antara lain anak sering mengatakan " aku enggak bisa" , " ini tuh susah" , " aku enggak mau kerjain, susah" .
Menghadapi keluhan anak, orangtua mungkin kebingungan. Menurut Samantha ada respons yang diberikan agar anak tak selalu merasa minder. Cobalah dengan mengatakan pada anak, " makin besar keterampilan kita makin terasah" , atau " saat bayi belum bisa jalan juga latihan jalan sampai bisa lari" .
Penting juga memvalidasi emosi anak yang merasa kecil seperti menyadari ia sedang merasa kesusahan. Katakan padanya " memang susah, makanya perlu latihan supaya makin terampil" atau " istirahat sebentar yuk baru kita coba lagi" .
Dengan berusaha mengerti kondisi anak, orangtua akan bisa menghadapinya dengan baik. Anak pun memiliki sudut pandang lain dengan analoginya sendiri ketika orangtua bisa menjelaskannya.