20 Tahun AS Latih 'Tentara Hantu': Biang Kerok Afghanistan Dikuasai Taliban

Reporter : Eko Huda S
Sabtu, 21 Agustus 2021 17:45
20 Tahun AS Latih 'Tentara Hantu': Biang Kerok Afghanistan Dikuasai Taliban
AS menggelontorkan lebih dari Rp1.267 triliun untuk membangun tentara Afghanistan. Melatih dan mempersenjatai.

Dream - Pada 8 Juli 2021, Joe Biden sangat percaya diri menjawab pertanyaan wartawan, " apakah Taliban mengambil alih Afghanistan sekarang tidak bisa dihindari?" Dengan tegas, presiden Amerika Serikat itu menjawab, " no, it is not."

Namun sebulan setelah itu, Taliban dengan cepat menguasai Afghanistan. Kabul jatuh pada Minggu 15 Agustus 2021. Presiden Ashraf Ghani minggat dengan alasan tidak ingin terjadi pertumpahan darah, seperti di Yaman dan Suriah.

Jawaban Biden bukan tanpa dasar. Dia merujuk kekuatan Afghanistan yang memiliki 300.000 tentara dengan peralatan lengkap. Afghanistan juga punya angkatan udara. Secara matematis tentu tidak sulit menghadapi Taliban yang hanya berkekuatan sekitar 75.000.

Sudah begitu, pasukan AS telah melatih tentara Afghanistan. Bukan dalam hitungan hari, minngu, atau bulan, melainkan selama 20 tahun. Selama dua dekade itu, AS " menginvestasikan" lebih dari US$88 miliar, sekitar Rp1.267 triliun, untuk membangun tentara Afghanistan. Melatih dan mempersenjatai.

Pasukan koalisi sudah 20 tahun bercokol di Afghanistan dengan dalih memerangi kelompok Al-Qaeda, yang dituduh sebagai dalang pengeboman gedung kembar WTC pada 11 September 2001. Setidaknya ada 9.600 tentara asing diAfghanistan, 2.500 di antaranya datang dari Paman Sam.

Pada Februari 2020, Donald Trump, yang kala itu memimpin AS, berjanji menarik pasukan dari Afghanistan pada 1 Mei 2021, asal Taliban tidak memberi sokongan pada kelompok Al-Qaeda, yang masuk daftar teroris AS. Pada April lalu, Biden menegaskan komitmen penarikan pasukan itu. Sejak Mei, pasukan koalisi ditarik ke negeri masing-masing.

Wartawan di Gedung Putih itu bukan satu-satunya. Banyak pengamat telah memprediksi kemungkinan Taliban merebut kekuasaan sebagai konsekuensi penarikan pasukan koalisi pimpinan AS dari Afghanistan.

1 dari 4 halaman

Tentara Afghanistan

Namun yang membuat dunia tercengang adalah begitu mudahnya Taliban mengambil alih kekuasaan. Taliban juga " mempermalukan" AS dengan menguasai seluruh alat tempur yang diberikan kepada tentara Afghanistan. " Investasi" AS justru menguntungkan Taliban.

Pertanyaannya, mengapa tentara Afghanistan yang sudah dilatih pasukan AS selama 20 tahun dan dipersenjatai dengan mudah dikalahkan oleh Taliban? Kemungkinan penyebabnya banyak.

Dalam sebuah artikel, time.com menulis AS gagal membangun kekuatan tentara dan polisi Afghanistan yang berkelanjutan. Perjudian AS lewat gelontoran dana puluhan miliar dolar ternyata hanya menghasilkan " tentara kosong" , dibekali senjata lengkap tapi tidak punya semangat juang.

" Uang tidak bisa membeli kemauan. Anda tidak bisa membeli kepemimpinan," kata kepala juru bicara Kementerian Pertahanan AS, Lloyd Austin, Senin lalu.

Doug Lute, pensiunan letnan jenderal Angkatan Darat AS yang ikut mengarahkan strategi perang Afghanistan era George W. Bush dan Barack Obama, menyebut, dalam perang, faktor moral lebih mendominasi daripada material. Moral, disiplin, kepemimpinan, kekompakan personel, lebih menentukan daripada jumlah pasukan dan peralatan.

" Sebagai orang luar di Afghanistan, kami dapat menyediakan materi, tetapi hanya orang Afghanistan yang dapat memberikan faktor moral yang tidak berwujud," tutur Lute.

Itu pula yang disampaikan Biden dalam media briefing Senin 16 Agustus 2021, sehari setelah Taliban mencaplok Kabul. Dia mengkritik pemimpin politik Afghanistan yang memilih kabur ketimbang berjuang angkat senjata melawan Taliban untuk mempertahankan negaranya.

" Pemimpin politik Afghanistan menyerah dan meninggalkan negaranya. Militer Afghanistan runtuh, kadang tanpa mencoba melawan," kata Biden.

Bagi Biden, menarik pasukan dari Afghanistan merupakan keputusan tepat. " Pasukan Amerika tidak boleh dan tidak seharusnya bertempur dan mati dalam perang yang pasukan Afghanistan sendiri tidak mau berjuang untuk mereka sendiri," tambah Biden.

AS telah melakukan segalanya. Sudah melatih tentara Afghanistan dan memberi peralatan perang. Afghanistan sebenarnya tinggal menentukan masa depan sendiri dengan dukungan penuh itu. " Apa yang tidak bisa kami berikan kepada mereka adalah keinginan untuk memperjuangkan masa depan itu," tegas Biden.

2 dari 4 halaman

Pasukan patroli Afghanistan

Menilik sejarahnya, proses rekrutmen tentara Afghanistan juga amburadul. Komposisi mereka mulai diutak-atik setelah AS dan sekutunya melakukan intervensi pada 2001. Jumlah tentara disesuaikan dengan ancaman Taliban.

Pada tahun-tahun awal intervensi internasional itu, menurut laman The National, AS memperkirakan kekuatan pemberontak Taliban hanya 30.000 saja. Sehingga Tentara Nasional Afghanistan harus dipangkas, dari 70.000 menjadi 50.000.

Alasannya, Afghanistan butuh tentara yang kompeten dan kualitasnya terjaga secara konsisten. Kualitas lebih diutamakan daripada kuantitas. Begitu kira-kira.

Namun, rencana pemangkasan dibatalkan setelah serangan Taliban meningkat, khususnya di wilayah selatan dan timur Afghanistan. Jumlah personel yang hendak disusut justru jadi menggelembung.

Pada 2014, tentara yang direkrut diberi pelatihan selama 15 minggu. Tapi, latihan itu lebih didominasi pelajaran di atas meja. Para rekrutan lebih banyak diajari baca dan tulis ketimbang latihan tempur. Kemampuan baca tulis memang penting untuk membaca peta dan perpesanan di medan perang.

Rencana mengutamakan kualitas daripada kuantitas gagal karena AS memilih menambah pasukan secara cepat untuk merespons serangan Taliban yang semakin gencar. Jadilah, antara 2010 hingga 2020, tentara Afghanistan melonjak dari 113.000 menjadi 185.000.

3 dari 4 halaman

Celakanya, kualitas personel yang buruk itu diperparah dengan korupsi akut di tubuh militer Afghanistan. Bahkan, jumlah 300.000 personel, seperti disebut Biden, banyak di antaranya adalah " tentara hantu" .

Kecurigaan banyaknya " tentara hantu" juga dilaporkan oleh Special Inspector General for Afghanistan Reconstruction (SIGAR), otoritas pengawas rekonstruksi Afghanistan yang dipimpin AS.

Laporan yang dirilis 30 Juli 2021 itu menyebut total personel ANDFS -tentara dan polisi Afghanistan, sebanyak 300.699. Tapi SIGAR meragukan akurasi data itu.

Dalam laporan yang dirilis 30 Juli 2021, SIGAR menekankan dampak buruk korupsi pada Pasukan Keamanan dan Pertahanan Nasional Afghanistan (ANDFS). " Termasuk keberadaan tentara dan polisi hantu," demikian laporan tersebut.

Dalam laporan The Washington Post, sebagaimana dikutip Max Boot, ahli The Council on Foreign Relations (CFR) --sebuah lembaga thing tank di AS, dari 352.000 personel personel ANDFS yang tercatat, hanya 254.000 yang terverifikasi.

Sisanya, " tentara hantu" . Nyata di daftar, tapi tak ada di lapangan. " Tentara hantu" sengaja dipelihara oleh oknum militer Afghanistan untuk mengeruk gaji yang digelontorkan oleh AS, yang sangat royal.

4 dari 4 halaman

 

Soal " tentara hantu" ini, menarik membaca laporan the Guardian yang dirilis 17 Mei 2016. Artikel itu mengangkat perang antara tentara Afghanistan dan Taliban di Babaji, desa di pinggiran ibukota Provinsi Helmand, Lashkargah.

Di bawah desingan peluru, terlihat 24 polisi perbatasan sedang menggali tanah untuk membuat benteng pertahanan. " Kami tidak pernah dilatih untuk bertempur digaris depan," kata Kapten Ghulam Wali.

Biasanya, mereka hanya bertugas mengawasi perbatasan Afghanistan yang keropos. Perbatasan yang dengan mudah ditembus penyelundup senjata, obat terlarang, dan manusia.

Namun, tujuh bulan sebelum wawancara dengan the Guardian itu, Kapten Wali dan 122 personel polisi perbatasan itu dipindahkan ke Babaji, wilayah berjarak 300 kilometer dari perbatasan Afghanistan dengan Pakistan, tempat mereka biasa ngepos.

Pada hari pertama berdinas di Babaji, tiga anak buah Kapten Wali tewas. Mereka memang tidak seharusnya di medan tempur itu. " Kapten Wali dan anak buahnya di Babaji untuk mengisi kekosongan 'tentara hantu' ini," tulis the Guardian.

Berdasaarkan catatan kala itu, terdapat setidaknya 25.000 tentara di Helmand. Dengan jumlah itu, seharusnya pemerintah provinsi tidak kalang kabut menghadapi Taliban.

Namun masalahnya, banyak di antara tentara yang tercatat itu tidak ada di palagan. Belakangan, investigasi Pemprov Helmand menemukan hampir 40 persen tentara yang tercatat ternyata tidak ada di lapangan.

Faran Jeffery, seorang analis keamanan asal Inggris yang tinggal di Pakistan, mengatakan, tentara Afghanistan tidak ingin mati untuk sistem yang korup yang dijalankan segelintir elite di Kabul itu. Para koruptor itu hanya melihat Afghanistan sebagai peluang mengeruk uang.

" Mereka telah menunjukkan itu tanpa keraguan dalam beberapa minggu terakhir. Bagi banyak orang, satu-satunya motivasi mereka adalah gaji mereka, dan bahkan gaji tidak dibayar tepat waktu kepada banyak di antara tentara itu," kata Jeffery kepada the National.

Beri Komentar