Antisipasi Deltacron, Belajar dari Kesuksesan China

Reporter : Edy Haryadi
Senin, 28 Maret 2022 17:06
Antisipasi Deltacron, Belajar dari Kesuksesan China
Kebijakan nol Covid diterapkan tanpa ampun oleh pemerintah China.

Dream – Di bawah hujan salju yang turun, puluhan eskavator dan mesin derek masih sibuk bekerja membuka lahan di tanah seluas 430 ribu meter persegi itu. Dan, setelah enam hari bekerja 24 jam tanpa henti, rumah sakit darurat yang di bangun di provinsi Jilin,  timur laut China, telah tegak berdiri dan siap digunakan.

Rumah sakit empat lantai itu sudah siap menyediakan 1.197 kasur untuk menampung pasien Covid-19 bergejala ringan atau tidak bergejala.  Rumah sakit itu didirikan di kawasan Jilin City's Economic and Technological Development Area.

Fasilitas medis sementara di Jilin itu dibangun karena provinsi berpenduduk 24 juta penduduk itu hanya memiliki sekitar 23.000 tempat tidur rumah sakit. Sementara varian Omicron telah membuat angka penularan kasus Covid-19 di provinsi itu terus melonjak.

Rumah sakit tersebut adalah bagian dari rumah sakit darurat lain yang pada akhirnya akan memuat 6.000 tempat tidur. Provinsi Jilin, memang merupakan wilayah yang mengalami peningkatan jumlah kasus Covid-19 tertinggi di China. Pada Senin, 21 Maret 2022, jumlah kasus di daerah ini mencapai 2.601 kasus baru.

Karena kondisi yang memburuk, China dua hari sebelumnya melaporkan dua kasus kematian akibat COVID-19 di Jilin. Ini merupakan kasus kematian pertama akibat Covid-19 dalam lebih dari setahun di China.

Komisi Kesehatan Nasional China mengatakan kematian terjadi di timur laut Provinsi Jilin, telah mendorong kebijakan lockdown atau pembatasan ketat di beberapa kota.

Kematian itu adalah kematian yang pertama dilaporkan di China sejak Januari tahun 2021 lalu, dan menjadikan total kematian negara itu selama pandemi COVID-19 menjadi 4.638.  Bandingkan dengan jumlah kematian di DKI Jakarta yang sudah mencapai Rp 15.102  per tanggal 22 Maret 2022.

Secara keseluruhan, China melaporkan 4.051 kasus baru kemarin, turun dari 4.365 sehari sebelumnya, kata komisi itu, seraya menambahkan bahwa lebih dari setengah kasus baru berada di Jilin.

Beijing telah menggembar-gemborkan tingkat kematiannya yang rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, sebagai bukti keberhasilan model kebijakan nol-Covid China.

Ini memang merupakan kesuksesan China yang diakui dunia untuk membendung penyebaran Covid-19. Negara berpenduduk 1,4 miliar itu cuma melaporkan dua kematian baru dalam satu tahun terakhir!

***

Ketika semakin banyak negara melonggarkan pembatasan negara  mereka, banyak yang ingin tahu kapan China akan meninggalkan strategi tanpa kasus (dongtai qingling) atau nol-Covid dan mengakhiri kebijakan lockdown dan  karantinanya.

Dana Moneter Internasional atau IMF mengklaim bahwa berpegang pada strategi nol kasus secara ekonomi akan merusak China dan seluruh dunia. Yang lain memberitakan bahwa orang-orang China banyak yang menderita karena terlalu banyak pembatasan.

Tapi, menurut Bingqin Li, Profesor dan Direktur Kebijakan Sosial Tiongkok di Pusat Penelitian Kebijakan Sosial, Universitas New South Wales (UNSW), Sydney, dampak negatif dari pendekatan zero-case atau nol kasus pada ekonomi China mungkin telah dibesar-besarkan. Sebab, banyak orang di China masih berpikir bahwa risiko membuka diri sangat besar. Pembuat kebijakan China masih menunggu untuk melihat bukti dari negara lain sebelum membatalkan kebijakan mereka saat ini.

Pada hari-hari awal pandemi, beberapa analis berpikir bahwa lockdown yang ketat adalah solusi ideal untuk negara besar dan berpenduduk padat. Dengan keterbatasan fasilitas ruang perawatan intensif atau ICU, ventilator, dan tenaga profesional kesehatan, pengendalian wabah sangat penting. Setelah pelacakan kontak digital sudah tersedia, lockdown di seluruh kota dianggap tidak perlu dilakukan secara berkelanjutan.

Lockdown yang ketat dianggap sangat mengganggu kehidupan sehari-hari. China pernah memberlakukan lockdown di seluruh negara yang berlangsung selama 76 hari. Lockdown selanjutnya terbatas pada area berisiko tinggi tertentu ketika kasus baru muncul. Lockdown mini ini biasanya berlangsung sekitar dua minggu, dengan sisa kota atau wilayah kembali ke kehidupan normal dalam beberapa hari setelah dilakukan tes Covid-19 secara massal.

China saat lockdown

Lockdown di Tianjin yang berlangsung dari 8–31 Januari 2022 adalah contoh yang menarik. Tianjin me-lockdown 14 juta orang dan mengidentifikasi 28 perumahan sebagai 'berisiko tinggi' dan mengisolasi mereka. Pengujian, penelusuran kontak, dan karantina mengurangi lokasi lockdown menjadi 13 perkebunan dan 25 bangunan.

Selama periode tersebut, warga di wilayah berisiko rendah menjalani kehidupan normal, namun tidak bisa bepergian ke luar kota, dan harus menjalani empat tes Covid-19. Stasiun pengujian tes Covid-19 didirikan di setiap perumahan. Tes seluruh kota terakhir hanya memakan waktu empat setengah jam, dan setiap orang hanya menghabiskan 10-15 menit saat dites.

Penurunan ekonomi memang sempat menyertai lockdown China secara besar-besaran pada tahun 2020. Tetapi ekonomi China dengan cepat pulih dengan tingkat pertumbuhan 8,1 persen pada tahun 2021 dan 12,7 juta pekerjaan baru diciptakan sejak 2020.

Investasi asing pada tahun 2021 meningkat hampir 15 persen dari tahun 2020 dan ekspor meningkat sebesar 21,2 persen pada tahun 2020 dan 29,9 persen pada tahun 2021.

Amerika Serikat dan Jerman telah dipuji sebagai kemungkinan kisah sukses, tetapi keterisian tempat perawatan intensif atau ICU mereka per 100.000 orang adalah yang tertinggi di dunia, masing-masing di angka 29,4 dan 38,7, berbeda dengan 3,6 di China. Bahkan dengan tingkat vaksinasi hampir 90 persen, risiko sistem perawatan kesehatan yang kewalahan tetap tinggi.

***

Presiden China Xi Jinping baru-baru ini mengatakan negaranya akan " tetap pada strategi nol-Covid.” Tanpa kompromi.

Itu terjadi ketika ekonomi terbesar kedua di dunia telah berubah dari melaporkan kurang dari 100 infeksi harian tiga minggu lalu, menjadi lebih dari 1.000 per hari selama lebih dari seminggu terakhir.

Berbicara pada pertemuan para pemimpin tinggi China pada hari Kamis, Xi mengatakan negara itu harus “ terus menempatkan orang dan kehidupan di garis depan, tetap dengan akurasi ilmiah dan nol kasus, untuk mengekang penyebaran epidemi sesegera mungkin.”

Menurut Xi, Beijing harus “ meningkatkan tingkat pencegahan dan pengendalian yang akurat secara ilmiah dan terus mengoptimalkan langkah-langkah pengendalian penyakit.”

Dengan lonjakan kasus yang naik di provinsi Jipin, China sedang berjuang melawan gelombang terbesar kasus Covid yang ditularkan secara lokal sejak negara itu mengatasi wabah awal yang berpusat di Wuhan pada tahun 2020.

Bahkan, ketika sebagian besar dunia telah melonggarkan atau mengakhiri pembatasan virus corona, jutaan orang di Cina timur laut masih berada di bawah lockdown dan pihak berwenang telah memberlakukan pembatasan pada kegiatan bisnis dan transportasi kargo di kota-kota besar seperti Shenzhen.

Provinsi Jilin di China timur laut, yang telah melaporkan ribuan kasus selama seminggu terakhir, telah membangun delapan “ rumah sakit darurat” dan dua pusat karantina untuk membendung lonjakan infeksi.

Pihak berwenang juga mengatakan orang dengan kasus ringan dapat diisolasi di fasilitas karantina pusat, setelah sebelumnya mengirim semua pasien dengan gejala apa pun ke rumah sakit spesialis.

Di Shanghai, kota terbesar di China dan rumah bagi 25 juta orang, pihak berwenang juga telah menutup kampus sekolah, mengunci beberapa kompleks perumahan dan meluncurkan pengujian tes Covid massal secara ketat.

***

Selama hampir dua tahun, beban kasus harian Covid-19 di China jarang mencapai tiga digit, dan seringkali berminggu-minggu berlalu tanpa satu kasus pun.

Tes Covid-19 di China

Bahkan ketika seluruh dunia berjuang untuk menahan varian baru yang lebih menular, China tetap menjadi sebuah pulau yang perbatasannya ditutup dan  sebagian besar populasinya tidak tersentuh oleh virus.

Semua itu berubah bulan Maret ini, ketika banyak wabah di seluruh negeri menyaksikan lonjakan terbesar dalam infeksi lokal China sejak wabah awalnya di Wuhan bisa dikendalikan pada awal 2020.

Sekitar 12.000 kasus baru telah dilaporkan dalam tiga hari terakhir, yang telah memperingatkan pertahanan negara menghadapi subvarian Omicron BA.2 yang sangat menular untuk pertama kalinya.

Angka-angka ini mungkin tampak kecil dalam populasi 1,4 miliar dan jika dibandingkan dengan bagian dunia lainnya. Tetapi bagi Partai Komunis China yang berkuasa, wabah itu merupakan tantangan politik yang signifikan.

Untuk menanggapinya, China telah meluncurkan metode yang sudah usang untuk mengendalikan penyakit ini: menempatkan puluhan juta penduduk di bawah beberapa bentuk lockdown, menutup pabrik di pusat teknologi Shenzhen, membangun rumah sakit darurat untuk mengisolasi kasus di provinsi Jilin yang terpukul parah. dan mengumpulkan " kontak dekat" dari kasus-kasus untuk pengawasan atau karantina.

Pendekatan ini secara luas dikenal sebagai kebijakan " nol-Covid."

Yang pasti, pemerintah China telah melakukan upaya besar-besaran untuk melindungi rakyatnya dari virus, melakukan apa yang disebut kampanye vaksinasi terbesar dalam sejarah, Caranya mengembangkan vaksin lokal dengan kecepatan rekor dan membagikan 2,8 miliar dosis di dalam negeri pada tahun 2021 saja.

Namun terlepas dari ini, ada kesenjangan kritis dalam upaya vaksinasi Beijing. Pertanyaan yang belum terselesaikan tentang seberapa baik dapat melindungi, terutama untuk kelompok rentan seperti penduduk lanjut usia atau lansia. Itu menimbulkan kekhawatiran yang signifikan untuk setiap transisi dari nol-Covid untuk negara yang telah terbiasa melihat tidak ada kematian akibat Covid-19.

Sementara sebagian besar kasus China ringan atau tanpa gejala, pemerintah melaporkan kematian Covid-19 pertama dalam lebih dari setahun terjadi pada hari Sabtu lalu. Otoritas kesehatan mengatakan almarhum, dua pasien lanjut usia Covid-19 di provinsi Jilin timur laut, satu sudah divaksinasi dan satu belum divaksinasi.

Tetapi para ahli mengatakan risiko situasi yang lebih serius telah menjadi sangat jelas bagi Beijing oleh peristiwa di Hong Kong, di mana wabah yang merajalela telah membanjiri rumah sakit dan kamar mayat, yang menyebabkan lebih dari 5.500 kematian sepanjang tahun ini. Sebagian besar karena rendahnya tingkat vaksinasi di kalangan orang tua.

Sementara Hong Kong merupakan kota berpenduduk kurang dari 8 juta dan yang lainnya adalah negara berpenduduk 1,4 miliar, para ahli mengatakan kesejajaran telah meningkatkan kewaspadaan dalam beberapa pekan terakhir.

" Keduanya telah mengelar 'strategi nol-Covid,' keduanya memiliki populasi lansia yang belum divaksinasi yang cukup besar, dan selain itu keduanya belum berinvestasi dalam peningkatan kapasitas peningkatan kesehatan masyarakat sebelum gelombang Omicron tiba," kata Yanzhong Huang, seorang pejabat senior untuk kesehatan global di Dewan Hubungan Luar Negeri.

Sementara tingkat vaksinasi keseluruhan China mencapai 87%, imunisasi di kalangan orang tua, dan terutama yang paling rentan di atas usia 80-an, tertinggal dari negara-negara seperti AS atau Inggris, karena kelompok-kelompok ini awalnya tidak diprioritaskan dalam kampanye vaksinasi China.

Menurut data dari Komisi Kesehatan Nasional China, diperkirakan 40 juta orang China berusia di atas 60 tahun belum menerima vaksin. Sementara sekitar 80% dari 264 juta orang lanjut usia di China telah divaksinasi lengkap. Persentase itu turun menjadi hanya sekitar setengahnya untuk kelompok yang paling rentan terhadap Covid-19: mereka yang berusia di atas 80 tahun.

Ada tanda-tanda bahwa China sedang berusaha untuk mengisi lubang tersebut. Dalam beberapa hari terakhir otoritas kesehatan telah berupaya keras, misalnya, membuat klinik keliling agar orang lanjut usia divaksinasi.

Minimnya vaksin pada lansia, mungkin itu salah satu kelemahan China. Tapi harus diakui China telah sukses membendung jumlah kematian akibat Covid-19. Buktinya, baru ada dua kematian yang diumumkan selama setahun terakhir. Kesuksesan China ini luar biasa. Dan masih bisa berlanjut jika kelak Deltacron kembali menerjang. Sebuah langkah yang patut dicontoh. (eha)

Sumber: CGTN, Taipei Times, Xinhua, Aljazeera, CNN

Beri Komentar