Menyongsong Deltacron, Kabar Baik dari Dalam Negeri

Reporter : Edy Haryadi
Senin, 28 Maret 2022 17:22
Menyongsong Deltacron, Kabar Baik dari Dalam Negeri
Survei serologi menunjukkan penduduk RI sudah memiliki antibodi tinggi.

Dream – Pekan pertama Maret 2022. Gelanggang Remaja Pulogadung itu sudah cukup ramai. Di halaman parkir gedung yang terletak di Jalan Pemuda, Jakarta Timur ini, sudah disesaki puluhan sepeda motor. Padahal jam baru menunjuk pukul 10 pagi.

Masuk ke areal gedung, setiap pengunjung langsung menghadap petugas yang berjaga di pintu masuk. Setiap pengunjung diminta menunjukkan kertas riwayat penyakit yang diminta dicetak sebelum datang. Beberapa petugas terlihat duduk di meja menghadap laptop. Mereka mengecek data pengunjung. Setelah lolos, mereka diperbolehkan masuk ke dalam gedung.

Di dalam gedung, mereka menghadapi beberapa petugas kesehatan yang duduk di empat meja terpisah di sebelah kanan. Setiap meja diduduki dua petugas kesehatan. Lalu mereka memeriksa suhu tubuh pengunjung, menanyakan riwayat penyakit dan alergi, dan memeriksa tekanan darah. Terkadang, mereka menanyai sertifikat vaksin yang tersimpan di aplikasi Peduli Lindungi.

Lolos dari sini, pengujung akan bergeser ke deretan bagian penyuntikan. Di sana, sesuai urutan, mereka akan menghadap petugas kesehatan yang sudah bersiaga dengan jarum suntik. Satu persatu.

Saat giliran tiba, petugas kesehatan akan menyuntikkan vaksin ke bahu kiri pengunjung. Dan prosesi penyuntikan vaksin dosis ketiga penguat atau booster itu pun selesai. Hari  itu vaksin booster yang digunakan adalah Pfizer karena pengunjung yang datang rata-rata menerima vaksinasi pertama dan kedua dengan vaksin AstraZeneca.

Tak sampai 25 menit, seluruh proses vaksin dosis ketiga itu sudah selesai. Cepat dan tidak bertele-tele. Alhasil, menjelang jam 12 siang, gedung itu mulai lenggang, karena sudah hampir semua yang mendaftar booster secara online sudah terlayani hari itu.    

Vaksin ketiga atau booster memang tengah digencarkan pemerintah. Terutama, di tengah peningkatan kasus akibat varian Omicron.

Dan, sialnya, walau Omicron baru menunjukkan tanda mulai mereda di tanah air, kini di Indonesia dan seluruh dunia dibayangi varian baru: Deltacron.

Varian Deltacron, yang merupakan gabungan varian Delta yang lebih mematikan dan varian Omicron yang lebih menular, jelas membuat setiap orang ngeri.

Tapi, ada kabar baik dari dalam negeri: sebanyak 86,6 % penduduk Indonesia sudah memiliki antibodi terhadap Covid-19. Itu merupakan hasil survei serelogi antibodi secara nasional yang dilansir baru-baru ini.

***

Pada Jumat, 17 Maret 2022, Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Dalam Negeri dan Tim Pandemi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI), mengumumkan hasil survei serologi antibodi penduduk Indonesia terhadap virus SARS-CoV-2, melalui Youtube Kementerian Kesehatan.

Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, mengatakan hasil survei serologi akan menunjukkan berapa persen penduduk Indonesia yang sudah memiliki antibodi terhadap virus SARS-CoV- 2. Serologi survei ini, merupakan serologi survei terbesar kedua di dunia setelah India.

Budi Gunadi Sadikin

“ Untuk kita ketahui bersama, antibodi ini terbentuk karena dua hal. Satu dari vaksinasi dan kedua dari infeksi. Dari sini, mereka yang pernah terinfeksi dan telah vaksinasi atau sebaliknya, itu antibodinya paling lama dan paling tinggi,” ujar Budi.

Kenapa penelitian ini penting? Menurut Budi, karena penelitian ini akan digunakan pemerintah untuk merumuskan kebijakan atau evidence based policy. Baik policy tentang vaksinasi, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), dan kebijakan lainnya tentang pandemi yang akan dibuat berbasis data ini.  Rencananya  survei ini akan dilaksanakan minimal enam bulan sekali.   

Tim Pandemi FKM UI yang melakukan serologi survei, Dr. Pandu Riono, MPH, Ph.D., menjelaskan kekebalan imunitas seseorang menjadi dasar untuk mengendalikan pandemi. Kekebalan tersebut didapat dari upaya yang sistematik melalui vaksinasi dan didapat secara alami ketika  seseorang terinfeksi SARS-CoV-2.

Dr Pandu Riono

“ Sejak Desember 2021, tepat pada penelitian ini berakhir, kita jadi tahu berapa banyak penduduk berdasarkan umur, berdasarkan jenis kelamin, berdasarkan wilayah, yang mempunyai tingkat imunitas terhadap SARS-CoV-2,” kata Dr.Pandu.

Selain mengetahui proporsi penduduk yang memiliki kekebalan imunitas terhadap SARS-CoV-2, survei serologi dilakukan untuk mengetahui berapa besar kadar antibodi yang dimiliki penduduk di Indonesia.

Kadar antibodi itu, lanjut Dr. Pandu, menjadi penting dalam menghadapi pandemi COVID-19 dengan berbagai varian virus. Jika kadar antibodi pada tubuh seseorang cukup tinggi, maka bisa menekan risiko yang sangat buruk dari pandemi ini. Seperti gejala parah hingga perlu masuk ruang rawat intensif atau ICU atau kematian.

Adapun untuk pelaksanaan survei serologi dilakukan berdasarkan wilayah aglomerasi (perkotaan) sebanyak 9 provinsi 47 kota, dan wilayah non aglomerasi (non-perkotaan) yang terdiri dari 25 provinsi 53 kabupaten.

Target sampel untuk wilayah aglomerasi ada 514 kelurahan dengan target sampel 10.280 penduduk. Namun yang terkumpul ada sekitar 92,8% atau 9.541 penduduk. Kemudian di wilayah non aglomerasi ada 580 desa dengan total target sampel 11.600 penduduk, sementara yang terkumpul 93,6% atau 10.969 penduduk.

Responden adalah penduduk Indonesia yang berusia 1 tahun ke atas. Sampel secara acak terpilih 20 penduduk sebagai sampel utama dan 60 penduduk sebagai sampel cadangan di setiap desa atau kelurahan terpilih. Setiap sampel diambil darahnya untuk melihat kandungan antibodinya.

Hasilnya, secara umum 86,6% penduduk Indonesia usia di atas 1 tahun pada bulan November-Desember 2021, sudah memiliki antibodi terhadap SARS-CoV- 2.

Salah satu peneliti,  Dr. Iwan Ariawan MSPH, mengatakan meskipun memiliki antibodi terhadap SARS-CoV-2, bukan berarti itu tidak bisa terinfeksi. “ Mereka masih mungkin terinfeksi tapi risiko terjadinya sakit parah kemudian meninggal akan jauh lebih berkurang,” kata Dr Iwan.

Dr. Iwan juga menuturkan, tingkat antibodi masyarakat menunjukkan terus-menerus naik dari waktu ke waktu.

Pada September 2020, berdasar penelitian yang sama, di Kota Tangerang hanya 2,43 % penduduk yang sudah memiliki antibodi. “ Itu masih sedikit karena saat itu masih di awal pandemi,” kata Dr. Iwan.

Pada bulan Maret 2021, pihaknya melakukan penelitian serupa ke penduduk DKI Jakarta. Hasilnya, di bulan Maret 2021, 44,5 % penduduk DKI sudah memiliki antibodi

“ Lalu di bulan November-Desember 2021, antibodi penduduk Indonesia di wilayah aglomerasi atau perkotaan 98,8 % sementara penduduk Indonesia di wilayah non aglomerasi 83,2 %,” ujar Dr. Iwan.

Jika dilihat berdasarkan kelompok yang belum divaksin pada saat November dan Desember 2021, ada 73,9% yang sudah memiliki antibodi.

Bagi orang yang sudah mendapatkan vaksinasi dosis pertama memiliki proporsi antibodi yang lebih tinggi yakni 91,3% pada November sampai Desember 2021. Sementara untuk orang yang sudah vaksin dosis kedua proporsi antibodi-nya lebih tinggi lagi, yakni 99,1%.

Selain itu, kelompok yang pernah terdeteksi SARS-CoV-2 yang belum divaksin proporsi antibodinya 88,0%, kemudian bagi orang yang sudah vaksin dosis pertama proporsi antibodi 96,0%, dan orang yang sudah divaksin dosis kedua proporsi antibodi 99,4%.

Ada juga proporsi penduduk yang mempunyai antibodi SARS-CoV-2 menurut wilayah aglomerasi dan non aglomerasi.

Wilayah aglomerasi memiliki proporsi penduduk dengan antibodi lebih tinggi yakni 90,8% daripada wilayah non aglomerasi 83,2%. Sedangkan penduduk yang belum divaksin di wilayah aglomerasi memiliki proporsi antibodi 75,7% dan non aglomerasi 73,0%.

Berdasarkan kabupaten/kota, wilayah kota memiliki proporsi penduduk dengan antibodi lebih tinggi yakni 91,8% dibandingkan wilayah kabupaten dengan proporsi 83, 4%.

Sedangkan pada kelompok yang belum divaksin di kabupaten proporsi yang memiliki antibodi mencapai 71,4%, dan yang belum dapat vaksin di wilayah kota 79,5%.

Kemudian, perbedaan antara Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali. Wilayah Jawa-Bali memiliki proporsi penduduk dengan antibodi lebih tinggi yakni 91,3%, dibandingkan luar Jawa-Bali yang mencapai 84,1%.

Sedangkan pada penduduk yang belum di vaksin di luar Jawa-Bali proporsi antibodi mencapai 74,1%, sedangkan di Jawa-Bali proporsi mencapai 73,2%.

Terkait kadar antibodi, Dr. Pandu menjelaskan kadar antibodi yang dimiliki penduduk yang cukup tinggi bisa memberikan efek proteksi. Kalau dilihat distribusi sebarannya pada empat kelompok penduduk, terlihat hasil sebagai berikut.

Penduduk yang belum pernah terinfeksi COVID-19 dan belum divaksinasi itu kadar antibodinya secara median di atas 100. Ini cukup tinggi sudah dianggap memberikan efek proteksi.

Bagi kelompok yang pernah terinfeksi COVID-19 dan belum divaksinasi hampir sama distribusinya yakni di atas 100.

Sementara itu bagi kelompok yang belum terinfeksi COVID-19 dan sudah divaksinasi kadar antibodinya cukup tinggi hampir mendekati 1000. Sedangkan bagi kelompok yang sudah terinfeksi COVID-19 dan sudah divaksinasi memiliki kadar antibodi yang paling tinggi yaitu mencapai 1000 lebih.

Vaksinasi di Indonesia

“ Jika berdasarkan umur di atas 1 tahun, maka hampir semua penduduk usia 1 tahun ke atas memiliki kadar antibodi yang cukup tinggi untuk menghadapi SARS-CoV-2,” kata Dr. Pandu.

***

Dr. Pandu Riono lalu menyimpulkan hasil penelitian ini. Pertama, mayoritas penduduk Indonesia yang tinggal di negara kepulauan ini 86,6% sudah mempunyai antibodi dan imunitas terhadap Sars-Cov2.

Kedua, penduduk Indonesia yang belum terdeteksi dan belum menjalani vaksinasi  74% di antaranya sudah memiliki imunitas. “ Artinya hampir 3/4 penduduk kita pernah terinfeksi. Jadi pandemi ini cukup dahsyat. Tentu aja sebagian besar tidak bergejala atau bergejala ringan,” ujarnya.

Ketiga, tingkat penularan Covid-19 sudah merata ke seluruh Indonesia, baik di wilayah aglomerasi (perkotaan) maupun non aglomerasi (non-perkotaan), Jawa-Bali atau di luar Jawa Bali, dan semua kelompok umur.

Tapi dengan hasil ini Dr Pandu optimistis kekebalan kelompok akan terbentuk. “ Kenapa? Karena kekebalan kelompok menjadi dasar kita mengendalikan pandemi,” ujarnya.

Menurut WHO, 'kekebalan kelompok' atau herd imunity, juga dikenal sebagai 'kekebalan populasi,”  merupakan perlindungan tidak langsung dari penyakit menular yang terjadi ketika suatu populasi kebal, baik melalui vaksinasi atau kekebalan yang didapat melalui infeksi.

WHO mendukung pencapaian 'kekebalan kelompok' melalui vaksinasi, bukan dengan membiarkan penyakit menyebar melalui segmen populasi mana pun, karena ini akan mengakibatkan penambahan kasus dan kematian yang tidak perlu.

Persentase orang yang perlu kebal untuk mencapai kekebalan kelompok, bervariasi untuk setiap penyakit. Misalnya, kekebalan kelompok atau herd immunity threshold terhadap campak membutuhkan sekitar 95% populasi untuk divaksinasi. Sisanya 5% akan dilindungi oleh fakta bahwa campak tidak akan menyebar di antara mereka yang sudah divaksinasi.

Untuk polio, ambang batasnya sekitar 80%. Proporsi populasi yang harus divaksinasi terhadap Covid-19 untuk mulai menghidupkan kekebalan kelompok masih belum diketahui. Ini adalah bidang penelitian yang penting dan kemungkinan akan bervariasi menurut komunitas, vaksin, populasi yang diprioritaskan untuk vaksinasi, dan faktor lainnya.

Mencapai kekebalan kelompok dengan vaksin yang aman dan efektif, membuat munculnya penyakit jadi lebih jarang dan bisa menyelamatkan nyawa manusia.

Dengan fakta ini, bangsa Indonesia tidak perlu jeri dengan varian baru macam Deltacron. Walau varian baru macam Deltacron menunjukkan pandemi belum berakhir, tingkat antibodi masyarakat yang tinggi bisa menjadi indikasi kekebalan kelompok mulai muncul. Dan karenanya, bisa diharapkan efek pandemi ke depan itu tidak akan lagi terlalu buruk. (eha)

Beri Komentar