Cerita Haru Masa Depan Pemuda Palestina Dihancurkan Israel

Reporter : Sandy Mahaputra
Selasa, 12 Agustus 2014 07:07
Cerita Haru Masa Depan Pemuda Palestina Dihancurkan Israel
Dia berbagi cerita tentang bagaimana hidup dan tumbuh di Gaza itu serta pencarian tanpa henti untuk mendapatkan masa depan yang layak.

Dream - Lahir dan dibesarkan di kamp pengungsi Shujayia di Gaza, Mohammad Al Qassas kehilangan 14 anggota keluarga besarnya dalam serangan terakhir Israel di Gaza. Namun tragedi yang menimpa dirinya bukanlah sesuatu yang asing bagi pemuda 28 tahun ini.

Dalam sebuah wawancara dengan Gulf News, Mohammad berbagi cerita tentang bagaimana hidup dan tumbuh di Gaza itu serta pencarian tanpa henti untuk mendapatkan masa depan yang layak.

Cerita Haru Masa Depan Pemuda Palestina Dihancurkan Israel

Pada usia 13 tahun, Mohammad bekerja membantu orang tuanya. Ayah Mohammad telah lumpuh setelah peluru Israel merusak saraf tulang belakangnya selama intifada pertama.

Untuk membantu ayahnya yang cacat, Mohammad bekerja menjual buah dan sayuran sambil sekolah. Mohammad tidak mempunyai kenangan yang baik dari masa kecilnya. " Banyak orang yang saya kenal tewas atau ditangkap oleh Israel," katanya.

Mohammad akhirnya berhasil menyelesaikan sekolah menengah atas. Namun pertanyaannya adalah apa langkah selanjutnya.

Keluarga Mohammad tidak punya uang untuk menyekolahkannya di universitas. Terdorong semangat meraih masa depan yang baik, Mohammad muda bertekad mencari beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya.

" Ketika saya masih muda saya bermimpi menjadi pilot," katanya. Namun kemudian suaranya melemah. " Pendudukan Israel mematikan impian saya. Sama seperti mereka telah membunuh impian banyak orang Palestina lainnya."

Suatu hari ia menerima kabar yang luar biasa. Dia mendapat beasiswa dari penguasa Dubai, Shaikh Mohammad Bin Rashid Al Maktoum, untuk belajar di Akademi Polisi Dubai.

Namun, satu-satunya jalan keluar dari Gaza adalah melalui perbatasan dengan Mesir di Rafah karena perbatasan Gaza lainnya dikuasai oleh Israel.

Pengepungan yang dilakukan Israel di Gaza sejak 2007 menjadikan wilayah itu seperti penjara terbuka bagi 1,8 juta penduduknya. Sayangnya perbatasan dengan Mesir ditutup dan Mohammad tidak bisa pergi.

Dia menyimpan kembali mimpinya dan menghadapi kembali realitas kehidupan keras di Gaza. Dua tahun kemudian, perbatasan di Rafah dibuka sehingga akhirnya Mohammad bisa keluar dari Gaza. Perjalanan ke Dubai membutuhkan waktu 45 hari karena Mohammad harus mendapatkan izin Israel yang penuh liku. (Ism)

1 dari 2 halaman

Luka di Gaza Bertambah Buruk

Luka di Gaza Bertambah Buruk © Dream

Dream - Wajah Muhammad yang lelah kembali terlihat gembira saat mengenang empat tahun pendidikannya di akademi di Dubai. " Ini adalah pertama kalinya saya melihat masyarakat dari berbagai bangsa yang berbeda. Saya melihat kehidupan damai dan penuh kebahagiaan," katanya.

Mohammad lulus di bidang penegakan hukum dan polisi dengan predikat sangat memuaskan. Untuk pertama kalinya ia berharap untuk masa depannya.

Tapi optimisme Mohammad berumur pendek. Ketika ia kembali ke rumahnya pada 2009, Gaza dalam masa pemulihan akibat operasi militer Israel dengan sandi Operation Cast Lead yang menewaskan lebih dari 1.400 warga Palestina.

" Saya meninggalkan tempat yang sudah berdarah dan ketika saya kembali saya menemukan lukanya bertambah buruk," katanya.

" Saya depresi berat. Saya telah memegang gelar dari universitas terkemuka dan kembali ke Gaza. Namun saya tidak mampu membeli obat untuk keluarga saya."

  (Ism)

2 dari 2 halaman

Saya Manusia, Bukan Palestina

Saya Manusia, Bukan Palestina © Dream

Dream - Langkah berikutnya adalah mencoba mencari pekerjaan di Yordania. Dia mengajukan visa untuk satu bulan, tapi tidak diberi visa kerja karena dia seorang Palestina dari Gaza.

" Saya menangis di dalam hati. Saya berharap akte kelahiran saya hanya mengatakan bahwa saya manusia, bukan Palestina," katanya.

Dia terbang kembali ke Mesir tapi sekali lagi perbatasan Rafah ditutup. Sehingga pemerintah Mesir tidak memberikan visa transit tiga hari yang biasanya diberikan kepada warga Palestina, jika ingin kembali ke Gaza.

Tak punya tujuan untuk pergi, Mohammad memutuskan kembali lagi ke Yordania di mana ia dipaksa untuk membayar denda yang besar karena visanya sudah habis. Mohammad sudah kehabisan ide di Yordania.

Buruknya lagi, tidak ada kedutaaan, baik Palestina atau negara muslim lainnya yang mengulurkan tangan membantunya. Mohammad benar-benar sudah putus asa.

" Pada saat itu saya memutuskan harus datang kembali ke Dubai dengan cara apapun." Dia menggunakan uang terakhir yang dimilikinya untuk membeli tiket ke Malaysia dengan transit di Dubai. 

Selama 20 hari ia terdampar di bandara Yordania sambil menelepon orang-orang yang bisa membantunya. Akhirnya, ia bisa mendapatkan visa kunjungan ke Dubai dengan bantuan seorang teman.

Masa depan Mohammad di Dubai tidak pasti. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan atau di mana ia akan tinggal. " Ini ironis. Saya memiliki gelar dalam bidang hukum dan telah mempelajari hak asasi manusia tapi saya belum menemukan hak asasi manusia saya sendiri," katanya.

Mohammad berharap kisahnya ini akan menjadi semacam tantangan monumental bagi bangsa Palestina dalam mencari kehidupan mereka yang lebih bermartabat. (Ism)

Beri Komentar