Ini Jalur Alternatif Hindari Gedung DPR, Jangan Sampai Terjebak Macet

Reporter : Maulana Kautsar
Selasa, 24 September 2019 13:20
Ini Jalur Alternatif Hindari Gedung DPR, Jangan Sampai Terjebak Macet
Polisi menyiapkan rekayasa arus lalu lintas.

Dream - Polisi melakukan pengamanan ekstra di depan Gedung DPR/MPR RI saat saat Sidang Paripurna DPR berlangsung hari ini, Selasa, 24 September 2019. Sebanyak 18 ribu personil gabungan diturunkan untuk mengamankan sidang. 

Pengamanan ekstra ini dilakukan polisi setelah mahasiswa se-Jabodetabek berencana menggelar aksi massal menolak pengesahan Rancanan Undang-Undang (RUU) KUHP dan revisi UU KPK serta RUU lainnya.

" Personel yang diterjunkan adalah 18.000 personel gabungan," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Raden Prabowo Argo Yuwono dilaporkan Merdeka.com, Selasa, 24 September 2019.

Selain menambah personel gabungan, polisi dan TNI juga menempatkan sejumlah mobil meriam air.

1 dari 6 halaman

Rekayasa Arus Lalu Lintas

Polisi juga menyiapkan rekayasa lalu lintas saat di sekitara jalan menuju ke Gedung DPR/MPR RI.

" Rekayasa arus lalu lintas diberlakukan situasional pada lima ruas jalan," kata Kasubdit Pembinaan dan Penegakan Hukum Ditlantas Polda Metro Jaya, AKBP M Nasir.

Berikut lima ruas jalan yang terdampak akibat aksi demo yang akan dilangsungkan di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat RI tersebut:

1. Jalan Gatot Subroto yang mengarah ke arah Slipi ditutup, di bawah Jembatan Layang Ladogi diarahkan ke Jalan Gerbang Pemuda.

2. Jalan Gerbang Pemuda yang arah ke kiri ditutup dan di belokan Jalan Asia Afrika, Jalan Senayan dan Jalan Pakubuono.

3. Jalan Asia Afrika ke arah Jalan Gerbang Pemuda ditutup diluruskan ke Jalan Tentara Pelajar dibelokan ke kiri Jalan Tentara Pelajar.

4. Jalan Tentara Pelajar dari arah Manggala Wanabakti di TL ditutup ke Jalan Lapangan Tembak diluruskan ke Jalan Tentara Pelajar arah ke Permata Hijau dan Kebayoran Lama.

5. Jalan Tentara Pelajar pojok Jalan Gatot Subroto ditutup untuk mencegah lawan arus dan kendaraan yang memutar balik.

(Sah, Sumber: Merdeka.com/Nur Habibie)

2 dari 6 halaman

Moeldoko Jelaskan UU KPK yang Lama Hambat Investasi

Dream - Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal Purnawirawan TNI Moeldoko mengatakan, Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lama punya celah kurangnya kepastian hukum.

Mmantan Panglima TNI ini menjelaskan, Dewan Pengawasan akan membantu KPK bekerja sesuai perundangan.

" Jadi maksud saya bukan soal KPK-nya yang menghambat investasi. Tapi, KPK yang bekerja berdasarkan Undang-Undang yang lama, masih terdapat celah kurangnya kepastian hukum, dan ini berpotensi menghambat investasi," kata Moeldoko, dilaporkan Liputan6.com, Selasa, 24 September 2019.

Moeldoko menyebut, kepastikan hukum melalui revisi UU KPK inilah yang membuat investasi lebih baik.

" Lembaga KPK, akan semakin kuat dan kredibilitasnya terjaga dengan sejumlah revisi untuk memberi kepastian hukum bagi investor," ujar dia.

3 dari 6 halaman

UU KPK Sudah Diketok

DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK menjadi undang-undang dalam sidang paripurna yang digelar, Selasa, 17 September 2019.

Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah selaku pimpinan sidang mengetuk palu pengesahan. Tiga kali Fahri menegaskan persetujuan terhadap revisi UU KPK menjadi undang-undang.

Dalam pengambilan keputusan tingkat pertama, tujuh fraksi; PDIP, Golkar, PPP, Nasdem, PAN, PKB, dan Hanura menerima revisi tanpa catatan.

Sementara Dua fraksi yakni Gerindra dan PKS menerima dengan catatan tidak setuju berkaitan pemilihan dewan pengawas yang dipilih tanpa uji kelayakan dan kepatutan di DPR.

Sumber: Liputan6.com/Fachrur Rozie

4 dari 6 halaman

DPR Sahkan Revisi UU KPK

Dream - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi undang-undang. Pengesahan dilakukan dalam sidang paripurna di Gedung DPR, Selasa 17 September 2019.

Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, yang menjadi pimpinan sidang mengetok palul sebagai tanda pengesahan revisi UU KPK. " Apakah pembicaraan tingkat dua pengambilan keputusan terhadap rancangan UU tentang perubahan kedua atas UU 30/2002 tentang KPK dapat disetujui dan disahkan menjadi UU?" kata Fahri, dikutip dari Liputan6.com.

Anggota paripurna pun menjawab, " Setuju."

Ketua Badan Legislasi, Supratman Andi Agtas, menjelaskan, ada enam poin revisi yang dibahas antara pemerintah dan DPR. Di antaranya, kedudukan KPK sebagai lembaga hukum di rumpun kekuasaan eksekutif dan bebas dari kekuasaan.

5 dari 6 halaman

Poin yang Disetujui

Liputan6.com

Foto: Liputan6.com

Pembentukan Dewan Pengawas untuk mengawasi kewenangan dan tugas KPK dan Dewan Pengawas disepakati mayoritas fraksi dan pemerintah ditunjuk Presiden.

Kemudian, revisi kewenangan penyadapan KPK. Mekanisme penggeledahan dan penyitaan yang harus seizin Dewan Pengawas.

Persetujuan juga dilakukan pada topik mekanisme penggeledahan dan penyitaan dewan pengawasan. Ada pula mekanisme penghentian dan penuntutan kasus Tipikor. Serta, status kepegawaian karyawan KPK yang menjadi PNS.

6 dari 6 halaman

Tidak Kuorum?

Pengiriman peti mati untuk DPR, karena warga Solo ini kecewa dengan hak angket KPK. (Liputan6.com/Fajar Abrori).

Pengiriman peti mati untuk DPR, karena warga Solo ini kecewa dengan hak angket KPK. (Liputan6.com/Fajar Abrori).

Dilaporkan Merdeka.com, berdasarkan keterangan pimpinan, rapat paripurna ini dihadiri 289 anggota dewan dari total 560 anggota. Namun, anggota DPR yanag benar-benar hadir di ruang sidang tak mencapai angka tersebut, sehingga rapat ini disebut tidak kuorum.

" Rapat sudah dihadiri 289 anggota dewan dan dihadiri oleh semua fraksi. Perkenankan kami dari meja pimpinan untuk membuka rapat paripurna ke-9 dan dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum," ujar Fahri.

Dari jumlah 289 anggota DPR, yang hadir di ruang sidang hanya 107. Fahri mengatakan, jumlah tidak masalah.

" Paripurna untuk voting itu, tidak harus hadir, tapi dia datang untuk mencet, bahkan kalau sudah pembicaraan tingkat I itu sudah aklamasi antara pemerintah dan DPR, itu seharusnya tidak perlu lagi," kata dia.

Beri Komentar